Arti Penting Organizational Learning Dan Berbagai Hambatannya: Sebuah Wawasan Fundamental Untuk Meningkatkan Kinerja Organisasi Perangkat Daerah1 Oleh. Haris Faozan ABSTRACT Organizational learning is tacit and explicit knowledge acquiring process which was taken from inside or outside the organization and being optimized comprehensibly in individual, group and organization level in order to develop organizational actions and behaviors. Organizational learning, nowadays, becomes keys for success in organization strategy, optimizing total quality management and organizational design effectiveness. Moreover, it drives an organization to reach its competitive advantages. Even tough, it is not a brand new concept, but it meets some barriers in practice. The barriers can be grouped into three categories: insufficient capacity to reflect and interpret problems, insufficient capacity to transfer and disseminate learning and insufficient capacity to act. An organization should pay attention on five general elements to get learning-efficient organization into reality: Open boundaries, Motivation of risk taking, Experiment structured for learning, Environments that extract and disseminate learning, and Encouragement of the capacity to act. Key words: organizational learning, knowledge, action, reflection, dissemination, capacity Latar Belakang Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Key Leverage Points for Improving Competitive Performance”, Nadler (1992) meyakini bahwa terdapat 4 (empat) critical success factors bagi organisasi untuk mampu berkompetisi secara efektif, yaitu strategy, quality, organizational design, dan organizational learning. Berkaitan dengan keempat faktor keberhasilan kritis tersebut, kemudian Nadler (1992: 261) menyatakan bahwa: “Even those companies with great strategies, total quality management, and innovative organizational architectures do not always get it right the first time. They make mistakes. The best competitors have the unique capacity to reflect on and understand those mistakes quickly and turn insight into action; they are learning-efficient organization. They learn from customers, competitors, and suppliers. They learn from success and they learn from failure.” 1 Terbit dalam Buku Accelerating Performance: Konsep dan Aplikasi. Suryanto, Agustinus Sulistyo, dan kawan- kawan (Ikatan Peneliti LAN-IPLAN). Diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 2009. 1 Dengan menyimak hal tersebut, tentunya dapat dipahami bahwa pembelajaran organisasi (organizational learning) adalah ujung tombak bagi kesuksesan strategi organisasi, optimasi total quality management, dan efektivitas desain organisasi yang dirancang. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila organizational learning merupakan critical success factor menentukan, yang pada gilirannya akan mampu mengantarkan organisasi pada kepemilikan keunggulan daya saing (competitive advantages). Namun sayangnya, meskipun organizational learning bukanlah suatu konsep yang baru di kalangan pemerintah daerah, tetapi pada kenyataannya cukup sulit untuk menemukan praktek-praktek organizational learning yang efektif di jajaran pemerintah daerah. Kondisi demikian tentu saja menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan maksud agar organizational learning benar-benar mampu diwujudkan dan ditumbuhkan di tubuh pemerintah daerah di penjuru tanah air. Hal ini tidaklah berlebihan karena perubahan lingkungan di berbagai aspek dewasa ini jelas membutuhkan antisipasi memadai dari kalangan birokrasi pemerintah daerah di negeri ini. Agar pemerintah daerah mampu melakukan antisipasi signifikan, maka mutlak bahwa behavior pemerintah daerah harus mengarah dan sejalan dengan tuntutan lingkungan yang berkembang. Hal ini menyadarkan kita bahwa konsepsi, formula, dan kebijakan lama sudah barang tentu tidak lagi memadai untuk diaplikasikan di masa kini (lihat Faozan, 2004, Mengoptimalkan Key Enablers of Innovation sebagai Key Leverages Reformasi Birokrasi: Sebuah Tinjauan dari Perspektif Organization Development). Paper ini bertujuan mendeskripsikan pentingnya organizational learning sebagai means untuk meningktkan kinerja organisasi. Dalam konteks organisasi perangkat daerah, arti penting dan berbagai hambatan organizational learning dalam paper ini patut dan layak menjadi bahan wawasan bagi birokrasi pemerintah daerah untuk memacu kinerjanya di tengah perubahan lingkungan yang terus berkembang. Pertama, akan diawali dengan pembahasan mengenai organizational learning. Bagian ini mencakup pengertian dan model organizational learning. Kedua, akan membahas mengenai permasalahan dalam mewujudkan organizational learning. Di dalamnya memuat hambatan-hambatan dalam organizational learning, gejala (symptoms) dan penyebabnya. Berikutnya, akan membahas elemen-elemen penting yang perlu diperhatikan dalam menciptakan organisasi yang mampu belajar secara efisien. Pengertian dan Model Organizational Learning Definisi organizational learning pertama kali muncul dari Chris Argyris, dimana pembelajaran organisasi hanya difokuskan sebagai proses: “organizational learning is a process of detecting and correcting error” (pembelajaran organisasi adalah sebuah proses mendeteksi dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan) (Argyris, 1977:116). Pada tahun 1978, Argyris dan Schön (1978:29) memperluas definisi organizational learning dengan menambahkan individual learning dan organizational knowledge: “organizational learning occurs when members of the organization acts as learning agents for the organization, responding to changes in the internal and external environments of the organization by detecting and correcting errors in 2 theory-in-use and embedding the result of their inquiry in private images and shared maps of the organization” (pembelajaran organisasi terjadi ketika anggota-angota organisasi bertindak sebagai agen pembelajaran bagi organisasi, merespon untuk mengubah lingkungan internal dan eksternal organisasi dengan mendeteksi dan mengkoreksi kesalahan- kesalahan teori yang digunakan dan menyimpan hasil penyelidikan mereka di dalam citra pribadi dan kepentingan/peta bersama sebuah organisasi). Menurut Nevis et al. (1995), “organizational learning as the capacity or processes within an organization to maintain or improve performance based on experience” (pembelajaran organisasi merupakan kapasitas atau proses di dalam organisasi untuk memelihara atau meningkatkan kinerja berbasis pada pengalaman). Wood (1998:11) mengatakan : ”learning is the process by which people acquire the competencies and beliefs that affect their behaviour in organization (pembelajaran adalah proses yang mana orang-orang memerlukan kompetensi dan keyakinan yang mempengaruhi perilaku mereka di dalam organisasi). Penulis lain yang mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai proses adalah Duncan dan Weiss (1979:84): “organizational learning is the process within the organization by which knowledge about action-outcome relationship and the effect of the environment on these relationships is developed” (pembelajaran organisasi merupakan proses di dalam organisasi dalam mana pengetahuan mengenai hubungan tindakan-hasil dan pengaruh lingkungan terhadap hubungan tersebut dikembangkan). Definisi organizational learning dengan menekankan pentingnya peran berbagai pihak internal dimunculkan oleh Dixon (1994:5), sebagai berikut: “organizational learning is the intentional use of learning processes at the individual, group and system level to continuously transform the organization in a direction that is increasingly satisfying to its stakeholders” (pembelajaran organisasi adalah kesengajaan menggunakan proses- proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok, dan sistem untuk mentransformasi organisasi secara berkelanjutan yang mengarah pada meningkatnya kepuasan stakeholdernya). Penulis yang menekankan organizational learning dari basis pengetahuan diantaranya adalah Antal (2002) yang menekankan pentingnya pengetahuan dalam pembelajaran organisasi. Berikut ini definisi pembelajaran organisasi menurt Antal (2002:1): “Organizational learning is essentially a creative and interactive process. It is sometimes achieved by acquiring and applying existing knowledge and sometimes by generating new knowledge. In both situations, creativity is required because the transfer of knowledge from one context to another is never simple copying process” (pembelajaran organisasi pada esensinya adalah proses kreatif dan interaktif. Hal ini kadang dicapai dengan mendapatkan dan menerapkan pengetahauan yang ada dan kadang dengan membangkitkan pengetahuan baru. Pada kedua situasi tersebut, kreativitas dibutuhkan karena perpindahan pengetahuan dari satu hubungan ke hubungan yang lain tidak pernah merupakan suatu proses imitasi yang sederhana). 3 Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik benang merah mengenai organizational learning. Pembelajaran organisasi adalah suatu proses pemilikan dan aplikasi pengetahuan (tacit dan explicit) baik yang diperoleh dari dalam maupun dari luar organisasi yang dioptimalkan secara terpadu pada tingkat individu, kelompok, dan organisasi untuk mengembangkan tindakan atau perilaku organisasi (Faozan, 2004)2. Pada umumnya di dalam literatur organizational learning terdapat beragam tipe pembelajaran organisasi. Sebagai contoh, Argyris dan Schön (1978) membaginya ke dalam 3 tingkatan, yaitu single-loop learning, double-loop larning, dan deutero- learning. Argyris dan Schön (1978:308) mengatakan bahwa pembelajaran organisasi pada umumnya terbatas pada single-loop learning dan tidak berusaha ke tahap double- loop learning. Selanjunya mereka menyarankan bahwa keutamaan deutero learning adalah digunakan untuk merefleksikan mengenai single-loop learning, bukan double- loop learning. Chun Wei Choo (1998) mengenalkan dua mode atau bentuk yang melengkapi organizational learning, yaitu eksploitasi (exploitation) dan eksplorasi (exploration). Eksploitasi adalah pembelajaran melalui spesialisasi dan penimbunan pengalaman (amassing of experience) dalam skup tujuan dan aktivitas yang ada. Eksplorasi adalah pembelajaran melalui penemuan hasil (discovery) atau percobaan (experimentation) yang mengutamakan pada penemuan tujuan-tujuan baru dan peluang-peluang yang tak termanfaatkan (untapped oportunities). Kedua bentuk pembelajaran tersebut sama-sama diperlukan dalam pembelajaran organisasi. Penggunaan secara produktif pengetahuan yang ada merupakan realisme dari eksploitasi. Eksploitasi dicapai dengan mengakumulasi pengalaman dalam kewenangan jumlah kegiatan yang terbatas, dan dengan meningkatkan kecakapan melalui praktek- praktek yang berulang dan formalisasi pengetahuan yang terkait dengan tugas. Sedangkan untuk dapat terus hidup dalam jangka panjang, sebuah organisasi juga 2 (cid:31) Tacit knowledge adalah suatu pengetahuan yang personal. Oleh karenanya sulit merumuskan dan mengkomunikasikannya. Tacit knowledge merupakan sesuatu pengetahuan dimana kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita ucapkan. Tacit knowledge adalah subyektif, pengetahuan yang berbasis pengalaman (experience- based knowledge) yang tidak dapat diekspresikan dalam kata-kata, kalimat, angka dan formula. Tacit knowledge dapat diamati melalui pola tindakan dan perilaku, dan hal ini dipahami melalui pengkayaan percakapan, tulisan, ceramah (modes of discourse) yang meliputi penggunaan analogi, metafora, contoh-contoh, model, dan story. Meskipun tacit knowledge bersifat pribadi/perorangan/personal, pembelajaran dan demonstrasi pengetahuan tersebut merupakan aktivitas sosial yang terjadi di dalam pasangan, kelompok atau komunitas yang diikat bersama dengan suatu perangkat praktek-praktek bersama (a shared set of practices). Tacit knowledge meliputi keyakinan, imaginasi, intuisi, model mental, dan keahlian teknis. Lebih jauh lagi, bahwa tacit knowledge mengakar secara mendalam di dalam tindakan dan pengalaman individu-individu. Meskipun kondisinya demikian, tacit knowledge membentuk cara seseorang merasakan dunia sekitarnya. (cid:31) Explicit knowledge atau codified knowledge dimaksudkan sebagai sesuatu yang formal dan sistematis. Explicit knowledge mengacu pada pengetahuan yang dapat transmisikan dalam bahasa sistematik formal. Explicit knowledge dapat diekspresikan dalam kata dan angka, dan mudah dikomunikasikan dan dibagi dalam bentuk data keras, formula ilmiah, prosedur baku, atau prinsip-prinsip universal. Explicit knowledge dapat dengan mudah diproses dengan komputer dan disimpan dalam basis data (data base). Explicit knowldge adalah pengetahuan yang dimanifestasikan melalui bahasa, simbol, obyek, dan benda yang dihasilkan atas kecerdasan manusia (artifact). Contoh-contoh explicit knowledge, misalnya sejarah, statuta, paten, software codes, formula kimia, model matematika, rencana bisnis, dan laporan statistik. (lihat Nonaka & Takeuchi, 1995) 4 dituntut untuk mampu mengembangkan kapabilitas baru, untuk menangkap atau menciptakan konsep atau teknologi baru. Pencarian pengetahuan baru merupakan realisme dari eksplorasi. Sudah menjadi sifat eksplorasi yang seringkali menunjukkan proses ketidakteraturan (messy process). Dari uraian sebelumnya dapat digarisbawahi bahwa intisari dari organizational learning adalah kemampuan organisasi untuk memperoleh pemahaman secara mendalam (insight) dari pengalaman yang sudah dilaluinya. Terkait dengan organizational learning dimaksud, Shaw & Perkins (1992) menawarkan sebuah model pembelajaran organisasi (Gambar 1)3. 1) Beliefs systems, actions, dan outcomes Model organizational learning sebagaimana yang ditawarkan Shaw & Perkins (1992), dimulai dengan sistem keyakinan (belief systems) yang mempengaruhi perilaku seluruh anggota organisasi. “Keyakinan” dalam cakupan yang luas menurut Shaw & Perkins (1992), mengandung pengertian kombinasi nilai-nilai, pengetahuan dan keahlian. Oleh karenanya, sistem keyakinan dalam konteks organisasi tersebut merupakan rujukan bagi individu-individu di dalam organisasi, dimana mereka mengambil berbagai tindakan (actions) berdasarkan sistem keyakinan organisasi mereka. Pada gilirannya, tindakan-tindakan yang diambul tersebut akan mempengaruhi hasil-hasil tertentu (particular outcomes), baik itu keberhasilan maupun kegagalan dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. 2) Reflection, insight, dan dissemination Pembelajaran yang efektif terjadi manakala orang-orang di dalam organisasi mampu berpikir secara mendalam (reflection) terhadap berbagai konsekuensi dari tindakan yang mereka ambil dan mendapatkan insight --pemahaman yang semakin kaya dan akurat terhadap factor-faktor kunci di lingkungan mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, oleh karenanya sangatlah penting untuk memahami keterkaitan “cause-and-effect”. Pada prinsipnya, effective reflection mampu menambah pengetahuan dasar individu saat ini dan hasilnya akan membawa kepada pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara “actions and outcomes”. 3 Model pembelajaran organisasi (organizational learning) atau penciptaan pengetahuan organisasi (organizational knowledge creation) yang lain, misalnya Ikujiro Nonaka & Hirotaka Takeuchi “The Five Phase Model of The Organizational Knowledge-Creation”dalam bukunya The Knowledge Creating Company. New York: Oxford Univ. Press, 1995. Model tersebut berdasarkan pada spiral penciptaan pengetahuan organisasi, dengan menggunkan 2 (dua) dimensi yaitu Epistemological dan Ontological. Dimensi epistemologi terdiri dari tacit dan explicit kowledge sebagai kunci utamanya dan termasuk juga dalam proses pergeseran/perubahan diantara perbedaan cara konversi pengetahuan. Konversi pengetahuan dimulai dari 1) socialization (field building), dilanjutkan dengan 2) externalization (dialog atau refleksi bersama), kemudian 3) combination (keterkaitan dengan explicit knowledge), dan diakhiri dengan 4) internalization (learning by doing) atau siklus tersebut akan diulang kembali. Dimensi epistemologi dan ontologi dikombinasikan dengan 5 (lima) kondisi yang mendukung (enabling conditions) yaitu kesungguhan maksud/tujuan (intention), otonomi (autonomy), (fluctuation/creative chaos), redundancy, dan variasi- variasi yang diperlukan (requisite variety) misalnya perbedaan internal sebuah organisasi. Kombinasi antara dimensi epistemologi dan ontologi dengan enabling condition adalah untuk menciptakan proses model 5 (lima) fase penciptaan pengetahuan organisasi (the five phase model of organizational knowledge-creation process). 5 Gambar 1. Organizational Learning Model Sumber: Adaptasi dari Robert B. Shaw & Dennis N.T. Perkins. “Teaching Organizations to Learn”. Dalam David A. Nadler, Marc S. Gerstein, & Robert B. Shaw, Organizational Architecture: Designs for Changing Organizations. San Francisco: Jossey-Bass, 1992. Adapun siklus pembelajaran kelompok (group learning) secara prinsip mirip dengan pembelajaran individual. Keyakinan sebuah kelompok akan berusaha dan mendukung action kelompok yang bersangkutan dimana action tersebut akan berpengaruh terhadap outcome-nya. Effective reflection dalam konteks kelompok adalah membantu suatu kelompok untuk melakukan modifikasi sistem keyakinan yang tengah eksis (existing belief system). Misalnya, suatu kelompok diminta untuk mengembangkan sebuah produk baru. Baik keberhasilan maupun kegagalan yang diperoleh kelompok tersebut, pada akhirnya, hasilnya adalah bahwa kelompok dimaksud mampu memahami secara lebih baik mengenai hal-hal apa saja yang bisa berjalan dan hal-hal apa saja yang tidak mampu bekerja. Pemahaman mendalam (insight) seperti inilah yang kemudian menjadi rujukan seluruh anggota kelompok, meskipun tidak semua anggota kelompok tersebut terlibat dalam proses pengembangan produk baru yang diperintahkan. Kemudian, penyebaran (diffusion) mengenai apa yang telah dipelajari melalui reflection adalah lebih dari sekedar penyampaian sederhana suatu informasi. Berbagi informasi diantara kelompok-kelompok dalam organisasi merupakan sesuatu hal yang penting dalam memfasilitasi reflection dan action. Sistem pembelajaran yang efektif berkaitan sangat erat dengan sudut pandang (perspectives) yang berbeda dalam rangka menginterpretasi pengalaman dan masalah secara lebih baik, Selain itu sistem pembelajaran yang efektif akan mampu merangsang inovasi. Oleh karenanya effective reflection akan semakin optimal manakala terjadi pertukaran informasi. Hal ini mungkin 6 saja terjadi karena semakin lengkapnya informasi yang dibutuhkan untuk menginterpretasikan berbagai konsekuensi tindakan mereka. Dengan demikian dapat disarikan bahwa pembelajaran, hampir selalu terjadi ketika individu-individu dan kelompok-kelompok secara efektif berpikir secara mendalam dan menginterpretasikan hasil-hasil dari tindakannya; individu-individu dan kelompok- kelompok mendiseminasikan pembelajaran baru ke seluruh organisasi; dan individu- individu dan kelompk-kelompok bertindak sesuai dengan keyakinan mereka dan mengungkit pembelajaran baru, baik yang berasal dari mereka sendiri maupun dari pihak yang lain. Permasalahan Umum dalam Mewujudkan Organizational Learning Dalam studinya, Shaw & Perkins (1992) menyatakan bahwa hambatan organizational learning dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, yaitu: 1) a capacity to reflect and interpret, 2) a capacity to transfer and disseminate learning, dan 3) a capacity to act. Masing-masing kategori memberikan efek kapasitas yang berbeda (different capacities) dalam organisasi. Ketiga kategori hambatan tersebut (Gambar 2) diuraikan sebagai berikut : 1) Kemampuan untuk merefleksikan --pemikiran secara mendalam—(reflect) dan menginterpretasi (interpret) dapat dicapai ketika orang-orang merefleksikan hasil dari tindakan-tindakan mereka dalam rangka memperoleh pemahaman yang optimal (insight) ke dalam pengalaman mereka dan berbagai konsekuensinya. Tanpa adanya refleksi seperti itu, maka keterkaitan antara “cause-and-effect” tidak sepenuhnya dapat dipahami. Oleh karenanya, kesalahan atau refleksi yang tidak lengkap (incomplete reflection) akan menghasilkan pembelajaran yang terbatas dan/atau bahkan kurang tepat. 2) Kemampuan untuk mentransfer dan mendiseminasikan pembelajaran dapat dipenuhi ketika terdapat pertukaran gagasan-gagasan secara kolaboratif, dimana perbedaan- perbedaan perspektif disampaikan dan pemahaman-pemahaman disebarluaskan. Tanpa adanya pertukaran demikian, maka insights yang diperoleh dari action dan reflection pada level individu dan kelompok tidak akan mampu direalisasikan secara penuh pada level organisasi. Konsekuensinya adalah bahwa organisasi akan mengulang kesalahan dan kegagalan dalam mengadaptasi perubahan kondisi internal dan kesternal. 3) Kapasitas untuk bertindak dapat diwujudkan ketika orang-orang pada seluruh organisasi diberdayakan untuk bertindak berdasarkan beliefs mereka. Tanpa adanya actions, maka tujuan-tujuan yang dinyatakan tidak akan terwujud secara optimal. Eksperimentasi melalui actions merupakan hal yang sangat penting apabila organisasi menghadapi tantangan kompleksitas lingkungan eksternal yang semakin meningkat. Dengan adanya capacity to act yang dimiliki oleh para anggota organisasi, kemungkinan juga pembelajaran baru dapat diaplikasikan pada seluruh organisasi. 7 Gambar 2. Barriers to Organizational Learning Sumber: Adaptasi dari Robert B. Shaw & Dennis N.T. Perkins. “Teaching Organizations to Learn”. Dalam David A. Nadler, Marc S. Gerstein, & Robert B. Shaw, Organizational Architecture: Designs for Changing Organizations. San Francisco: Jossey-Bass, 1992. 1) Insufficient capacity to reflect: Symptoms & Causes Masalah ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan refleksi dan interpretasi masalah (insufficient capacity to reflect and interpret problem) dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan anggota organisasi untuk menginterpretasikan secara benar mengenai berbagai konsekuensi faktor-faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan organizational outcomes. Dalam hal tersebut para pegawai cenderung mengambil tindakan berdasarkan informasi yang kurang lengkap dan melakukan eksplorasi sebatas pada alternatif-alternatif yang kurang memadai. Tendensi demikian dapat menjadi sangat mengkawatirkan karena membuat organisasi tidak efektif dan tidak mampu beradapatsi dengan kondisi yang berubah. Ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan refleksi dan interpretasi masalah dapat diamati dari beberapa symptoms, yaitu denial of problem, incomplete analysis, dan incorrect analysis. 8 • Mengabaikan masalah-masalah krusial yang berkembang adalah symptoms penting berkaitan dengan ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan refleksi dan interpretasi masalah. Mengabaikan masalah-masalah krusial dimaksud merupakan indikasi bahwa suatu organisasi memiliki masalah-masalah dengan reflection. Masalah-masalah penting tersebut tidak pernah sampai di meja pemecahan dan dituntaskan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila para pegawai mengabaikan atau menghindari masalah krusial yang ada. Mereka mungkin saja menekan masalah-masalah penting yang berkembang, atau bahkan mereka justru salah memilih masalah yang perlu ditindaklanjuti ketimbang masalah vital yang berpengaruh pada kinerja organisasi. • Gejala ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan refleksi dan interpretasi masalah termasuk juga berkaitan dengan analisis yang tidak lengkap dan tidak tepat. Dalam situasi demikian para anggota organisasi mengidentifikasi masalah dan pengembangkan solusinya tidak sepenuhnya membertimbangkan data yang relevan. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa masalah yang ada tidak dapat diatasi secara optimal. Adapun yang menjadi penyebab ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan refleksi dan interpretasi masalah yaitu performance pressure, competency traps, dan absence of learning forum. • Performance pressure berkaitan dengan target kinerja jangka pendek. Hal ini seringkali menjadi penyebab lemahnya pandangan para anggota organisasi dalam melihat sasaran kinerja jangka panjang. Mereka lebih cenderung mementingkan sasaran kinerja jangka pendek. Mengedepankan sasaran kinerja jangka pendek inilah yang secara nyata mengecilkan arti penting formal reflection dalam rangka menumbuhkan pembelajaran (learning). Dalam konteks tersebut, para pegawai pada umumnya lebih memfokuskan kepada usaha mereka untuk melakukan hal-hal yang diukur, diobservasi, dan diamati. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila para anggota organisasi diberikan penghargaan secara ekslusif atas tercapainya target kinerja jangka pendek maka tidaklah mengherankan apabila high-level reflection sulit dilakukan. • Competency traps berkaitan dengan kesuksesan organisasi di masa lalu yang terus dilekatkan dalam kebijakan dan praktek-praktek organisasi di masa kini meskipun sudah kadaluarsa dan sering kontra produktif. Terkait dengan hal tersebut, seringkali para pegawai (individu dan kelompok) terperangkap oleh metode-metode terbaik menurut mereka, meskipun sesungguhnya terdapat pendekatan lain yang mungkin lebih cocok dan diperlukan. Alhasil, para pegawai tidak tertarik dan tidak tertantang untuk menemukan pendekatan baru yang mungkin lebih efektif untuk masa yang akan datang. • The absence of learning forum yaitu suatu keadaan dimana learning tidak memiliki ruang dan tidak difasilitasi oleh organisasi. Hal demikian sudah menjadi rahasia umum dimana organisasi mem-protect rutinitas yang telah lama berlangsung dan menghindari berbagai konflik dan tuntutan manakala pembelajaran ditumbuhkembangkan. Pada umumnya para pimpinan lebih memfokuskan kepada bagaimana meningkatkan praktek-praktek dan proses yang sudah ada. Dengan tidak adanya learning forum, maka sebuah organisasi 9 akan kesulitan untuk melakukan analisis kekuatan dan kelemahan organisasi dari sudut pandang yang lebih luas terkait dengan ancaman dan peluang eksternal. 2) Insufficient capacity to disseminate learning: Symptoms & Causes Kegagalan orang-orang untuk berbagi informasi dan insight dalam kelompok-kelompok organisasi yang berbeda merupakan hal yang biasa terjadi. Hal inilah yang dimaksud dengan ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan penyebaran pembelajaran. Ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan penyebaran pembelajaran dapat diamati dari beberapa symptoms-nya, yaitu problem ignorance, solution ignorance, dan redundancy of effort. • Problem ignorance adalah salah satu symptom kegagalan berbagi informasi dan insight dengan individu atau kelompok lain. Hal ini terutama seringkali terjadi pada pegawai pada lower level. Para pegawai pada level ini biasanya memahami masalah-masalah penting organisasi, tetapi mereka tidak mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak yang berkompeten atau pihak yang perlu tahu. Symptom lain yang terkait dengan hal ini adalah solution ignorance. Solution ignorance terjadi manakala kelompok-kelompok tertentu mengidentifikasi masalah dan mengembangkan solusinya tetapi upaya-upaya tersebut tidak disebarluaskan ke seluruh organisasi. • Karena berbagai solusi –sebagaimana tersebut di atas-- tidak disebarluaskan ke seluruh organisasi, akhirnya ditemukan bahwa organisasi seringkali melakukan hal yang sama (menemukan solusi yang sama) tanpa melalui berbagi pelajaran dari kegagalan masa lalu di antara pihak-pihak terkait. Redundansi seperti ini merupakan hal umum di berbagai organisasi berskala besar. Selanjutnya, yang menjadi penyebab ketidakcukupan kapasitas untuk melakukan penyebaran pembelajaran yaitu intergroup boundaries, myth of uniqueness, dan narrow information bandwidths. • Batas-batas antarkelompok yang kuat (strong intergroup boundaries) pada dasarnya merupakan sikap yang menyatakan bahwa meskipun suatu kelompok berada pada satu organisasi tetapi masing-masing kelompok tersebut memiliki perbedaan, sehingga informasi dan insight yang dibutuhkan juga berbeda. Perbedaan tersebut misalnya perbedaan lini dan staf, tugas dan fungsi, dan perbedaan geografis. Karena kuatnya perbedaan yang diangkat, tidak jarang terjadi bahwa masing-masing kelompok bagaikan lawan yang harus saling mengalahkan, bukannya memfokuskan secara bersama-sama terhadap ancaman yang dihadapi organisasi sebagai keseluruhan. • Myth of uniqueness muncul dari keyakinan individu dan kelompok bahwa dirinya adalah berbeda dengan yang lain, sehingga timbul pandangan bahwa eksistensi individu dan kelompoknya adalah unik. Karena merasa berbeda itulah maka mereka memandang bahwa pengalaman individu dan kelompok lain tidak relevan bagi situasi mereka. • Terbatasnya kapasitas transmisi (narrow bandwidths) untuk menerima pertukaran berbagai informasi penting, dapat menghalangi komunikasi yang dibutuhkan untuk pembelajaran mendalam (in-depth learning). Pertukaran berbagai informasi penting dimaksud tentu saja meliputi informasi jangka 10
Description: