10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Tentang Puisi Pada bagian ini akan dibahas perihal 1) hakikat puisi, 2) unsur-unsur pembangun puisi, 3) jenis-jenis puisi, 4) kriteria kemampuan menulis puisi. 1. Hakikat Puisi Untuk memahami hakikat puisi, perlu peneliti kutip pendapat dari para ahli. I.A. Richards, berpendapat bahwa ―Suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan‖ yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaan-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau obyeknya), nada-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan sang penyair). Suharianto (1981: 12) mengatakan bahwa karya seni umumnya atau puisi khususnya, tidak lain ialah hasil pengungkapan kembali kembali segala peristiwa atau kejadian yang terdapat di dalam kehidupan sehari-hari. Puisi merupakan karya sastra yang memiliki karakteristik unik diban- dingkan dengan genre karya sastra lainnya, yakni prosa dan drama. Keunikan puisi antara lain disebabkan oleh sifatnya yang cenderung berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan. Karena keunikan itulah, batasan mengenai puisi sulit diterangkan secara lengkap dan memadai. Seiring dengan perkembangan karya sastra, termasuk puisi, pengertian puisi pun menjadi berubah. Wirjosoedarmo (dalam Pradopo: 1987, 5) mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karangan yang Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 11 terikat oleh: (1) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/ strofa, suku karangan): (2) banyak kata dalam tiap baris: (3) banyak suku kata dalam tiap baris: (4) rima: dan (5) irama. Kutipan di atas kiranya sudah tidak relevan lagi dengan wujud puisi pada zaman sekarang dalam hal terikat oleh jumlah baris tiap bait, banyaknya kata dalam tiap baris, dan banyaknya suku kata dalam tiap baris. Pada zaman sekarang penyair menghendaki kebebasan dalam mengekspresikan karyanya. Selanjutnya Pradopo (1987: 5-7) merangkum beberapa definisi puisi yang disajikan para ahli sebagai berikut. Alternbern mendefinisikan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the inteterpretive dramatization in metrical language). Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lainnya sangat erat hubungannya. Carlyle berkata, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Maksudnya penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang nerdu, bunyi dan irama yang ada dalam puisi tersebut serasi dan memepergunakan orkestrasi bunyi. Wordswoth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatf, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Selanjutnya, Dunton berpendapat sebenarnya bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosonal serta Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 12 berirama. Berikutnya Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya itu merupakan detik- detik yang paling indah untuk direkam. Berdasarkan beberapa rangkuman batasan puisi tersebut, Pradopo (1987: 7) menyimpulkan bahwa puisi itu ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Dengan demikian, puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang palaing berkesan. Sedangkan Tarigan (1986: 4) memberikan penjelasan bahwa istilah puisi berasal dari bahasa Yunani, yakni poiesis yang berarti penciptaan. Waluyo (1987: 25) memberikan definisi puisi sebagai berikut. ―Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.‖ Sayuti (2003: 3) merumuskan puisi sebagai berikut. ― Sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya.‖ Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 13 Berdasarkan definisi puisi seperti tersebut dapat ditarik simpulan bahwa sebuah karya seni disebut puisi jika memiliki ciri-ciri: (1) merupakan ekspresi pengalaman yang ditulis dengan bahasa yang puitis; (2) bersifat pemusatan dan pemadatan pada masalah yang disampaikan dan cara penyampaiannya; (3) lebih mengedepankan efek emosional daripada intelektual; (4) memanfaatkan unsur orkestra atau musik atau bunyi berupa rima dan irama; (5) menimbulkan pengaruh, sugesti atau motivasi kepada pembaca atau pendengarnya atau katarsis. 2. Unsur-unsur Pembangun Puisi Sama halnya dengan karya sastra prosa, puisi juga berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarangnya. Namun harus diakui bahwa untuk mengetahuinya lebih sulit karena bentuk puisi umumnya menggunakan kata-kata kias atau perlambangan dan kata-kata padat. Karena itu, untuk mengetahuinya diperlukan kecerdasan dan kejelian pembaca untuk menafsirkan kiasan atau perlambangan yang digunakan penyair (Suharianto 2005:38). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa memahami prosa lebih mudah daripada memahami puisi. Bahasa puisi yang penuh kiasan dan lambang-lambang mensyaratkan penikmatnya untuk memiliki kepekaan dan kecermatan dalam memahami puisi yang sedang dihadapi. Baribin (1990:41) memberikan simpulan atas strata norma yang dikemukakan oleh Wellek, ― Unsur pembentuk atau pembina puisi yang utama ialah: bunyi (termasuk rima dan irama) dan kata (meliputi makna, diksi, pigura bahasa, dan citraan).‖ Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 14 Berbeda dengan pernyataan Baribin, Waluyo (1987:28) mengemukakan temuannya secara lebih rinci dan lebih bisa dipahami tentang unsur atau struktur pembangun puisi. Menurutnya, ―Unsur pembangun puisi ada dua, yakni struktur fisik yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah (tipografi); dan struktur batin yang mencakupi tema, nada, perasaan dan suasana, serta amanat (pesan).‖ Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur pembangun puisi terdiri atas struktur fisik dan batin. Struktur fisik terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi, dan tata wajah (tipografi); sedangkan struktur batin mencakupi tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat. Berikut penjelasan mengenai struktur fisik dan struktur batin puisi. a) Unsur Fisik (1) Diksi Menurut Waluyo (2003:72), ―Diksi adalah kata-kata dalam puisi yang telah dipilih dan disusun oleh penyair dengan mempertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata-kata itu di tengah konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi.‖ Diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Diksi digunakan untuk mencurahkan pikiran setepat-tepatnya, mengekspresikan perasaan yang dapat menjelmakan pengalaman jiwa penyairnya (Pradopo 2002:54). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur diksi berfungsi teramat penting dalam penulisan puisi. Kekuatan utama Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 15 puisi terletak pada kecermatan penyair dalam dalam memilih kata untuk dapat mewakili ungkapan penyairnya setepat-tepatnya. Jadi, diksi adalah kata-kata yang dipilih dalam menulis puisi yang memiliki makna setepat-tepatnya untuk dapat mewakili perasaan, pikiran, dan maksud penyair. (2) Pengimajian Waluyo (1987:78-79) menyatakan bahwa pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,pendengaran, dan perasaan. Melalui pengimajian, apa yang dikatakan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil). Imaji visual menampilkan kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti bisa dilihat. Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan penyair sehingga pembaca seolah- olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan. Imaji taktil adalah penciptaan ungkapan penyair yang mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca terpengaruh perasaannya. Senada dengan pernyataan Waluyo (1987), Jabrohim, dkk. (2009:36) menyatakan bahwa pengimajian digunakan untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, menarik perhatian pembaca, serta memberi bayangan visual penyair dengan menggunakan gambaran-gambaran angan. Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendegaran, dan perasaan (Siswanto 2008:118). Ia juga menggolongkan imaji menjadi tiga jenis, sesuai dengan pendapat Waluyo (1987), yakni imaji suara, penglihatan, dan raba atau sentuh. Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 16 Beberapa pendapat di atas dapat disarikan bahwa pengimajian adalah kata atau kumpulan kata pada puisi yang disusun untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan kesan konkret, dan menghidupkan apa yang diungkapkan oleh penyair sehingga terkesan nyata. (3) Kata Konkret Kata konkret digunakan untuk membangkitkan imaji pembaca terhadap puisi yang tengah dihadapi. Imaji ini akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair. Adapun kata konkret dihadirkan oleh pengarang untuk menciptakan imaji pembaca. Kata konkret juga erat kaitannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair lihai mengonkretkan kata-kata, pembaca akan seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi (Waluyo 1987:81). Sejalan dengan pendapat Waluyo (1987), Jabrohim, dkk. (2009:41) mengungkapkan