AKULTURASI PESANTREN JAWA DI JAMBI Akulturasi Pesantren Jawa di Jambi Acculturation Java Islamic Boarding School in Jambi Badarus Syamsi IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Jambi-Ma.Bulian KM 16, Simpang Sungai Duren, Muaro Jambi, Jambi Abstrak: Artikel ini lahir dari penelitian yang telah dilakukan dengan judul “Spirit Keagamaan dan Identitas Etnis: Studi tentang Pembentukan Pesantren Migran Jawa di Jambi”. Penelitian ini ingin menentukan karakter tiga sekolah migran Jawa: Raudhatul Mujawwidin di Kabupaten Tebo, Al-Muhajirin di Batanghari, dan An-Nur di Muara Jambi. Penelitian ini mencakup tiga topik: tipologi kepemimpinan sekolah-sekolah, kurikulum, dan kegiatan budaya terjadi di dalam pesantren. Analisis juga dilakukan tentang apakah pesantren migran Jawa telah mengalami akulturasi dengan budaya dan kehidupan sosial Jambi atau masih mempertahankan budaya pendidikan Jawa. Studi ini menunjukkan bahwa sekolah masih mempertahankan ciri khas Jawa tersebut. Ciri khas Jawa ditampilkan pada bahasa, dalam proses belajar mengajar, bahkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kata kunci: Pondok Pesantren, akulturasi, kyai, kitab kuning. Abstract: This article rises up from a research that has been conducted under the title “Religious Spirit and Ethnic Identity: Study on Establishment of Javanese Migrant Pesantren in Jambi”. The study wishes to determine the character of three Javanese migrant schools: Raudhatul Mujawwidin in district Tebo, Al-Muhajirin in Batanghari, and An-Nur in Muara Jambi. The research covers three topics: leadership typology of those schools, the curriculum, and the cultural activities occurs inside the boarding schools. The Article analyzes whether Javanese migrant boarding schools has carried out the acculturation of the culture and social life of Jambi or still maintain Javanese education culture. The study showed that the schools still maintain its Javanese characteristic. The hallmark of Java displayed on the language in the process of teaching and learning, even more in the language of their daily life. Keywords: Islamic Boarding School, acculturation, kyai, yellow book. A. Pendahuluan Pondok pesantren yang terdapat di Jambi memiliki daya tarik tersendiri, khususnya dalam konteks siapa pelopor pendirian pondok pesantren tersebut. Berdasarkan data di Kementerian Agama Provinsi Jambi, dalam provinsi ini terdapat 164 pondok pesantren yang tersebar diseluruh kawasan Jambi. Jika diamati lebih dalam, maka 70% dari pondok yang tersebar di seluruh Provinsi Jambi tersebut didirikan oleh migran Jawa. Mayoritas pondok tersebut berada di daerah transmigrasi dan sebagian lainnya di tengah-tengah penduduk lokal. Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 47 BADARUS SYAMSI Keberadaan pondok pesantren tentu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat secara utuh. Hal itu berarti bahwa pondok pesantren berhubungan erat dengan kondisi sosial dan geografis dimana lembaga pendidikan Islam tersebut berada. Jika lembaga tersebut berada di daerah Jambi, maka perlu untuk dibahas tentang bagaimana proses sosialisasi dan relasi pesantren tersebut dengan budaya Melayu Jambi sebagai kebudayaan masyarakat setempat. Akulturasi dengan budaya setempat adalah keniscayaan. Meskipun didirikan oleh pendatang dari Jawa, maka sudah seharusnya pesantren dapat beradaptasi dan bila perlu berakulturasi dengan budaya Melayu Jambi sehingga terjadi penyelerasan antara ajaran dan kurikulum sekolah dengan budaya setempat. Jika hal itu tidak pernah menjadi mainstream dalam pembahasan pesantren di Jambi, maka tentu yang akan terjadi eksklusivitas pesantren dari nilai-nilai kebudayaan setempat. Pesantren akan tetap dengan sistem dan kurikulum ala Jawa-nya, dan tidak tersentuh sama sekali oleh nilai-nilai kebudayaan Melayu Jambi. Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan menguraikan secara mendalam perkembangan dan sistem pendidikan pondok pesantren di Jambi yang nota bene-nya didirikan oleh orang-orang Jawa sama ada sistem dan kurikulum pendidikan mereka sudah akulturatif atau masih bercirikan pesantren Jawa di tanah asalnya. B. Penetapan Kurikulum Pesantren Pembahasan kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal pesantren. Bahkan di Indonesia terma kurikulum belum pernah populer pada saat proklamasi kemerdekaan, apalagi sebelumnya. Berbeda dengan kurikulum, istilah materi pelajaran justru mudah dikenal dan mudah dipahami di kalangan pesantren. Namun untuk pemaparan berbagai kegiatan baik yang berorientasi pada pengembangan intelektual, ketrampilan, pengabdian maupun secara umum kepribadian agaknya lebih tepat digunakan istilah kurikulum. Dari pemaparan tentang kurikulum, dapat diketahui bahwa berdasarkan materi pelajaran, pada ketiga pondok pesantren hampir memiliki kesamaan dalam materi-materi yang diajarkan. Materi yang sangat pokok yang diajarkan di Pondok Pesantren al-Muhajirin antara lain; Ilmu Alat Nahw, Sharaf, Mantiq, Balaghoh, Aqidah, Fiqh, dan Tashawuf. Dari rangkaian ilmu yang dijabarkan tersebut, tidaklah semuanya memiliki bobot perhatian dan pendalaman yang sama. Ada tekanan pada pengajaran tertentu. Tasawuf tidak lagi mendominasi kurikulum. Jika pada masa awal pertumbuhan pesantren, tasawuf sebagai materi pelajaran yang sangat dominan, maka pada akhir-akhir ini tasawuf telah digeser oleh mata pelajaran lainnya. Akibatnya perhatian pada tasawuf mulai melemah. Pada dua pesantren yakni, al-Mujawwidin dan an-Nur, materi pelajaran umum menjadi begitu tampak seiring dengan dianutnya triple curriculum yakni kurikulum pondok, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Tekanan pada bahasa Arab dengan mudah dapat dipahami latar belakangnya. Bahasa Arab adalah sebagai alat dalam memahami dan mendalami ajaran Isiam terutama yang teruraikan dalam al-Qur’an, al-hadits, dan kitab-kitab Islam klasik. Alat memang harus dilengkapi dulu sebelum mencapai sasaran dalam upaya pencapaian tujuan. Jika ilmu 48 Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 AKULTURASI PESANTREN JAWA DI JAMBI alat yang meliputi berbagai cabang itu telah dikuasai santri maka harapan kiai terhadap penguasaan santri terhadap berbagai bidang ilmu lainnya akan segera menjadi kenyataan. Maka bahasa Arab merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi pendalaman ajaran- ajaran Islam. Sebagai pesantren yang kental dengan karakter Jawanya, pada ketiga pondok ini sama- sama mengajarkan pengajian “Kitab Kuning”. Pengajian Kitab Kuning merupakan ciri khas pondok-pondok pesantren Jawa. Pengajaran kitab kuning dilakukan di kelas, atau di masjid. Pada saat itu, para ustadz atau bahkan kyai mengulas dan menjelaskan isi dan maksud kitab kuning yang dikaji bersama. Uraian dan penjelasan ustadz atau kyai semuanya menggunakan bahasa Jawa. Di sinilah para santri yang kebetulan belum bisa berbahasa Jawa, harus belajar menyesuaikan diri dengan bahasa Jawa yang dipakai untuk mengulas isi kitab kuning. Dalam sistem pengajarannya, khususnya di Pondok Pesantren al-Muhajirin, masih menggunakan sistem sebagaimana pondok pesantren Jawa pada umumnya. Sistem yang dipakai adalah sistem Sorogan dan Bandongan. Sistem sorogan dan bandongan dipergunakan untuk semua santri, baik santri laki-laki maupun santri perempuan. Pondok Pesantren al-Muhajirin tidak menggunakan kurikulum dari Kemendiknas maupun Kemenag. Pondok ini menggunakan kurikulum sendiri dengan sistem salafi. Ijazahnya juga hanyalah ijazah pondok atau sering disebut dengan ‘ijazah diniyah’. Di sisi lain, penyebutan istilah “santri kalong” atau santri yang hanya datang pada saat-saat tertentu dan tidak menginap di pondok, semakin memperkuat corak khas pondok pesantren Jawa pada pondok-pondok tersebut. Khususnya pada pondok al-Muhajirin dan an-Nur. Dalam menilai kurikulum pesantren ini, manakala ditinjau dari model pandangan para kiai tentang hakekat pendidikan, secara teoritis dapat dibagi dua kelompok, yakni para kiai yang memiliki pandangan tradisionalis dan modernis. Mereka yang berfikiran tradisionalis cenderung mempertahankan bentuk pesantrennya (kurikulum pendidikannya) secara tradisional, sedangkan mereka yang berfikiran modernis cenderung berupaya mengadakan pembaharuan bagi pelaksanaan pendidikan di pesantrennya, seperti melaksanakan kegiatan- kegiatan yang tidak sekedar aspek-aspek ilmu keagamaan saja. Jika dilihat corak pemikiran para kiai sebagai pendiri dan pemilik pesantren Jawa di Jambi ini, maka corak sangat tradisional terdapat pada Pondok Pesantren al-Muhajirin. Pondok ini melaksanakan sistem salaf dengan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja dan tidak menggunakan kurikulum diknas dan kemenag. Ijazah yang diberikan juga hanya ijazah yang bersifat lokal pondok. Para santrinyapun diberi kebebasan untuk menempuh pendidikan setingkat SMP atau SMA di luar jam pondok, baik negeri maupun swasta agar bisa memperoleh ijazah yang diakui Dinas Pendidikan Nasional. Sementara itu pada kedua pondok lainnya yakni Pondok Pesantren al-Mujawwidin dan an-Nur, kurikulumnya sudah modern. Kedua pondok tersebut tidak tampak tradisionalismenya, akan tetapi corak Jawanya masih kental dengan penggunaan bahasa Jawanya dalam proses pendidikannya. Kedua pondok telah memberikan berupaya Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 49 BADARUS SYAMSI memberikan ilmu pengetahuan yang dapat mempersiapkan santri untuk bekal kehidupan di dunia dan di akhirat kelak berupa ketrampilan-ketrampilan kerja. Pada Pondok Pesantren al-Mujawwidin, kurikulumnya sudah menggunakan triple curriculum (tiga kurikulum) yakni kurikulum kemendiknas, kemenag, dan kurikulum pondok itu sendiri. Dari segi kurikulum, pondok ini sudah dapat dikategorikan sebagai pondok modern. Akan tetapi, sisi tradisionalisme pondok ini masih terlihat pada sistem pengajaran kitab kuning yang menggunakan bahasa Jawa. Sementara di Pondok Pesantren an-Nur, kurikulumnya juga menggunakan kurikulum triple curriculum. Sisi modern pada pondok ini terlihat pada penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar pada proses belajar mengajar. Visi modern pondok juga terlihat pada beberapa usaha ekonomis pondok ini. Banyak sekali kegiatan-kegiatan perekonomian yang dapat menginspirasi dan menumbuhkan semangat interpreneurship (kewirausahaan) kepada para santri. Dengan demikian, Pondok Pesantren an-Nur tidak hanya menitik beratkan pada pendidikan keagamaan saja. Sementara pada Pondok Pesantren al-Mujawwidin, usaha-usaha tersebut baru menjadi visi dan planning di masa akan datang. Di sisi lain, sebagai wujud modernisasi pondok, di Pondok Pesantren an-Nur para pengurusnya telah menjadikan bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Meskipun usaha-usaha seperti itu masih membutuhkan perhatian dari para pengurusnya. Hal ini karena masih terdapat santri yang sesekali belum melaksanakan hal itu. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Dan hal inilah kiranya yang memang sedang digalakkan oleh pesantren an-Nur. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren an-Nur misalnya mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dengan melihat adanya visi kurikulum yang berbeda di antara ketiga pesantren ini, maka Pondok Pesantren al-Muhajirin yang salafiyah sebagai tipologi pondok tradisional, kiranya membutuhkan bantuan pemerintah (kemenag) guna memodernisasi sistem kurikulumnya dengan tampa mengubah visi salafiyahnya. Sementara untuk kedua pesantren lainnya yang sudah modern, pemerintah hanya perlu mengawal kemajuan pondok tersebut agar semakin maju. Sejalan dengan pandangan ontologis di atas, maka pandangan kia tentang hakekat ilmu pengetahuan ini ditemukan ada yang lebih menekankan supremasi ilmu-ilmu keagamaan di atas ilmu-ilmu pengetahuan umum, yakni pada Pondok Pesantren al-Muhajirin. ada pula yang memandang secara berimbang, yakni al-Mujawwidin dan an-Nur. Namun hampir semua pesantren masih memiliki ciri khas pada kajian-kajian pokok Islam. semua pondok pesantren ini mengajarkan tasawuf, fikih, teologi, qur`an, hadis dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua pesantren ini masih berbasis 50 Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 AKULTURASI PESANTREN JAWA DI JAMBI pada faham fikih sufistik al-Ghazali, yang mengajarkan aspek ilmu-ilmu fikih dan akhlak. Semua kiai pemilik pesantren di Jambi ini memandang bahwa ilmu untuk kehidupan dunia itu penting, namun ada sebagian, sebagaimana paham al-Ghazali, ilmu dunia yang diperlukan hanyalah ilmu-ilmu untuk kepentingan kehidupan (keterampilan untuk hidup), seperti pertukangan, pertanian, menjahit, dan sebagainya. Sebagian lagi terdapat kiai yang sudah berpandang jauh terhadap pentingnya ilmu-ilmu yang bukan sekedar untuk kehidupan praktis saja, tetapi memandang perlu ilmu dan teknologi berdasarkan kemajuan pengatahuan dan teknologi sekarang. Dalam visi ini, kita melihat bahwa Pondok Pesantren an-Nur merupakan tipikal pondok pesantren masa depan. Sebagai pesantren modern sendiri memiliki bobot keberanian yang berbeda dalam menerima pelajaran umum, baik intra maupun ekstra kurikuler. Para santri pesantren modernvmempelajari di samping matematika, fisika dan kimia, bahasa asing modern (Inggris dan Arab). Hal ini dapat dilihat pada Pondok Pesantren an-Nur yang menjadikan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Untuk menjadi pesantren modern, pesantren dengan kurikulum pengetahuan agama saja belumlah cukup banyak. KH. Marwazi sebagai pimpinan pesantren an-Nur senantiasa menyadari kemandirian pesantren. Mulai awal proses berdirinya hingga sekarang. Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling mandiri. Kemandirian ini menjadi doktrin kyai pada santri. Akibatnya ketika kembali ke kampung, santri mengamalkan kemandirian tersebut yang tidak cukup berbekal tekad, melainkan harus dipandu dengan potensi. Jika meminjam penjelasan Azyumardi Azra yang menjelaskan bahwa pembaharuan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian ketrampilan, khususnya dalam bidang pertanian, agar bisa menjadi bekal para santri di samping untuk menunjang ekonomi pesantren itu sendiri, maka pada pesantren an-Nur, tercatat bahwa pondok ini memiliki jenis-jenis usaha entrepreneurship seperti koperasi pondok, ternak itik, usaha air minum, dan sebagainya. Semua ini dapat dilihat sebagai upaya pondok pesantren ini untuk mengenalkan kemandirian dengan cara berwiraswasta kepada santri-santrinya. Koperasi adalah termasuk suatu jenis ketrampilan yang paling diminati pesantren. Koperasi diangap relevan dengan ajaran Islam dan kehidupan pesantren. Kehadirannya berkaian erat dengan keadaan sosial ekonomi, baik dalam skala makro maupun mikro yang membutuhkan solusi, di samping pengaruh keadaan sosial politik berupa program pembangunan yang digalakkan pemerintah. A. Wahid Zaeni dalam Dunia Pemikiran Kaum Santri pernah menyatakan bahwa keberadaan koperasi di pesantren dapat menunjang pemantapan sosial ekonomi serta mendorong dinamika pesantren dan masyarakat lingkungan nya. KH. Hasyim Asy’ari sendiri ketika mendirikan badan semacam koperasi, Syirkat al-Inan limurabathat al-Tujjar pada 1918, dimaksudkan untuk memberikan solusi atas masalah sosial ekonomi masyarakat. Pada Pondok Pesantren an-Nur, koperasi yang didirikan dimaksudkan sebagai sarana penunjang ekonomi pondok pesantren. Koperasi an-Nur menjalankan usaha dengan Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 51 BADARUS SYAMSI berbentuk toko bangunan yang menjual bahan-bahan bangunan. Pondok ini juga aktif dalam usaha perdagangan dengan membentuk Depot Isi Ulang Air Minum, yang diberi nama AN-NUR WATER. Pada mulanya depot tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum para santri dan asatidz, namun melihat prospek kedepan semakin cerah dengan menjalankan bisnis isi ulang air minum ide tersebut harus segera diwujudkan, sekaligus sebagai pendapatan sebagai pendamping ekonomi pesantren, selain dari kopwan, Maka Depot Air Minum tersebut dipindahkan ke Depan Simpang Tangkit tepatnya disamping Toko Bangunan Kopwan an-Nur Tangkit. Seiring dengan berjalannya waktu omset penjualan an-Nur Water mengalami peningkatan, karena mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai konsumen atas pelayanan yang memuaskan baik dari segi karyawan dan mutu air minum itu sendiri. Satu bulan saja sudah terjual lebih kurang 1000 Galon. Dari hasil penjualan tersebut An-Nur Water juga telah menambah armada pendistribusian air minum tersebut dengan membeli kendaraan roda 3 (Montrada). Dari beberapa usaha perekonomian ini, Pondok Pesantren an-Nur sebagai pondok modern yang dapat menjadi prototipe (contoh) bagi pondok-pondok pesantren lainnya di Jambi manakala ingin menjadi sebuah pondok pesantren modern. Pada awalnya, sesuai dengan penjelasan pimpinannya, KH. Marwazi bahwa pondok pesantren ini pada awalnya hanya mengandalkan kemandirian internal dan tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah. C. Kepemimpinan Individual Kyai Kepemimpinan seorang kyai dalam tradisi pesantren biasanya masih berbentuk kharismatik dan individualistik, artinya segala keputusan yang berkaitan dengan pondok pesantren dalam segala halnya adalah mutlak tergantung kyai. Namun demikian, terdapat juga pesantren dengan karakter kepemimpinan yang sudah mulai demokratis. Di dalam penelitian terhadap tiga pondok pesantren yang diteliti, terdapat beragam tipologi kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pondok pesantrennya. Pada Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, tipologi kepemimpinanya dapat diatakan sudah demokratis. Kyai pondok ini yakni Burhan Jamil telah mengupayakan terselenggarakannya manajemen pondok pesantren dengan membagi tugas dan kewajiban pada pembantu-pembantunya. Namun demikian, arahan dan intruksi kyai masih menjadi segala-galanya dan tidak bisa dibantah. Para pembantunya hanya dapat memberikan masukan manakala diminta. Pada pondok ini, kyai menjalankan perannya sebagai pengontrol utama jalannya proses pendidikan di pesantren. Namun demikian, di dalam menjalankan program untuk kemajuan pesantren, kyai mengajak serta para pembantunya untuk membantu sang kyai. Di Pondok Pesantren al-Mujawwidin, Kyai Burhan Jamil memiliki pembantu di bidang kurikulum hingga pembantu di bidang dokumentasi dan komputerisasi. Kesan Kyai Burhan Jamil sewaktu peneliti mendatangi pondok ini sangat bersahaja. 52 Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 AKULTURASI PESANTREN JAWA DI JAMBI Tidak ada kesan terlalu karismatik sehingga membuat para tamu menjadi nyaman dan tidak segan. Yang ada adalah sikap yang ramah dan enak untuk diajak berdiskusi dan wawancara tentang pondok ini. Namun demikian, sebagaimana pada umumnya seorang kyai, seluruh komunitas pondok tetap menaruh hormat dan tawaddlu’ kepadanya. Tipologi kepemimpinan kyai di Pesantren al-Mujawwidin tidak terkesan individualistik. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam tipologi kepemimpinan kyai yang individualistik, segala sesuatu persoalan di pesantren akan terpulang pada kemauan dan selera pribadi kiai. Hal itu akan berakibat munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren tersebut, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi kiai. Di samping itu, seorang kiai tidak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan ke bawah rule of the game- nya administrasi dan manajemen modern. Kyai Burhan Jamil telah menyusun manajemen modern dimana setiap orang atau pengurus harus bertanggung jawab dalam bidangnya. Setiap pembantu-pembantunya memiliki peran dalam bidangnya masing dan harus siap memberikan laporan dan informasi manakala kyai membutuhkannya. Demikian juga seterusnya, manakala terdapat pihak-pihak lain yang hendak berhubungan dengan pondok, para pembantu kyai ini dapat menjalankan fungsinya. Buktinya pada saat peneliti sampai di pondok ini, sebelumnya peneliti ditemui oleh pembantu pondok bidang kurikulum. Pembantu pondok ini memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang visi, misi dan kurikulum pondok. Hal ini mengisyaratkan bahwa manajemen di pondok ini berjalan dengan baik, dimana tidak harus menggantungkan segalanya kepada kyai sebagai pimpinan pondok. Tipologi kepemimpinan yang sama dengan kepemimpinan di pesantren al-Mujawwidin dapat ditemui di Pondok Pesantren an-Nur. Pada Pondok Pesantren an-Nur, tipologi kepemimpinannya telah menggunakan model manajemen yang sangat modern. Di Pondok Pesantren an-Nur, jangkauan manajemennya lebih luas, sehingga kyai di pondok pesantren ini dibantu oleh banyak pembantu yang mengurusi bidang-bidang yang beragam. Dengan manajemen modern, efektifitas dan efisiensi proses pendidikan di pondok pesantren ini dapat terjaga. Dengan tipologi kepemimpinan ini, triple curriculum yakni kurikulum Diknas, Kemenag dan lokal pondok dapat dijalankan dengan baik. Keberhasilan di dalam mengelola pondok ini membuat pondok ini mampu mengembangkan program- program pondok secara lebih luas. Saat ini Pondok Pesantren an-Nur memiliki usaha-usaha perekonomian yang dapat menunjang pembiayaan pondok pesantren. Usaha seperti beternak itik, menjual air minum, mendirikan Kopwan, semuanya tentu saja tidak dapat dilakukan manakala kepemimpinan kyainya adalah kepemimpinan individualistik. Karena tidak menganut tipologi kepemimpinan individualistik, maka roda kehidupan pondok dapat berjalan dengan bagus, baik dalam aspek pendidikan maupun dalam aspek usaha-usaha perekonomian. Tipologi kepemimpinan yang berbeda dari kedua pondok pesantren di atas adalah tipologi kepemimpinan pada Pondok Pesantren al-Muhajirin. Pada pondok ini sang kyai masih menganur tipologi kepemimpinan individualistik. Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 53 BADARUS SYAMSI Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-psikiskultural-politik-religius menyebabkan kiai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga rnemudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorsanisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut oieh Clifford Geertz sebagai “abangan” secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai. Berdasarkan cerita masyarakat di sekitar pondok, kyai pertama sekaligus pendiri pondok yakni Kyai Hafidz Haz bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik santri-santrinya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-masalah krusial yang dihadapi masyarakat. Ia memimpin kaum santri, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada mereka, memenangkan hati seseorang yang sedang gelisah, menggerakkan pembangunan. Bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam mengobati penyakit yang diderita orang yang mohon bantuanya. Maka kyai mengemban tanggung jawab moral- spiritual selain kebutuhan rnateriil. Kyai Hafidz Haz adalah kyai yang memiliki karisma tinggi. Dengan karisma yang demikian, maka masyarakat Desa Simpang Terusan pada khususnya begitu menghormati Kyai Hafidz Haz. Pandangan masyarakat yang mengera- matkan Kyai Hafidz Haz, sebenarnya bukan karena ia membimbing tarekat semata. Kyai dihormati dan dikeramatkan karena kelebihan atau keunggulan di bidang ilmu dan amal yang menjadi ciri khasnya. Kyai memiliki keunggulan yang tidak dimiliki para sarjana arau politisi, berkat dua keunggulannya yaitu kedalaman ilmu pengetahuan agamanya dan pengabdian agama selama bertahun-tahun. Tipologi kepemimpinan individualistik ini terlihat di dalam proses kepemimpinan di pondok pesantren. Sebagaimana menurut teori kepemimpinan individualistik, kiai adalah pemimpin seumur hidup selagi belum meninggal, kepemimpinan pesantren tetap dipegangnya. Pada waktu masih hidup, kiai berupaya melakukan pengkaderan yang diharapkan sebagai penerusnya. Kaderisasi dipusatkan pada anak-anaknya. Pada Pondok Pesantren al-Muhajirin, pimpinan pondok yang sedang memimpin yakni Fathullah SH, adalah putra dari pengasuh pondok yakni KH. Hafidz Hash, yang dahulunya adalah pimpinan pondok ini. Hal ini berarti bahwa dalam hal kepemimpinan, Pondok Pesantren al-Muhajirin belum menganut kepemimpinan demokratis. Kiai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren” Ustadz, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kiai. Ia ibarat raja, segala titahnya menjadi kontribusi ---baik tertulis maupun konvensi --- yang berlaku bagi kehidupan pesantren. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukurnan terhadap santri-santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut 54 Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 AKULTURASI PESANTREN JAWA DI JAMBI kaidah-kaidah normatif yang mentradisi di kalangan pesantren. Pada Pondok Pesantren al-Muhajirin, segala bentuk kebijaksanaan pendidikan, baik menyangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum yang dipakai acuan, metode pengajaran dan pendidikan yang diterapkan dalam aktivitas-aktivitas di luar, penerimaan santri baru, maupun secara global sistem pendidikan yang diikuti adalah wewenang mutlak kiai. Berkaitan dengan penentuan policy pendidikan, pengajaran, lebih- lebih menyangkut aspek manajerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap. Upaya-upaya pengenalan program pendidikan terutama yang belum ditradisikan tidak akan berhasil menembus pesantren bila tidak merestuinya. Ketika Pondok Pesantren al- Muhajirin tidak menganut kurikulum Diknas dan Kemenag sebagai suatu tuntutan jaman, maka hal itu karena kyai tidak menginginkan dianutnya kurikulum-kurikulum tersebut di pondoknya. Ketika terjadi suatu perbedaan antara santri dan kiai, belum pernah dalam sejarah kepesantrenan para santri mengalahkan kehendak kiai. Biarpun seribu santri menyetujui program pendidikan yang baru yang ditawarkan pihak luar misalnya, program itu tidak akan berhasil memasuki pesantren bila kiai pemimpinnya menolak tawaran tersebut. Salah satu kelemahan pondok pesantren dengan kepemimpinan karismatik indivi- dualistik ini, seperti yang dikatakan Abdul Rahman Wahid adalah munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren tersebut, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi kiai. Di samping itu, tipologi kepemimpinan individual berakibat juga pada sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu terrnasuk calon pengganti yang kreatif, untuk mencoba pola-pola pengembangan yang belum diterima oleh kepemimpinan yang ada. Jika kita teliti sistem pendidikan di pondok pesantren al-Muhajirin, dipertahankannya sistem salafi sebagai dasar pendidikan pondok, dapat menjadi tinjauan yang kritis. Di dalam merespon tuntutan jaman modern, seharusnya pondok dapat merespon tuntutan itu dengan tanpa harus membuang pijakan salafinya. Untuk dapat merespon tuntutan modern ini, maka pondok ini harus menganut manajemen modern yang mampu memfungsikan siapa saja (person) untuk mengurusi masalah-masalah pondok pesantren sesuai dengan keahliannya masing. Di samping itu, untuk merespon tuntutan demokrasi dan dalam rangka memajukan pondok, maka seyogyanya pondok pesantren ini mampu melakukan penyaringan terbuka terhadap semua orang yang kreatif untuk menduduki posisi-posisi kepengurusan. Sebelum hal ini dilakukan, maka boleh jadi Pondok Pesantren al-Muhajirin ini sulit untuk menjadi pondok pesantren yang besar dan maju. Tidak dibukanya jalur pendidikan formal seperti MTs dan MAN di Pondok Pesantren al-Muhajirin ini, serta tidak dianutnya kurikulum Diknas dan Kemenag dikarenakan kyai tidak menginginkannya. Sebagaimana dalam teorinya, pada kepemimpinan individualistik, kiai merupakan faktor inti pesantren. Ia adalah figur sentral karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat padanya. ia juga merupakan sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetahuan, dan misi pesantren. Maka kebijakan pesantren untuk Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013 55 BADARUS SYAMSI menerima dan menolak misalnya sekolah formal sangat bergantung pada kebijakan kiai pesantren tersebut. Dengan demikian, manakala sang kyai menginginkan pondok pesantrennya menganut kurikulum Diknas dan Kemenag, maka pastilah kurikulum ini akan diresmikan sebagai kurikulum yang menjadi acuan. Akan tetapi pada kasus pesantren al-Muhajirin, sang kyai masih menginginkan pondok pesantrennya tetap sebagai pondok pesantren salafiyah murni. Meskipun sebenarnya sang kyai mengetahui bahwa para siswanya menginginkan dapat memperoleh ijazah yang tidak hanya diakui oleh pondok setempat, melainkan ijazah yang dikeluarkan oleh negara. Dari sudut ini terdapat perbedaan yang jelas antara kekuasaan kyai dengan kepala sekolah. Berbeda dengan kyai, keputusan-keputusan kepala sekolah yang dapat merugikan siswa acapkali justru berubah mengundang demonstrasi. Para siswa tidak ragu-ragu lagi memprotes kepala sekolah ketika mereka merasa dirugikan. Pada ketiga pondok yang diteliti, secara umum kyai di pondok-pondok tersebut memiliki karisma dan kewibawaan yang sama. Mereka dihormati bukan saja oleh komunitas pesantren, akan tetapi juga oleh masyarakat sekitar. Sampai di sini, seperti terlihat bahwa para kyai tersebut memiliki kekuasaan, khususnya di kalangan pondok maupun di kalangan masyarakat sekitar. Kekuasaan kyai yang begitu besar barangkali akan mudah dipahami bila dilihat dari akar sejarah berdirinya pesantren. Pesantren-pesantren tersebut dapat berdiri atas prakarsa kyai sendiri dan dibantu masyarakar tanpa mengikat. Bisa juga seorang kyai tidak terlibat mendirikan pesantren, tetapi mewarisi leluhurnya yang tercarat sebagai perintis. Khususnya pada pesantren al-Mujawwidin, al-Muhajirin, dan an-Nur para kyainya adalah pendiri pesantren itu sendiri. Hanya di al-Muhajirin yang merupakan pewaris dari pendirinya. Akibatnya, kyai bebas menentukan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kelangsungan pendidikan pesantren, tanpa mempedulikan pihak-pihak luar. Diteropong dari perspektif historis, pelestarian wewenang mutlak tersebut dapat dimengerti. Inovasi pendidikan harus diakui efektivitas dan efisiensinya hanya akan berjalan bila disponsori kyai sendiri. Tindakan inovatif yang berusaha diselundupkan dari luar harus siap menghadapi kekuasaan kyai yang sangat besar. Nasib pembaharuan pendidikan di pesantren berada di tangan kyai. Ia sebagai satu-satunya penentu kebijakan-kebijakan pendidikan di pesantren dan pola kehidupannya. Siapapun yang berinisiatif mengadakan pembaharuan sistem pendidikan pesantren, baik berasal dari individu, golongan maupun instansi pemerintah, haruslah disalurkan melalui prakarsa kyai. Mereka harus mengadakan pendekatan persuasif dulu kepadanya, baru melangkah. Jangankan seorang mampu memaksakan kehendaknya untuk mencampuri urusan internal pesantren yang bertentangan secara diametral dengan policy yang ditempuh kyai, pemerintah pun selama ini belum pernah memaksakan kehendak intervensinya karena mempertimbangkan kekuasaan dan kemandirian kyai tersebut. Di daerah tertentu, kekuasaan kyai berkembang melampaui batas-batas teritorial zona 56 Kontekstualita, Vol. 28, No. 1, 2013
Description: