ebook img

Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terj PDF

37 Pages·2012·0.38 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terj

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis komparatif atau perbandingan puisi ”Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” dalam penelitian ini ditinjau dari segi struktur puisi dan struktur kalimat. Struktur puisi keduanya akan dianalisis dengan menguraikan unsur intrinsik puisi. Sedangkan analisis struktur kalimat akan dianalisis dan dibandingkan dengan menggunakan teori terjemahan. Secara rinci, analisis struktural dan analisis terjemahan kedua puisi tersebut akan diuraikan sebagai berikut. 4.1. Analisis Struktural Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan ”Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais Analisis struktural berarti analisis mengenai unsur-unsur intrinsik puisi (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 36) dan kontribusinya sebagai sebuah kesatuan. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis strukural perlu dipaparkan unsur-unsur intrinsik puisi tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai unsur intrinsik puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang dipaparkan secara bersamaan agar tidak mengurangi fungsi unsur instrinsik lainnya dalam membentuk sebuah puisi yang utuh. Sama halnya dengan puisi “Aku”, pada subbab berikutnya akan dibahas mengenai unsur intrinsik puisi terjemahan “Moi (Exaltation)”. 45 46 4.1.1. Struktur Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar Aku Kalau sampai waktuku `Ku mau tak seorang `kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943 (Aku ini Binatang Jalang, Ed. Pamusuk Erneste) Puisi di atas merupakan puisi terkemuka karya seorang penyair besar bernama Chairil Anwar. Puisi ini mengalami beberapa perubahan judul dan pemilihan kata (diksi). Zainal Hakim (1996) dalam bukunya yang bejudul Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai perbedaan teks puisi “Aku” dalam beberapa media cetak. Misalnya yang tertera pada kumpulan puisi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (KT)(Hakim, 1996:25), puisi di atas berjudul Semangat dengan bunyi `kutahu tak seorangpun `kan merayu pada larik kedua. Namun, peneliti mengambil naskah puisi pada kumpulan puisi Chairil Anwar dengan judul Aku ini Binatang Jalang oleh editor Pamusuk Eneste. Hal ini didasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh Rahmat Djoko Pradopo (2009: 47 171) bahwa judul “Aku” lebih tepat untuk menyatakan sikap kepribadian dari pada judul Semangat. Selain itu, kata kutahu dalam larik kedua versi KT memberikan efek pesimisme dan melankolik yang justru berlawanan dengan judul Semangat, berbeda dengan kata kumau yang menunjukkan sikap tidak bersedih dan penuh semangat. Oleh karena itu, judul “Aku” secara strukural sangat tepat karena terdapat kesesuaian dengan seluruh larik sajak, kesuaian semangat, sikap dan suasananya. Judul puisi di atas berupa kata ganti orang pertama tunggal : “Aku”. Dengan judul tersebut, pembaca dapat mengetahui persoalan apa yang hendak disampaikan oleh penyair. Kata aku sekilas menunjukkan seorang sosok dengan segala sifat dan sikapnya terhadap persoalan. Kata aku menunjukkan seseorang yang memanggil bahkan membicarakan dirinya sendiri. Dengan demikian, puisi di atas tidak membicarakan hal-hal di luar aku, sehingga menunjukkan efek indiviualis, eksis dan ekspresif. Hal tersebut terbukti dengan pilihan-pilihan kata (diksi) pada puisi di atas. Diksi yang merupakan kata kunci puisi di atas adalah meradang menerjang dan kata aku yang diulang-ulang. Hampir pada setiap baris terdapat kata aku atau ku. Kata aku diulangi beberapa kali untuk mempertajam ketegasan dan semangat puisi tersebut. Selain itu, gaya berpuisi dalam puisi “Aku” berbeda dengan puisi-puisi sebelum zamannya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Penyampaian yang cenderung bebas atau terkenal dengan istilah ceplas ceplos juga mewarnai bentuk puisi tersebut. Namun, 48 perbedaan-perbedaan tersebut justru memberi warna baru di dunia perpuisian sehingga penyairnya disebut-sebut sebagai pelopor pada zamannya dan diminati banyak orang pada zaman setelahnya. Berikut ini adalah uraiannya. Penyair menulis kalau sampai waktuku, `ku mau tak seorang `kan merayu di awal puisinya. Penyair menggunakan kata-kata yang ambigu atau bisa ditafsirkan dalam beberapa arti. Hal ini disebabkan karena terjadi penyimpangan arti (distorting) (Pradopo, 2009:173). Kalau sampai waktuku, si “Aku” dengan sengaja ingin menyampaikan bahwa jika tiba masanya, entah masa berpisah atau pergi, atau bahkan meninggal dunia. `Ku mau tak seorang kan merayu, ia tak ingin ada seorangpun yang merayunya, membujuknya, atau meratapinya. Pada larik pertama terdapat penyimpangan struktur sintaksis yakni untuk inversi dari subjek predikat menjadi predikat subjek. Larik kalau sampai waktuku seharusnya kalau waktuku sampai. Penyimpangan struktur sintaksis ini dimaksudkan agar bunyi rima yang dihasilkan sama dengan bunyi rima pada larik-larik berikutnya. Sedangkan pada larik kedua, penyimpangan tata bahasa yang terjadi adalah pemendekan kata, yakni kata `kumau seharusnya aku mau dan `kan merayu seharusnya akan merayu. Akan tetapi karena pengaruh bahasa lisan, maka munculah bunyi larik tersebut. Penggunaan strukur bahasa lisan ini menimbulkan kesan realistis dan tidak formal sehingga seolah penyair langsung berbicara dengan pembaca. Larik berikutnya berbunyi, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu. Larik yang padat makna ini ingin menegaskan pada “kau” secara langsung bahwa 49 termasuk “kau” pun yang entah siapa, tidak usah bersedih dengan keadaan atau kepergian “Aku”. Larik berikutnya, penyair ingin menegaskan mengapa si “Aku” tak ingin seorangpun bersedih karenanya. Adalah karena Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Pada larik ini penyair melakukan penggantian arti (displacing) (Pradopo, 2009: 173), yakni aku sebagai manusia disebut sebagai binatang jalang. Susunan kata yang mengandung majas metafora dan hiperbola ini menunjukkan pengakuan yang tegas dan apa adanya dari si “Aku” bahwa ia serupa binatang jalang, binatang liar dari sebuah kumpulan binatang yang terbuang, yang tersisihkan. Sedangkan karakter seekor binatang liar adalah selalu bebas, tidak ingin diperbudak, dan tidak menghamba. Ia hidup merdeka, berbuat sesuai kehendaknya, pikiran dan keinginannya. Ia tidak perduli dan tidak ingin ada yang perduli padanya. Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang begitu larik-larik berikutnya. Larik-larik ini ingin memperjelas kejalangan si “Aku” bahwa jikapun peluru mengenainya, ia akan tetap berbuat sekehendaknya, berjuang melakukan hal yang diinginkannya. Penyair ingin mempertajam imaji rasa (sentuhan) pada larik ini sehingga menggunakan majas pleonasme, yakni penegasan yang mempergunakan kata yang sebenarnya tidak perlu dikatakan lagi karena maknanya sudah tersirat pada kata sebelumnya. Seperti pada kata menembus kulitku, sudah tentu anggota badan yang terkena peluru pasti menembus kulit. 50 Kejalangan lain ditunjukkan juga pada larik Luka dan bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih peri. Si “Aku” yang jalang lebih berani dan percaya diri dengan kata-katanya bahwa luka dan racun yang dirasakannya akan ia bawa berlari sampai tak terasa rasa pedih dan peri. Luka dan bisa merupakan majas metafora, yang bisa berarti penderitaan dan kesengsaraan. Pengulangan kata berlari menunjukkan keseriusan dan ketegasannya akan sikapnya. Di akhir puisi ini, si “Aku” menegaskan kebebasan, keinginan dan ketidaperduliannya dengan larik Dan aku lebih tidak perduli, aku mau hidup seribu tahun lagi. Si “Aku” yang jalang justru sangat berani dan percaya diri akan sikapnya untuk benar-benar tidak perduli dengan apa yang menghalanginya sekalipun itu maut. Itulah mengapa cita-citanya adalah hidup seribu tahun lagi. Klimaks yang tepat dan mengena serta sangat menunjukkan eksistensi si “Aku” dan perumpaannya sebagai binatang jalang. Berdasarkan kata-kata yang dipilih penyair di atas menunjukkan bahwa penyair hanya ingin menunjukkan Aku dan sikapnya yang tegas dan bergelora. Penyair tidak terkesan menggurui atau menasehati pembaca dalam menyampaikan pesan atau amanat yang ingin disampaikannya. Penyair menyampaikannya dengan penuh ketegasan dan semangat. Adapun dari segi tipografi, puisi “Aku” ini terdiri dari 13 larik yang terbagi menjadi tujuh bait yang tidak merata jumlah lariknya. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik dan bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik. Pola rimanyapun berbeda-beda. Bait 1 dan 5 mempunyai pola rima yang sama dengan bunyi yang berbeda, yakni a-a-a. Pada bait 1 bunyinya u, sedangkan pada 51 bait 5 bunyinya i. Bait 3 berpola a-a dengan bunyi ang. Bait lain yang hanya terdiri dari 1 baris mempunyai bunyi rima yang sama, yakni i. Adapun bait 4 mempunyai bunyi rima yang berbeda, yakni u dan ang. Untuk lebih memperjelas uraian di atas, perhatikan gambaran puisi “Aku” berikut ini. Kalau sampai waktuku `Kumau tak seorang `kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Ritme yang berarti pengulangan bunyi untuk menimbulkan efek tertentu tergambar pada bunyi akhir setiap larik. Bunyi u yang berulang-ulang pada akhir bait pertama dan kedua menimbulkan efek tegas. Begitu pula bunyi ang pada rima bait kedua menimbulkan efek liar. Sedangkan bunyi yang berulang-ulang pada akhir bait kelima sampai ketujuh menimbulkan efek keseriusan dan keinginan yang kuat. Adapun imaji yang tergambar pada puisi “Aku” di atas, adalah imaji pendengaran (auditory imagery), imaji rasa dan imaji perasaan. Pada bait pertama dan kedua penyair menggunakan imaji pendengaran, yakni pada kata merayu dan 52 sedu sedan. Sedangkan imaji rasa terdapat pada bait keempat dan kelima, yakni pada kata menembus kulitku, luka dan bisa, pedih peri. Sedangkan imaji perasaan terdapat pada bait ketiga, keenam dan ketujuh, yakni pada kata jalang, meradang menerjang, tidak perduli dan mau hidup. Penjelasan panjang di atas menunjukkan perasaan penyair bahwa ia sedang bersemangat, bergelora, liar, mempunyai keseriusan akan keinginan kuat. Walaupun banyak rintangan yang menghadang ia tidak perduli karena ia mempunyai cita-cita dan keinginan yang kuat. Jika dilihat dari aspek historis, puisi “Aku” ini ditulis pada bulan Maret 1943. Tahun 1943 adalah tahun penjajahan Jepang yang sangat menekan bangsa Indonesia dari segala bidang. Puisi yang berlatar penjajahan dan penindasan ini semakin memperkuat makna semangat yang telah dibahas sebelumnya, yakni semangat memperjuangkan kemerdekaan, semangat melepaskan diri dari penjajahan. Seolah penyair ingin berkata bahwa jika waktu meninggalnya telah tiba, ia tidak ingin ada seorangpun yang meratapinya sekalipun orang-orang yang dekat dengannya. Ia tidak ingin mereka bersedih karena ia adalah seorang pejuang dari sekelompok manusia yang terjajah. Ia menegaskan bahwa biarpun para penjajah menghalanginya bahkan melukainya, ia akan tetap berjuang. Ia akan tetap berjuang walaupun ia masih terluka bahkan sampai ia tak merasakan kembali rasa perih lukanya. Iapun semakin tidak perduli dengan sekitarnya, yang ia inginkan adalah hidup dengan kemerdekaan. Secara tidak langsung, amanat yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca adalah setiap manusia harus mempunyai semangat yang tinggi, prinsip 53 yang kuat dan cita-cita yang tinggi. Kedua hal tersebut dapat membuat seseorang bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati semua rintangan dan halangan yang dihadapi. Oleh karena itu, tema puisi ini adalah semangat berjuang yang tinggi. Untuk lebih mempermudah memahami struktur puisi “Aku” dengan cara memahami unsur-unsur instrinsiknya, berikut ini tabel 4.1 mengenai unsur-unsur intrinsik puisi “Aku” yang dibuat peneliti berdasarkan uraian di atas. Tabel 4.1 di bawah ini merangkum 12 unsur intrinsik puisi ”Aku” karya Chairil Anwar. Tabel 4.1 Unsur Intrinsik Puisi “Aku” karya Chairil Anwar No Unsur Intrinsik Keterangan 1 Tema Ketegasan dan semangat berjuang yang tinggi 2 Judul Aku (versi Aku ini Binatang Jalang, ed. Pamusuk Eneste) 3 Diksi Diksi kunci : meradang menerjang 4 Imaji Pendengaran, rasa dan perasaan 5 Majas Metafora pada larik aku ini binatang jalang dan luka dan bisa, sedangkan pleonasme terdapat pada larik biar peluru menembus kulitku 6 Rima Pola rima berbeda pada setiap bait, a-a-a, a, b-b, a-b, c-c-c, c, c 7 Ritme Bunyi berulang yang berurutan pada rima: u-u-u-u menimbulkan efek tegas, ang-ang menimbulkan efek liar dan i-i-i-i-i menimbulkan efek serius dan keinginan yang kuat. 8 Aspek tata bahasa Penyimpangan struktur sintaksis pada larik pertama dan kesebelas dan pemendekan kata pada larik kedua. 9 Tipografi Terdiri dari 7 bait dengan jumlah larik yang berbeda. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik, bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik. 10 Nada Penuh ketegasan dan semangat yang tinggi 11 Perasaan Penyair bersemangat, bergelora, serius dan mempunyai keinginan kuat. 12 Amanat Hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup, semangat dan cita-cita yang tinggi supaya bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan halangan. 54 4.1.2. Struktur Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais Moi (Exaltation) Lorsque mon heure sera venue Je veux que personne ne me regrette Pas même toi Bien inutiles seraient de tels sanglots Me voici, animal traqué De son troupeau rejeté Qu`une balle me transperce, je n`en ai cure Sans répit, exaspéré, je me débattrai Blessure et poison dans ma course emportant Dans ma course emportant Jusqu`à ce qu`aient disparu peine et tourment Et tout me sera encore plus indifférent Car je veux vivre mille années encore Mars 1943 (Cent deux poèmes Indonésiens, 1965:91) Puisi di atas adalah puisi terjemahan dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang diterjemahkan oleh Louis-Charles Damais. Ia adalah seorang profesor bahasa berkebangsaan Prancis dan pernah bertempat tinggal di Indonesia dan menulis beberapa buku tentang bahasa khususnya terjemahan dan buku lainnya. Louis juga membuat LIF (Lycée International Français) atau Sekolah Internasional Prancis di Jakarta. Judul puisi terjemahan di atas adalah “Moi (Exaltation)” yang berarti “Aku” (Semangat). Dengan judul tersebut, pembaca dapat menangkap sekilas persoalan apa yang hendak disampaikan penyair. Moi merupakan kata ganti orang pertama tunggal yang berfungsi sebagai penegas atau disebut pronom tonique.

Description:
analisis struktural dan analisis terjemahan kedua puisi tersebut akan Une tâche d'analyser de technique structurale de traduction est du poème
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.