bahwa kata konkret merupakan kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca. Berdasar pada berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata konkret dalam puisi merupakan kata-kata yang digunakan setiap penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca, sehingga pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi. (4) Bahasa Figuratif (Majas) Pradopo (2002:62) menyatakan bahwa dengan bahasa figuratif sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan memberikan Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 17 kejelasan gambaran angan. Bahasa kias mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi lebih jelas, lebih menarik, dan hidup. Waluyo (1987:83) menyebutkan bahwa bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kiasa atau lambing. Demi mendapatkan kepuitikan bahasa puisi, penyair melakukan pemilihan kata dan mengolahnya dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa figuratif (figurative language) atau biasa disebut majas. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Ada berbagai macam jenis bahasa figuratif. Adapun pembagian bahasa figuratif menurut Altenbarnd adalah: simile, metafora, simile epik, alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdok. (Baribin 1990:48- 51). Peneliti akan memaparkan beberapa majas yang sering digunakan penyair dalam puisinya, yaitu simile, metafora, personifikasi, dan repetisi/pengulangan. (i) Simile atau Majas Perbandingan Simile atau majas perbandingan ialah menyamakan suatu hal dengan suatu hal lain dengan menggunakan kata pembanding, misalnya seperti, bagai, bak, seumpama, laksana, dan sebagainya. Angin Lembut akan kuberi nama siapakah dia, Tuhan angin lembut yang ramah itu ia tidak kasar seperti angin kemarau ia tidak menyakitkan seperti badan ia lembut dalam setetes embun Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 18 Pada bait puisi Sadono di atas terdapat majas perbandingan dengan kata pembanding seperti sekaligus terdapat repetisi. (ii) Metafora Metafora adalah majas yang menyamakan sesuatu hal dengan sesuatu hal lain tanpa menggunakan kata pembanding (Baribbin, 1990:49). bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawamesum ini dan membunuhnya pagi hari (Subagio) Majas metafora pada puisi di atas adalah bumi dibandingkan dengan perempuan jalang, Kemudian pada baris berikutnya terdapat majas personifikasi, yaitu yang menarik laki-laki jantan dan pertapa. (iii) Personfikasi Majas personifikasi sering digunakan penyair untuk menghidupkan puisinya. Baribin (1990:50) berpendapat bahawa personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret. (iv) Repetisi Majas repetisi adalah majas yang mengulang-ulang kata. Majas pengulangan digunakan untuk intensitas makna dan menjadikan puisi itu lebih indah. Beberapa pemaparan di atas memberikan fungsi yang jelas tentang bahasa figuratif dalam puisi. Bahasa figuratif adalah susunan kata dalam puisi untuk mempersamakan satu hal dengan yang lain demi menimbulkan Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014 19 kesegaran bahasa, kesan hidup, dan kejelasan gambaran angan, serta untuk menarik perhatian. (5) Versifikasi Menurut Jabrohim, dkk. (2009:53-54) , ―Versifikasi terdiri atas ritma, rima, dan metrum.‖ Secara umum ritma (rhythm) dikenal sebagai irama, yaitu pergantian panjang-pendek, turun-naik, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) dinamika, yakni tekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu; (2) nada, yakni tekanan tinggi rendahnya suara; dan (3) tempo, yakni tekanan cepat lambatnya pengucapan kata. Waluyo (1987:90) mengemukakan bahwa rima (rhyme) adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi dengan mempertimbangkan lambang bunyi. Pemilihan bunyi-bunyi ini mendukung perasaan dan suasana puisi. Marjorie Boulton (Waluyo 1987:90) menyebutkan rima sebagai phonetic form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi. Rima adalah perulangan bunyi yang sama dalam puisi untuk menambah keindahan suatu puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, dan mampu menciptakan suasana kegembiraan atau kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Selain itu, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, membawa suasana kesedihan yang disebut cacophony. Contoh efoni adalah Perbedaan Pengaruh Pembelajaran..., Setiyadi, Program Pascasarjana UMP, 2014
Description: