ebook img

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 PDF

22 Pages·2011·0.06 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang ungkapan larangan ini menggunakan beberapa pustaka atau hasil penelitian terdahulu yang terkait sebagai acuan. Beberapa pustaka atau hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut. Frazer (1955) yang penelitiannya telah banyak diacu menggunakan berbagai bahasa yang umumnya tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia sebagai sumber data untuk membahas masalah tabu. Secara garis besar, Frazer membagi tabu menjadi (1) tabu tindakan, (2) tabu orang, (3) tabu benda/hal, dan (4) tabu kata-kata. Di samping itu, juga digolongkan tabu kata-kata menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama Tuhan, dan (6) tabu kata-kata tertentu. Pendapat Frazer tentang tabu memberikan inspirasi kepada peneliti tentang larangan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan larangan secara prinsip berkaitan dengan tabu. Demikian selanjutnya, pembagian tabu oleh Frazer ini diacu dalam penelitian ini. Mbete (1996) menggunakan bahasa Sumba Dialek Kambera sebagai objek penelitiannya. Menurutnya, bahasa Sumba Dialek Kambera sebagai budaya, mencerminkan pula nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penuturnya. Hal ini dapat ditunjukkan pada seperangkat kata yang ditabukan oleh masyarakat penuturnya. Lebih lanjut dijelaskan, sejumlah kata yang ditabukan dalam bahasa 12 Sumba Dialek Kambera dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi atau yang melatarinya, menjadi (1) tabu dalam kepercayaan (religi), (2) tabu dalam dunia ketakhayulan, (3) tabu dalam hubungan kekerabatan, dan (4) tabu atas bagian tubuh manusia. Menurut Mbete, penghindaran itu selain tidak disebutkan sama sekali (dipantangkan), memberikan peluang kepada masyarakatnya untuk menggantikannya dengan bentuk lain atau juga mengembangkan/menciptakan ungkapan baru dengan makna baru yang mendukung satuan makna yang ditabukan. Dengan demikian, penelitian terdahulu relevan dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan dalam masyarakat petani Tabanan juga ditemukan larangan yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai budaya dan norma-norma dalam kehidupannya. Laksana (2009) menggunakan penggolongan tabu yang dikemukakan oleh Frazer sebagai pegangan. Menurutnya, tabu bahasa adalah larangan menggunakan kata atau ungkapan tertentu karena dianggap dapat membahayakan jiwa atau mencemarkan nama baik seseorang. Untuk menghindarinya, dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) penutur diam, (2) penutur berbisik, dan (3) penutur menggantikan/menyulih kata atau ungkapan tabu dengan kata atau ungkapan lain yang dilazimkan dalam masyarakat itu. Cara ketiga inilah yang berkaitan dengan tabu bahasa, yang selanjutnya disebut ”tabu nama dan tabu kata-kata”. Di samping tabu nama dan tabu kata-kata, juga dibahas tentang tabu sumpah serapah. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan juga menentukan kebudayaan mengisyaratkan bahwa pemahaman tabu bahasa harus dilihat dari sudut pandang 13 kebudayaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tabu dalam bahasa Bali dapat dihindari dengan bentuk-bentuk linguistik berupa majas (metafora dan metonimi), eufemisme, parafrase, diglosia/alih kode, dan teknonim. Dengan cara itu penutur dapat menghindarkan dirinya dari bahaya/kecemaran. Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui penelitian terdahulu dan penelitian ini ada kesamaan. Penelitian terdahulu mengkaji masalah tabu bahasa bahasa Bali, sedangkan penelitian ini mengkaji masalah larangan yang pada prinsipsipnya juga tabu. Akan tetapi, penelitian terdahulu lebih menekankan pada ”tabu nama dan tabu kata-kata”, sedangkan penelitian ini penekanannya adalah larangan yang ada pada masyarakat petani di Tabanan. Di samping itu, kajian kualitatif pada penelitian terdahulu juga diacu dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian terdahulu relevan dengan penelitian ini. Indra (2007) menjelaskan bentuk wacana larangan yang ada pada masyarakat Singaraja secara umum disampaikan dengan ungkapan verbal, yaitu menggunakan bahasa Bali lumrah atau kepara. Fungsi wacana larangan pada masyarakat Singaraja melibatkan pembicara orang pertama (O1) yang tingkat usianya lebih tua daripada pendengar/orang kedua (O2), sedangkan dari makna, disebutkan ada yang mengandung makna etika dan sopan santun. Penelitian ini merupakan penelitian awal, dengan jumlah data yang sangat terbatas, yaitu (1) larangan bagi seorang suami memotong rambutnya pada saat istrinya sedang hamil, (2) larangan menanam pohon sawo di halaman rumah, (3) larangan bersiul di malam hari, dan (4) larangan anak-anak menduduki bantal. 14 Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, memang ada persamaan, yaitu sama-sama mengenai larangan. Akan tetapi, dengan daerah penelitian dan sumber data yang berbeda tentu akan mendapatkan data yang berbeda pula sehingga akhirnya penelitian terdahulu dan penelitian ini jelas perbedaannya. Hal ini didasari bahwa setiap daerah umumnya memiliki kekhasan budaya termasuk larangan yang berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain. Di samping daerah penelitiannya yang berbeda, penelitian ini juga menggunakan teori yang berbeda. Penelitian terdahulu menggunakan teori Linguistik Kebudayaan dan Etnografi Komunikasi sebagai landasannya untuk mengkaji bentuk, fungsi, dan makna, sedangkan penelitian ini menggunakan Teori Linguistik Struktural untuk mengkaji bentuk ungkapan larangan, Teori Fungsi Bahasa untuk mengkaji fungsi ungkapan larangan, dan Teori Semiotik Sosial untuk mengkaji makna wacana larangan. Almos (2008) mengkaji struktur lingual, fungsi, dan makna pantang dalam bahasa Minangkabau. Menurut Almos, struktur lingual pantang dalam bahasa Minangkabau terdapat pada tataran kata, frasa, dan kalimat. Selanjutnya, struktur lingual pantang dalam tataran kata dapat dikelompokkan menjadi leksem tunggal, reduplikasi, dan komposisi. Fungsi pantang dalam bahasa Minangkabau merupakan fungsi tindak ilokusional, seperti asertif, direktif, komisif, ekspresi, dan deklaratif, sedangkan maknanya diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis pantang, yaitu nama orang, nama binatang, nama anggota tubuh, nama penyakit, kata-kata tertentu, sumpah serapah, dan pantang yang berisikan nasihat. 15 Penelitian terdahulu memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu sama- sama menyangkut tabu karena baik pantang maupun larangan pada hakikatnya adalah tabu. Walaupun sama-sama menyangkut masalah tabu, penelitian terdahulu dan penelitian ini sangat jelas perbedaannya. Di samping objeknya berbeda, teori yang digunakan juga berbeda. Penelitian terdahulu mendasarkan penelitiannya pada Teori Komposit Bentuk Makna, Teori Tindak Tutur, dan Teori Semiotik Sosial, sedangkan penelitian ini menggunakan Teori Linguistik Struktural, Teori Fungsi Bahasa, dan Teori Semiotik Sosial. Mandra (2003) meneliti Aksara Bali dalam Upacara Caru Rsi Gana dan Mayuni (2005) meneliti Makna Sekar Rare. Kedua penelitian terdahulu menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini. Akan tetapi, kedua penelitian terdahulu dan penelitian ini sama-sama mengkaji bentuk, fungsi, dan makna pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya yang merupakan fokus kajian Linguistik Kebudayaan. Dengan demikian, kedua penelitian terdahulu dijadikan rujukan dalam penelitian ini. 2.2 Konsep Dalam penelitian ini dibicarakan beberapa konsep yang relevan. Konsep- konsep tersebut adalah (1) ungkapan, (2) larangan, (3) ungkapan larangan, (4) petani dan masyarakat petani, (5) bentuk, (6) fungsi, (7) makna, dan (8) modus dan modalitas. Berikut diuraikan konsep-konsep tersebut secara terperinci. 16 2.2.1 Ungkapan Ungkapan (expression) adalah ”aspek fonologis atau grafemis dari unsur bahasa yang mendukung makna” (Kridalaksana, 2008: 250). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1529) disebutkan ungkapan dapat berarti (1) apa-apa yang diungkapkan, (2) kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur). Berdasarkan dua pengertian di atas, yang diacu dalam penelitian ini adalah konsep ungkapan (expression) yang dikemukakan oleh Kridalaksana. Hal ini disebabkan oleh konsep ungkapan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa lebih mengarah pada idiom sehingga tidak pas kalau dihubungkan dengan larangan sebagai objek penelitian ini. 2.2.2 Larangan Larangan menurut Kridalaksana (2008: 140) adalah ”makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan”. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Di samping itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang 17 keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 791). Di samping kata larangan, dikenal juga kata tabu. Tabu pada hakikatnya adalah ”larangan” atau ”yang dilarang”. Tabu adalah larangan yang jika dilanggar mendatangkan hukuman otomatis yang diakibatkan oleh pengaruh magi dan religi (Winick, 1958: 502 dalam Laksana, 2009: 17). Di samping istilah tabu ada juga istilah pantang (pantangan) yang juga berarti ’larangan’ sebagaimana halnya tabu. Lebih lanjut dijelaskan walaupun tabu pada hakikatnya adalah ”larangan”, keduanya menunjukkan perbedaan. Tabu, pelanggarannya menyebabkan pelanggar terkena tulah, sedangkan pada larangan atau pantangan pelanggar hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, larangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu ujaran yang mengandung perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan. Larangan itu diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frasa ingkar tidak dibenarkan. 2.2.3 Ungkapan Larangan Berdasarkan konsep ungkapan dan larangan di atas, yang dimaksud ungkapan larangan dalam penelitian ini adalah aspek fonologis atau grafemis dari unsur bahasa yang mendukung makna larangan. Dengan kata lain, ungkapan larangan maksudnya ungkapan yang mengandung larangan. 18 2.2.4 Petani dan Masyarakat Petani Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk Bali kebanyakan sebagai petani dan hidup di pedesaan (Bali dalam Angka, 2010). Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam, mengusahakan tanah (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1400; Budiono, 2005: 505). Seseorang dikatakan petani apabila mata pencahariannya berhubungan dengan pertanian. Pertanian di sini adalah pertanian dalam arti luas, yang meliputi sawah, ladang (abian), ternak, dan nelayan. Dengan demikian, yang dimaksud petani dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai mata pencaharian terkait dengan pertanian, sedangkan masyarakat petani adalah masyarakat yang mata pencahariannya berhubungan dengan pertanian. 2.2.5 Bentuk Bahasa pada hakikatnya mempunyai bentuk, fungsi, dan makna. Bentuk bahasa adalah berupa simbol bunyi ujaran, yang dalam hal ini dibatasi pada bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, sedangkan fungsi bahasa secara praktis adalah sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Sejalan dengan itu, Kridalaksana (2008: 32) menyatakan bahwa bentuk (form) adalah penampakan atau rupa satuan bahasa; penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis. Sementara itu, Ngafenan (1985: 11) menyatakan bentuk sama dengan bentuk linguistik adalah kesatuan yang mengandung arti, baik arti leksikal maupun arti gramatikal. Satuan 19 gramatikal itu bisa berupa morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat (Ramlan, 1983: 22). Jadi, konsep bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mencakup aspek struktur linguistik atau struktur bahasa dari tataran paling rendah sampai dengan tataran paling luas, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, yang membentuk suatu tuturan yang utuh dalam satu tindak bicara (speech act) (Pastika, 2005: 108). 2.2.6 Fungsi Fungsi bahasa secara praktis adalah sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Fungsi ini sejalan dengan pendapat Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 20--23) yang menyatakan bahwa kata ’fungsi’ dapat dipandang sebagai padanan kata ’penggunaan’. Dengan demikian, fungsi bahasa dalam hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi bahasa itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa digunakan untuk mengungkapkan banyak hal menyangkut penutur dan petutur, seperti informatif-naratif- refresentasional, diri sendiri, memengaruhi orang lain, dan imajinatif atau estetis. Fungsi bahasa dalam arti pemakaian atau penggunaan bahasa oleh penuturnya merupakan suatu peristiwa sosial. Hal ini disebabkan berhubungan dengan pihak-pihak bertutur dalam sistuasi dan tempat tertentu, yang merupakan rangkian sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan (Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 49--50). 20 Berdasarkan paparan di atas, konsep fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan antara struktur linguistik atau struktur bahasa yang menjadi konsep bentuk dan latar belakang sosial budaya penggunaannya. Dengan demikian, dapat ditemukan pola-pola hubungan bentuk-fungsi yang unik dalam bahasa dari sudut pandang budaya (Pastika, 2005: 108). 2.2.7 Makna Saussure (1988: 11--13) menyatakan tanda bahasa (sign) adalah sebuah sistem tanda yang terdiri atas unsur signifie dan signifiant. Signifie berarti ’yang ditandai’ atau ’petanda’ merupakan makna yang ada pada benak kita, sedangkan signifiant berarti ’yang menandai’ atau ’penanda’ adalah bentuk yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Dengan kata lain, signifie itu adalah konsep atau makna suatu tanda bunyi, sedangkan signifiant adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa tersebut. Jadi, tanda bahasa itu terdiri atas unsur bentuk dan unsur makna dan makna adalah pengertian atau konsep. Ogden dan Richard (1923) dalam Chaer (1995: 31) menyatakan bahwa pembentukan makna dalam suatu bahasa dapat dijelaskan dengan menghubungkan tiga hal, yaitu symbol, reference, dan referent. Hubungan ketiga unsur ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan segi tiga makna Ogden dan Richard, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Description:
Selanjutnya, Linguistik dan Antropologi bekerja sama dalam mempelajari hubungan bahasa dan aspek-aspek budaya dengan sebutan antropolinguistik.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.