PRAKATA Bahan Ajar “Sejarah Etika” ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi para mahasiswa yang belajar pada matakuliah “Sejarah Etika” di Fakultas Filsafat Widya Mandala Surabaya. Bahan Ajar ini berisi pokok-pokok pemikiran etis sejumlah filsuf moral dalam sejarah Filsafat Barat yang disusun secara kronologis seperti maksud dari mata kuliah ini yaitu berisi sejarah pemikiran. Tidak semua pemikiran etis dari filsuf moral dihadirkan di sini. Pemilihan filsuf moral untuk dikenal pokok- pokok pemikiran etisnya di sini didasarkan pada pengaruhnya dalam etika. Surabaya, Juni 2016 Xaverius Chandra 1 DAFTAR ISI Prakata 1 1. Review: Apa Itu Etika 4 2. Plato 7 3. Aristoteles 13 4. Epikuros 29 5. Stoasisme Kuno 34 6.S t. Agustinus 38 7. St. Thomas Aquinas 46 8. Thomas Hobbes 52 9. Francis Hutcheson 56 10. Joseph Butler 61 11. Immanuel Kant 72 12. David Hume 95 13. Jeremy Bentham 105 14. John Stuart Mill 112 15. Friedrich Nietzsche 122 2 16. Max Scheler 127 17. Emmanuel Levinas 137 18. George E. Moore 147 19. Charles L. Stevenson 156 20. Richard Hare 162 21. Jean P. Sartre 167 22. Joseph Fletcher 175 23. Alfred J. Ayer 181 24. Alasdair McIntyre 184 25. J. Habermas 189 Bibliografi 200 3 1. REVIEW: APA ITU ETIKA? 1. Apakah etika itu? Etika merupakan refleksi kritis, metodis, sistematis tentang baik buruknya tindakan secara normatif. Etika berurusan dengan elaborasi akal budi menaksir nilai moral. Ia lebih daripada “ethos.” Ia bertanya misalnya: manakah tindakan yang baik, mana yang seharusnya dilakukan demi hidup yang baik. Ia normatif dalam arti berurusan dengan baik buruknya tindakan sehubungan dengan dengan nilai atau kebaikan tertinggi. Bahkan, lebih daripada deskriptif atau normatif, ia metaetis. Di samping itu, ia juga ilmu kritis. Ia tidak puas dengan anggapan yang ada mengenai baik buruknya tindakan sehingga ia mempertanyakan alasan-alasan di balik klaim-klaim yang diajukan sampai dapat tercapai koherensi dan konsistensi secara rasional. Sehubungan dengan ini ia biasa mengajukan pertanyaan seperti: mengapa tindakan A yang disebut baik? Apa dasarnya itu dianggap baik? Mengapa norma A yang diacu, kok bukan A? Apa alasannya sikap moral itu yang dipilih, kok bukan yang lainnya? 2. Sejak kapan mulai ada etika? Cicero berpandangan bahwa etika sebagai suatu refleksi rasional akan baik atau buruk itu hidup manusia dimulai oleh Sokrates (469-399). “Adalah pandanganku, dan ini disetujui secara universal, bahwa Sokrates 4 adalah orang pertama yang memanggil filsafat keluar dari misteri-misteri yang terselubung dalam penyembunyian oleh alam sendiri, yang di atasnya semua filsuf sebelumnya sudah terlibat, dan membawanya menjadi subjek dari hidup keseharian, untuk meneliti keutamaan-keutamaan dan cela-cela, dan kebaikan dan keburukan secara umum, dan untuk menyadari bahwa hal-hal surgawi adalah jauh dari pengetahuan kita atau juga, sebagaimana diketahui secara penuh, tidak memiliki hubungan dengan hidup yang baik." (Academica, I.5.15); Cicero juga menyatakan: “Sokrates pertama kali menyebut filsafat turun dari langit, meletakkannya di kota-kota dan bahkan memperkenalkannya di rumah-rumah, dan mendesaknya memikirkan hidup dan moral, baik dan buruk” (dalam Tuscuan Disputations, V. 4. 10). Bila klaim Cicero itu benar, maka etika mulai dengan Sokrates (abad IV SM) sebagai etika yang bukan sekadar pengajuan proposisi moral, tetapi pengujian rasional atas apa yang terbaik untuk membuat manusia memiliki keunggulan, termasuk dalam hidup, dalam masyarakat yunani kuno yang mengidealkan hidup berkeutamaan. Etika menurut Sokrates adalah pengetahuan atau keahlian untuk dipraktikkan dan dipelajari sebagaimana pengetahuan atau keahlian lainnya, namun yang membedakannya dari pengetahun dan keahlian lainnya adalah objeknya, yaitu kebaikan. Pengetahuan pada Sokrates menunjuk pada daya, kapasitas dalam tindakan-tindakan yang dispesifikasi oleh objeknya. Bagi Sokrates pengetahuan adalah perlu dan memadai untuk keutamaan. Semua orang bertindak menurut apa yang diketahuinya sebagai baik. Orang yang berkeutamaan adalah orang yang mengetahui perihal 5 keutamaan itu. Tak seorangpun bertindak buruk kecuali keluar dari ketidaktahuan akan kebaikan. Dengan kata lain, tak seorangpun pernah melakukan yang salah secara sengaja. Perbuatan buruk terjadi karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang hakikat keutamaan. Pada Sokrates tampak etika sebagai ilmu kritis pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya oleh orang-orang bergulat dengan etika: apakah mereka berada dalam posisi yang tepat untuk menjelaskan mengenai bagaimana memiliki keutamaan karena itu menuntut mereka mengerti apa itu keutamaan. Ia melancarkan kritik negatif pada pandangan moral orang lain dengan interogasi sistematis dan pemeriksaan menyeluruh bukan karena ia tahu lebih, tapi justru karena ia merasa bebas dari kesalahan yang dibuat orang yang merasa dirinya tahu. Sokrates sendiri mengakui kekurangan keahlian padanya sehingga keutamaan melarangnya untuk memberikan teori moral. Ia terus mencari definisi tanpa menemukannya dan ia sendiri tidak yakin bisa memberikan definisi seperti yang ditanyakannya pada orang lain. 6 2. PLATO (427-348 SM) 1. Apakah Plato meninggalkan suatu karya khusus tentang etika? Tidak. Meskipun demikian, dari karya-karyanya bisa ditemukan pandangan-pandangan mengenai etika. Apakah pandangan Plato itu menyuarakan ajaran Sokrates atau pandangannya sendiri? Memang sulit membedakan mana pandangan Sokrates dan Plato karena tidak ada penulis awali yang menunjukkan yang mana pandangan Sokrates. Ketercampuran ini tampak pada Dialog-dialog Sokratis, meski pada karya-karya klasik yang dihubungkan dengan Plato (Phaedo, Republic, Symposium) ditemukan pandangan etis Plato sendiri. 2. Apakah pandangan khas Plato tentang etika? Pandangan khasnya tampak pada sejumlah persoalan yang diajukannya: Apakah unsur-unsur dari keutamaan? Apakah definisi dari masing-masing keutamaan itu? Apakah semua keutamaan adalah satu? Apakah keutamaan-keutamaan dapat diajarkan? Apakah keutamaan-keutamaan merupakan bentuk dari pengetahuan akan kebaikan? Apakah orang yang mengetahui sesuatu sebagai baik pastilah memilih dan mencarinya? Apakah menjadi berkeutamaan (khususnya adil) membawa kesejahteraan? Apakah hubungan kesenangan dan kebahagiaan? 7 3. Apa itu keinginan menurut Plato? Dalam psikologi moral Plato ditemukan bahwa keinginan itu soal persetujuan, penerimaan, dan lawannya adalah kebencian (Republik, buku IV). Dibedakan olehnya keinginan rasional atau bagian rasional dari jiwa dan prinsip keinginan irasional atau bagian irasioaal dari jiwa. Keberadaan amarah atau emosi merusak membuat ada yang di tengah-tengah antara dua prinsip keinginan itu. Ketiganya esensial sebagai prinsip-prinsip tindakan (rasio, afektivitas, dan kesenangan) dengan kesenanganya masing-masing dan berlawanan satu sama lain. Rasio berhubungan dengan dua prinsip jiwa lainnya dalam bentuk dorongan dan perlawanan sehubungan dengan hal menggerakkan tindakan. Intelek merupakan prinsip dari tindakan-tindakan rasional dan memiliki kemampuan menggerakkan tindakan dari dirinya sendiri secara khas. Keinginan-keinginan irasional hadir dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan natural seperti minum dan makan. Pada bagian ketiga jiwa ditemukan keinginan terus- menerus akan dominasi, kemenangan, reputasi (Republik, 581 a- b) dengan isinya marah atau emosi kasar. Masing-masing bagian jiwa ini dalam Republik dihubungan dengan bagian-bagian dari polis. Selanjutnya, setiap keutamaan atau kualitas jiwa dilihat sebagai suatu bentu seimbang yang optimal yang ada antara penilaian, emosi, reaksi dan keinginan dari tiap bagian jiwa. 4. Apakah keutamaan itu dalam ajaran Plato? Pertama-tama, hidup berkeutamaan merupakan soal dasar dari etika Yunani. Ia berkenaan dengan bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik. Keutamaan berkenaan dengan soal hidup baik (bermutu, bernilai, berkualitas maksimal). Pada Plato elaborasi tentang keutamaan berkaitan dengan pandangannya tentang 8 realitas. Apa pandangan Plato tentang realitas? Menurutnya ada realitas yang tidak sesungguhnya dan ada yang tidak. Realitas sejati (idea) adalah Kebaikan. Kebaikan itu dasar dari segalanya. Ia juga menarik manusia untuk mendekat padanya. Memandangnya merupakan kebahagiaan yang tertinggi. Keutamaan bagi Plato merupakan suatu ideal dari otonomi moral dan rasionalitas kemamadaian diri yang melindungi individu dari keburukan-keburukan nasib dan gangguan-gangguan dari pihak-pihak lain. “Arete” dipakai sangat umum menunjuk pada mata, telinga, dan kaki, di mana arete dipakai untuk menunjuk pada fungsi (mata untuk melihat, dan kaki untuk berlari) dan untuk realisasi optimal serta keunggulan dari fungsi itu. Arete manusia menunjuk pada apa yang dibuat dan dilaksanakan manusia secara spesifik dan optimal. Karena manusia bisa melakukan tindakan dengan kehendak, maka arete diartikan berangkat dari jiwa manusia. Sebagaimana tatanan jiwa manusia demikianlah forma pertama dari kebaikan manusia. Arete didefinsiikan berangkat dari refleksi dan pengetahuan sebagai kapasitas menangkap dengan jelas tujuan tindakan dan menentukan sarana-sarananya. Ini melibatkan tatanan jiwa dan kehadiran pengetahuan sehingga arete dapat diketahui. Keutamaan berhubungan dengan kebaikan manusia, dan kebaikan manusia menunjuk pada cara mengada batiniah yang terletak dalam harmoni yang diletakkan dalam jiwa antara unsur-unsur dan fungsi-fungsinya yang berbeda-beda. Suatu keutamaan memberikan pada jiwa suatu kebaikan yang real. Ia bukan hanya berkontribusi bagi tatanan jiwa, melainkan juga 9
Description: