ebook img

ARTI PENTING PEMBERLAKUAN UU NO. lIPNPS/1965 PDF

37 Pages·2017·9.01 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview ARTI PENTING PEMBERLAKUAN UU NO. lIPNPS/1965

ARTI PENTING PEMBERLAKUAN UU NO. lIPNPS/1965 Hwian Christianto 1 Abstract Law Enforcement No.lIPNPSI1965 basically have a significant impactfor religious life in Indonesia. Legal provisions explicitly provide protection for the actions of irregularities, defamation of religion also prohibits the spread of the teachings of atheism. In the development of the law NO.lIPNPS.l1965 assessed not according to the 1945 in terms of both formal and substantive judicial. Act petition was filed to clarifY the constitutionality of laws that actually impeded NO.IIPNPSI1965 religious life. Legal issues of interest in the issue of the relation of State and religion within the context of Pancasila and the 1945 Constitution. NO.lIPNPSI1965 Act also provides three (3) types ofc rimes are very influential for Criminal Law. Keywords: freedom ofr eligion, the protection oft he law, the state Abstrak Pemberlakuan UU NO.lIPNPSI1965 pada dasarnya memiliki dampak yang siginifikan bagi kehidupan beragama di Indonesia. Ketentuan hukum tersebut secara eksplisit memberikan perlindungan atas tindakan penyimpangan, penodaan agama juga melarang adanya penyebaran ajaran atheisme. Pada perkembangannya UU No.lIPNPS.l1965 dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 baik dari segi juridis formil maupun materiil. Permohonan pengujian Undang-Undang pun diajukan untuk memperjelas konstitusionalitas UU NO.1IPNPSI1965 yang justru dinilai menghambat kehidupan beragama. Isu hukum yang menarik dalam permasalahan tersebut tentang hubungan Negara dan agama di dalam konteks Pancasila dan UUD 1945. UU NO.lIPNPSI1965 juga memberikan 3 (tiga) bentuk kejahatan yang sangat berpengaruh bagi Hukum Pidana. Kata kunci: kebebasan agama, perlindungan hukum, negara 1 Penulis adalah Dasen Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya. 360 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-Seplember 2011 I. Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VIII2009 tentang Peno1akan Pengujian Undang-Undang Nomor 1IPNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalah gunaan danlatau Penodaan Agama semakin menegaskan arti penting pemberlakuan UU No. IIPNPS/1965 (selanjutnya disebut UU No.1/PNPS/1965). Putusan tersebut sekaligus memperkuat dasar keberlakuan yang sah secara konstitusional bagi UU No. 1/PNPS/1965 dan sekaligus pemberlakuan Pasal 156 bis KUHP. Dalam pokok permohonannya, pemohon bukan hanya mengajukan uji materiil namun juga uji formil atas keberlakuan UU No. IIPNPSI1965. Permohonan pengajuan baik materiil maupun formil sebenamya juga pemah dilakukan terhadap UU No.2/PNPSI1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi terpidana mati yang juga diuji secara formil maupun materiiL Dikatakan sarna karena produk hukum yang dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang dibentuk pad a masa demokrasi terpimpin yang dinilai tidak sesuai dengan cita-cita dan semangat UUD 1945. Selain itu dari sisi permohonan pengujian temyata keduanya juga dimohonkan secara materiil dan formiil karena pemohon menilai dari kedua sisi tersebut, produk hukum ini bertentangan dengan konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua perkara ini pun sarna-sarna menolak permohonan dan menguatkan produk hukum yang berasal dari masa demokrasi terpimpin itu. Jika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 211PUU-VII2008 semakin mengukuhkan tata cara pidana mati dengan ditembak sampai mati2 maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor l40/PUU VII12009 menekankan pentingnya partisipasi negara dalam menjaga kemumian ajaran agama me1a1ui pemberlakuan UU No. 11PNPS/1965. Hal menarik, bersamaan dengan pengajuan permohonan pengujian UU No. 1IPNPSJ1965 saat itu diketahui adanya aliran Ahmadiyah yang menyebut dirinya sebagai bagian dari Agama Islam. Menanggapi aliran Ahmadiyah ini, MUI menyatakan aliran ini sebagai aliran yang dilarang ada di Indonesia karena ajarannya tidak sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama Islam sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran. Merespons hal ini Menteri Agama dengan mendasarkan diri pada UU No. 1IPNPS/1965 menyatakan aliran Ahmadiyah merupakan aliran yang dilarang dalam Agama Islam dan tidak mendapat perlindungan hukum. Pandangan berbeda dikemukakan Pemohon pengujian UU No. IIPNPSI1965 yang menilai keberlakuan Undang-undang ini sangat bertentangan dengan konstitusi 2 Hwian Christian to, Tala Cara Pelaksanaan Pidana Mali bagi Terpidana Mati dalam Hukum Pidana, Jurnal Mahkamah Konslilusi, Vol. 6, Namar I (April 2009), hal. 26 . ArtiPenting Pemberlakuan UU Na.l'PNPSI1965, Christiania 361 baik dari segi formil (proses pembuatan) maupun segi materiil (muatan). Sorotan dari segi formil ditujukan pada situasi pembuatan UU No. IIPNPS/1965 pad a masa demokrasi terpimpin sebagai hasil Dekrit Presiden 1959 sehingga dinilai tidak sesuai dengan prinsip pembentukan Undang-undang sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sedangkan dari segi materiil, UU No. IIPNPSI1965 dinilai sangat bertentangan dengan Konstitusi karena melanggar Hak Asasi Manusia untuk beragama secara bebas (Pasal28E ayat (I), (2), Pasal28! ayat (I) dan Pasal29 ayat (2) UUD 1945). II. Rumusan masalah Permohonan Pengujian UU No. I/PNPSI1965 terhadap UUD 1945 baik secara formil maupun materiil merupakan hal yang sangat penting bagi terjaminnya hak asasi untuk beragama. Hal yang perlu dikaji secara mendalam dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian UU No. IIPNPS/1965 ini adalah: 1. Apakah UU No. IIPNPS/1965 secara yuridis formil tidak melanggar Konstitusi? 2. Apakah ketentuan hukum tentang Pencegahan Penyalah-gunaan danlatau Penodaan Agama tidak melanggar Pasal28E ayat (I), (2), Pasal 281 ayat (1) dan Pasal29 ayat (2) UUD 1945 sehingga penting untuk diberlakukan? 3. Apakah dampak yuridis pemberlakuan UU No. IIPNPSI1965 bagi Hukum Pidana? III. Pembahasan 1. Latar belakang Pembentukan UU No. l/PNPS/1965 Latar belakang pembentukan UU No. l/PNPSI1965 tidak terlepas dari suasana politik hukurn pada tahun 1950-1966. Masa tersebut merupakan mas a pembangunan hukurn nasional yang berada dalam dua pilihan kebijakan yaitu tetap memberlakukan realism pluralisme (kebijakan dominan sejak zaman Kolonial) dan cita-cita Unifikasi (semangat persatuan dan kesatuan perjuangan revolusi Indonesia).3 Soetandyo menegaskan pertimbangan kebijakan hukum yang ada pada kurun waktu tersebut didasarkan oleh pertimbangan sosio- Soetandyo Wignjosoebroto, "Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial 3 Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia", (Jakarta: RajawaliGrafindo, 1994), hal. 200. 362 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011 yuridis sekaligus politik-ideologik.4 Akibatnya setiap perundang-undangan yang terbentuk di mas a itu lebih mencerminkan petjuangan untuk membentuk pembangunan hukum nasional. Hal tersebut terlihat dengan adanya 2 (dua) sub periode dengan dasar konstitusi berbeda, yaitu Sub periode 1950-1959 di bawah arahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan Sub periode 1959- 1966 di bawah arahan Undang-Undang Dasar 19455. UU No. I/PNPS/1965 sendiri lahir da1am sub peri ode 1959-1966 yang berada dibawah arahan UUD 1945. Hanya saja terdapat kejangga1an dari pemberlakuan Sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekamo sebagai ke1anjutan dike1uarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 me1alui KEPRES No. 150/1959. Pemerintah pada saat itu memberikan beberapa definisi tentang demokrasi terpimpin diantaranya: I. Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi atau menurut istilah UUD 1945 "kerakyatan yang dipimpin oleh hikrnat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwaki1an"; 2. Demokrasi terpimpin bukanlah dictator, berlainan dengan demokrasi sentralisme, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal, yang kita praktekan selama ini; 3. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup 8angsa Indonesia; 4. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial; 5. Inti daripada demokrasi terpimpin adalah pemusyawaratan tetapi suatu pemusyawaratan yang "dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan" bukan oleh "perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra"; 6. Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.6 Kekuasaan eksekutifpada masa itu memang sangat kuatjika dibandingkan kekuasaan lainnya (baik legislatif maupun yudisial). Mohammad T. Mansoer berpendapat "sistim pemerintahan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah Demokrasi Terpimpin. Setidak-tidaknya, tidak sarna dengan demokrasi terpimpin. Sistimnya adalah Pemerintahan yang bertanggung-jawab, Ibid. 4 , Ibid. 6 Ismail Suny, ''Pergeseran Kekuasaan Eksekutif', (Jakarta: Alesara Baru, 1983), hal. 193-194. Arti Penting Pemberlakuan UU No.l?PNPSI1965, Christian to 363 dalam hal ini oleh Presiden, kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat." 7 Kondisi ini ditandai dengan dikeluarkannya beberapa produk hukum oleh Presiden seperti PNPS No. 111959 tentang Dewan Perwakilan Rakjat yang isinya menetapkan sementara DPR sebelum tersusun DPR yang sesuai dengan UUD 1945, PNPS NO.2/1959 tentang Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara yang menetapkan susunan MPR sementara sebelum MPR sesuai UUD 1945 terbentuk karena memang DPR juga belum terbentuk. Selanjutnya Mohammad T. Mansoer menegaskan bahwa tindakan Presiden tersebut memang kurang pada tempatnya "sebab dengan suasana yang demikian suasana yang "pyramidal" itu menunjukkan subordinasi mereka terhadap Presiden ... Menurut pemohon pengujian undang-undang, kedua produk ,,8 hukurn ini dikeluarkan Presiden dengan produk hukum Penetapan Presiden karena keadaan negara Indonesia pada saat itu dalam darurat. Unsur-unsur yang harus ada dalam negara dalam keadaan darurat menurut Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi meliputi: 1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa; 2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada; 3. Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam keadaan atau kehidupan normal; 4. Wewenang luar biasa dari hukum tata negara darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.9 Mengenai bentuk-bentuk keadaan bahaya, Jimly Asshiddiqie menyebutkan: IO 7 Mohammad Tolchah Mansoer, "Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutifdan LegislatifNegara Indonesia", (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 297. 8 Ibid., hal. 298 9 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Ketentuan Konstitusional Pemberlakuan Keadaan Darurat Dalam Suatu Negara, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, (ApriI2009), hal. 46. 10 Jimly Asshiddiqie, "Hukum Tata Negara Darurat", (Jakarta: RajawaliPers, 2007), hal. 68-70. 364 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4i No.3 Juli-September 2011 I. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri (external aggression or foreign invasion); 2. Keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri, seperti tentara Amerika Serikat berperang di Irak; 3. Keadaan bahaya karena pelanggaran yang terjadi di dalam, negeri atau ancaman pemberontakan bersenjata oleh kelompok separatis di dalam negeri, seperti pernah terjadi di masa DOM (Daerah Operasi Militer); 4. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; 5. Keadaan bahaya karena teIjadinya bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan,dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; 6. Keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu atau menyebabkan mekanisme administrasi negara tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai keadaan yang berlaku. Keadaan yang demikian ini, misalnya, tercakup dalam keadaan yang dimaksud oleh Finer, Bogdanor, dan Rudden sebagai "internal state ofe mergency" (innerer notstand); 7. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara dan kondisi administrasi negara yang tidak mendukung atau dimana ketersediaan keuangan negara tidak memungkinkan dilaksanakannya tugas-tugas pemerintahan oleh lembaga penyelenggara sebagaimana mestinya, sementara kebutuhan untuk bertindak sudah sangat genting dan mendesak untuk dilakukan; 8. Keadaan-keadaan lain dimana fungsi-fungsi kekuasaan konstitusional yang sah tidak dapat bekeIja sebagaimana mestinya, kecuali dengan cara melanggar undang-undang tertentu, semen tara keharusan untuk mengubah undang-undang dimaksud belum dapat dipenuhi dalam waktu yang tersedia. Jika beberapa bentuk diatas dikomparasikan dengan keadaan negara Indonesia pada saat itu maka dijumpai perbandingan sebagai berikut: Arti Penting Pemberlakuan Uu. No.l?PNPSI1965, Christianto 365 Unsur Hukum Tata Negara Darurat Inforrnasi Bahaya negara yang patut dihadapi - Tahun 1965 merupakan mas a dengan upaya yang luar biasa transisi II untuk melaksanakan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen - Pertentangan pendapat di Konstituante yang terlalu lama, tidak bermanfaat bagi masyarakat dan sulit mencari penyelesaian secara damai.12 - masih ada MPRS dan DPRS Upaya biasa tidak memadai untuk diperlukan satu tindakan untuk mengatur menanggulangi kondisi tersebut dengan membentuk ke1engkapan baru Adanya kewenangan yang luar biasa Pasal 12 dan 22 ayat (I) UUD 1945 yang diberikan oleh hukum memberikan hak khusus bagi Presiden dalam keadaan bahaya atau kegentingan yang memaksa Berlaku hanya sementara sampai mas a tersebut berlaku sementara keadaan normal Sungguh pun negara dalam keadaan darurat tidak berarti Pemerintah bisa berbuat sekehendak hati tanpa ada batasan yang jelas. Pemerintah memang wajib memberikan pengaturan yang sifatnya mendadak tetapi tetap harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Menurut Van Dullemen semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah di masa negara darurat harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Kepentingan tertinggi negara yakni adanya atau eksistensi negara itu sendiri; 2. Peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu; 11 Soetandyo Wignjosoebroto, Loc. Cit .. 12 Ismail Suny, Loc. Cit., hal. 192. 366 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011 3. Noodregeling itu bersifat sementara, provosoir, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu, diperlakukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku; 4. Ketika dibuat peraturan darurat itu, Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh. I3 Keempat syarat ini bersifat kumulatif sehingga peraturan pemerintah yang dibuat pada saat negara dalam keadaan darurat haruslah diuji berdasarkan keempat syarat tersebut. Termasuk didalamnya UU No. IIPNPSIl965 yang . memang dibuat dalam kurun waktu negara dalam keadaan darurat. Jika dilihat dari latar belakang pembentukan UU No. I/PNPS/l965 seperti dijelaskan pada bagian Konsiderans Penetapan Presiden bahwa penetapan Presiden tersebut dibuat dalam rangka pengamanan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan semesta menuju pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama dan untuk pengamanan revolusi dan ketentraman masyarakat. Setidaknya terdapat dua alasan mendasar pembentukan penetapan presiden ini yaitu: I. Pengamanan Negara dan revolusi Nasional terkait dengan pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama; 2. Pengamanan revolusi dan ketenteraman masyarakat. Dari kedua alasan diatas, sangat tampak tujuan utama dikeluarkannya penetapan presiden ini semata-mata untuk mendukung pengamanan revolusi sedangkan pencegahan penyalahgunaan at au penodaan agama merupakan salah satu faktor penunjang tercapainya revolusi Nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penetapan presiden tersebut selalu menempatkan Dekrit Presiden sebagai sumber hukum padahal MPRS dan DPRS sudah terbentuk. Mohammad T. Mansoer menilai hal tersebut sebagai suatu tindakan yang "tidak ada rationya".14 Penetapan Presiden tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Negara dan agama, apakah terdapat satu kewenangan negara untuk mencampuri urusan agama dan sebaliknya. Oemar Seno Adji menjawab hal tersebut dengan mengatakan: 13 Herman Sihombing, "Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia", (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 7. 14 Mohammad T. Mansoer, Loc. Cit., hal. 314. uu. Arti Penting Pemberlakuan No.1 ?PNPS11965, Christianto 367 Bagaimanapun, Negara Hukum kita berdasarkan Pancasi/a, yang bukan Negara Agama, berdasarkan - "Einheit" antara Negara dan Agama dan yang tidak menganut "separation" dalam batas-batas yang tajam dan strict, seperti dianut oleh Negara-negara Barat dan Negara-negara Sosialis yang bahkan mengikut-sertakan sanctie pidana pada azas "separation" tersebut, ... 15 Indonesia sebagai negara yang berdasar alas ke-Tuhanan Yang Maha Esa sekaligus negara hukum harus memandang kedua bidang ini sebagai salu kesatuan yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Konsepsi negara hukum membawa konsekuensi bagi Indonesia untuk mengatur segala tatanan kehidupan masyarakat dengan hukum demi terciptanya ketertiban dan kepastian hukum. Wirjono Prodjodikoro menegaskan pentingnya peran serta Negara berdasarkan Pasal 29 ayat (I) UUD 1945 untuk menjamin keharusan setiap warga negara Indonesia untuk beragama.16 Sedangkan negara berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa tidak berarti Indonesia merupakan Negara Agama sehingga mendasarkan dirinya pada salah satu agama tetapi agama merupakan nilai moral dan pengakuan hati nurani rakyat adanya rahmat Allah yang maha kuasa, negara ini ada. Pendapat senada diberikan Soewoto dengan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara seculer yang tidak secularistik yang berarti tidak mendasarkan diri pada satu agama tertentu atau semua agama tetapi berwawasan kebangsaan.17 Urusan agama memang pad a dasamya merupakan urusan pribadi tiap individu tetapi dalam relasinya dengan kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama, Negara harus berinisiatif memberikan perlindungan hukum. Selanjutnya Oemar Seno Adji memaparkan 3 (tiga) pandangan tentang pentingnya perlindungan agama: 18 1. Friedensschutz theory, memandang "der religiosce interkon fessionelle Feriede" sebagai kepentingan Hukum yang harus dilindungi; "Oemar Seno Adji, "Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang dan di Masa lang akan Datang", (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1983), hal. 50. 16 Wirjono Prodjodikoro, "Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia", (Jakarta: Dian Rakyat, Cetakan Kelima, 1983), hal. 160. 17 Soewoto, Perlindungan Hukum terhadap Agama dan Aliran Kepercayaan, Jurnal Yuridika, No.2, Tahun XI, (Maret-April 1996), tanpa nomor halaman. IS Oemar Seno Adji, Op. Cit. 368 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011 2. Gefiihlsschutz-theorie yang hendak melindungi rasa keamanan sebagai "das heiligste Innenleben der Gesammtheit", seperti dikemukakan oleh Binding, dan 3. Religiollsshutz-theori, dikemukakan oleh Kohler dan KahI, yang melihat Agama sebagai kepentingan hukum yang hams diamankan oleh Negara berdasarkan "das KlIltllrgut der Religion und der ungeheuren Idealismus, der aus ihrfiirreine grosse Menge von Menschen hervorgeht". Indonesia sendiri dengan pengaturan kejahatan terhadap agama lebih cenderung menerapkan Religionsshutz-theori karena tujuan pengaturan UU NO.I/PNPSII 965 untuk mengamankan kepentingan hukum atas agama yang dianut di Indonesia. Oemar Seno Adji juga menekankan pentingnya aturan "blasphemy" tersebut mengingal "Indonesia dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima, tidak memiliki suatu "afiveer" terhadap serangan kala-kata mengejek terhadap Tuhan".19 Soedarto menjelaskan kondisi pada waktu itu dengan banyaknya kasus penodaan agama seperti AI-Qur'an disobek-sobek dan dinjak-injak, Nabi Muhammad dikatakan "nabi bohong", pastor dihina karena tidak kawin, ketoprak dengan judul "Paus Gandrung" dan muncuinya aliran-aliran kebathinan kecil yang menamakan dirinya agama tetapi praktek keagamaannya sangat menyimpang dari aturan agama yang sudah ada.20 Pengaturan kejahatan terhadap agama dalam UU NO.I/PNPSII 965 seharusnya ada tetapi harus Iebih disempurnakan dengan perumusan yang sesuai dengan sifat Negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa.21 Hal senada juga ditegaskan UU No.6 Tahun 1969 bahwa materi UU NO.I/PNPSII 965 periu dituangkan dalam undang-undang bam dengan penyempurnaan yang diperlukan. 2. Aspek Yuridis Formiil UU No. IIPNPS/1965 Keberadaan penetapan presiden di mas a itu memang benar-benar amat dibutuhkan mengingat bermunculan aliran-aliran atau organisasi-organisasi 19 Oemar Seno Adji, "Herziening-Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik", Cetakan Kedua, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 297. 20 Soedarto, "Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana", (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 78-79. 2I Oemar SenD Adji, Op. Cit.

Description:
1 Penulis adalah Dasen Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya. 1/PNPS/1965 dan sekaligus pemberlakuan Pasal 156 bis KUHP. Dalam
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.