HAMBATAN HUKUM PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ALIRAN NARKOTIKA SEBELUM PROSES PELELANGAN (P-21) DITINJAU DARI STUDI EFEKTIVITAS HUKUM PIDANA DI KALIMANTAN BARAT OLEH: SUSI MARIA, S.K.M. NPM.A2021151051 ABSTRAK TPPU berasal dari kejahatan asal dan pencucian uangnya sebagai kejahatan lanjutan. Perampasan aset dari kejahatan lanjutan ini agar dirampas menjadi milik negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hambatan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan upaya menanggulangi sulitnya pada perampasan aset Tindak Pidana Pencucian Uang dari aliran Narkotika sebelum proses pelelangan (P-21) ditinjau dari studi efektivitas hukum pidana. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Yuridis Sosiologis atau Empiris. Data yang digunakan adalah data Primer dan Sekunder. Data yang sudah dikumpulkan kemudian disajikan secara Dekriptif Yuridis (Kualitatif). Selanjutnya ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat hambatan hukum dalam Perampasan Aset TPPU Narkotika. Faktor-faktornya adalah faktor hukumnya sendiri belum menyandingkan UU Narkotika dengan UU TPPU, Dakwaan belum bersifat Dakwaan Kumulatif, belum mengimplementasikan KUHAP Pasal 39 ayat (1), UU TPPU belum sebagai syarat mutlak, UU Narkotika belum ada pasal bahwa produsen dan pengedar asetnya dapat langsung disita padahal UU tersebut telah mengklasifikasikannya. Masa waktu penyidikan TPPU singkat. faktor penegak hukumnya adalah penyidik telah dilatih Spesialisasi Fungsi Reserse Kriminal belum mampu melaksanakan skill dilapangan, faktor sarana dan fasilitas bahwa setiap melakukan penyidikan terputus dikarenakan anggaran sangat terbatas, faktor masyarakat belum berani untuk memberikan informasi, dan faktor kebudayaan bahwa secara struktur menciptakan kelembagaan berfungsi dalam negara dengan mendukung bekerja sistemnya, substansinya sebagai output pada sistem peraturan dan kebudayaannya memasukkan nilai-nilai serta sikap budaya. Diharapkan adanya pengaturan yang tegas dalam didalam UU TPPU dan UU Narkotika bahwa apabila ada aset kekayaan hasil kejahatan TPPU Narkotika dapat langsung dirampas menjadi milik negara, integritas aparat penegak hukum dan anggaran yang memadai dan terbentuknya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Kata Kunci : Hambatan Hukum, Perampasan Aset, Tindak Pidana Pencucian Uang, Narkotika 1 ABSTRACT TPPU comes from the crime of origin and money laundering. Assignment of assets from this to be deprived of state property. The problems in this research are what are the obstacles, the factors that influence and the effort to overcome the difficulty in asset deprivation Crime Money Laundering from Narcotics flow before the auction process (P - 21) in terms of study. The current approach is Juridical Sociological or Empirical. The data used are Primary and Secondary data. Data that has been consulted roughly Descriptive Juridical (Qualitative). The data has been collected and then presented in Juridical Decriptive (Qualitative). Further conclusions are drawn to answer the issues discussed. Based on the results of research that There is Legal Barriers In Deprivation of TPPU Narcotics Assets. The Factors are the Factor of the Law itself has not juxtaposed the Narcotics Law with the Law on TPPU, the indictment is not yet Cumulative indictment, has not implemented the Criminal Procedure Article 39 paragraph (1), the TPPU Law is not yet an absolute requirement, Not implemented the Code of Criminal Procedure Article 39 paragraph (1), yet AML Law as an essential condition, the Narcotics Act has been classified them. The time period of TPPU investigation is short. Factors Enforcement law is the investigators have been trained Specialization Function of Criminal Investigation has been committed to carry out its skill in the field, Factor Facilities and amenities that every investigative disconnected due to a limited budget, the factors People do not dare to provide information , And the factors of culture that support institutional function in the country by supporting the work system, substance as output in the regulatory system and enter their cultural values and cultural attitudes. It is expected that arrangements are firmly in within the AML Law and the Law on Narcotics that if there is money laundering proceeds of crime property assets can be directly sealed narcotics belonged to the state, Law Enforcement Integrity and an adequate budget and the creation of an asset deprivation bill. Keywords : Law Enforcement, Asset Deprivation, Money Laundering , Narcotics. 2 Latar Belakang Permasalahan Narkotika di Indonesia telah lama menjadi hambatan dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia. Dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dapat mengancam kelangsungan hidup, masa depan bangsa dan negara. Tanpa membedakan strata sosial, ekonomi, usia maupun tingkat pendidikan. Hal ini telah mengundang perhatian Pemerintah Republik Indonesia dengan membuat aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.1 Pengenaan Undang-Undang TPPU untuk pelaku tindak pidana Narkotika sangat berguna dan tepat, mengingat rezim Hukum Anti Money Laundering (Anti Money Laundering Legal Regime) lahir dari upaya Internasional dalam penanganan masalah Narkotika dan sejenisnya, yang tertuang dalam United Nations Conventions Against Illict Traffic In Narcotics Drugs and Psychtropic Substances 1988 atau yang disebut Konvensi Wina yang menyatakan bahwa pengejaran pelaku narkotika secara khusus juga menyentuh hasil kejahatan dari perdagangan Narkotika.2 Padahal untuk lebih menguatkan keberhasilan pencegahan dan pemberantasan Narkotika bukan hanya menerapkan Undang-Undang Narkotika tetapi menyandingkannya dengan Undang-Undang TPPU. Rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, tetapi lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apalagi pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitas hukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenarnya bukan tentang hukum itu sendiri.23 Selain itu William Chamblish dan Robert B Seidman mengungkapkan bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all other societal personal force (semua ketakutan dari individu masyarakat) yang melingkupi seluruh proses.24 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan 3 penerapaan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak Secara ketat diatur oeh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayner LaFavre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka Lafavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau kemajuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisian terhadap karakteristik dua variabel terkait yaitu karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan. Ketika berbicara sejauhmana efektivitas hukum maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Proses penanganan perkara dimulai pada tahap Penyelidikan dan Penyidikan. Pada asasnya, melalui visi KUHAP dibedakan secara limitatif antara ‡3HQ\HOLGLN(cid:3)GDQ(cid:3)3HQ\LGLN(cid:3)DWDX(cid:3)Opsporing/Interrogation·(cid:17)(cid:3)(cid:3)0HQXUXW(cid:3)NHWHQWXDQ Bab I Pasal 1 Angka 5 KUHAP bahwa ‡3HQ\HOLGLNDQ·(cid:3)merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Penegakan Hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung pada bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Yang termasuk kalangan penegak hukum meliputi bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan. 4 Menurut Rencana Strategi Badan Narkotika Nasional (BNN) 2015-2019 bahwa pengungkapan TPPU dari narkotika, terungkap 108.701 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 134.117 orang, hasil pengungkapan TPPU sebanyak 40 kasus dengan total aset yang disita sebesar Rp 163,1 milyar. Data BNN Kalimantan Barat menyebutkan pengungkapan kasus TPPU belum pernah ada. Sedangkan untuk data Pengadilan Negeri Bengkayang tahun 2015 data terdakwa Narkotika sebanyak 13 orang, tahun 2016 sebanyak 23 orang, untuk kasus TPPU belum pernah ada. Data ini menunjukkan masih sangat minimnya pengungkapan kasus TPPU aliran narkotika. Belum optimalnya penegakan hukum TPPU, layak diformulasikan, dibahas dan diupayakan pemecahannya. Kemungkinan permasalahan berkaitan dengan perundangan-undangan, penegak hukumnya,sinergitas penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat, maupun masalah lain yang krusial. Permasalahan Apakah terdapat hambatan hukum pada perampasan aset Tindak Pidana Pencucian Uang dari aliran Narkotika sebelum proses pelelangan (P-21) ditinjau dari studi efektivitas hukum pidana? Pembahasan Berdasarkan hasil wawancara, maka peneliti menyimpulkan bahwa Terdapat Hambatan Hukum pada perampasan aset TPPU aliran Narkotika sebelum proses pelelangan (P-21), dikarenakan yaitu: x Aturan mengenai penanganan hasil dari kejahatan asal yang merupakan kejahatan lanjutan atau follow up crime telah diatur dalam Undang-Undang TPPU Nomor 8 Tahun 2010, UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Penyelidikan dan Penyidikan TPPU Asal Narkotika Dan Prekursor Narkotika UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan KUHAP, belum 5 diimplementasikan secara maksimal oleh penegak hukum dan seharusnya ada beberapa tambahan pasal pada aturan tersebut dikaitkan dengan fakta dilapangan. x Belum ada anggaran penyidikan TPPU aliran Narkotika diinstansi BNNP, BNNK dan RESKRIMSUS POLDA sehingga sulit untuk melakukan penyelidikan serta penyidikan yang berakibat perkara tersebut putus. x Masih rendahnya profesionalitas penegak hukum memahami perkara penanganan TPPU aliran Narkotika sehingga tidak ada insiatif atau keinginan melakukan penyelidikan TPPU dan penyidik lebih fokus pada penanganan kejahatan asalnya. x Pembuktian TPPU aset Narkotika paling baik digunakan adalah dengan pembuktian terbalik, tetapi fakta dilapangan sulitnya mendapatkan informasi aset kekayaan tersangka dengan pembuktian terbalik. x Waktu penanganan perkara TPPU saat ini sangat lama dan permohonan data ke PPATK bahkan lebih dari 120 hari. Waktu menjadi kendala penanganan perkara tersebut, dengan demikian perkara tidak ditindaklanjuti lagi. x Berdasarkan data BNNP Kalbar, Brigjen Pol Nasarullah (Kepala BNNP Kalbar) saat ini pecandu Narkotika di Kalbar tercatat 61.185 orang. Tahun 2016 sebanyak 558 kasus narkoba dan 2017 sebanyak 137 kasus nakoba, belum ada penanganan perkara TPPU aliran narkotika Yenti Ganarsih mengatakan bahwa penting sekali memahami dengan hanya menerapkan ketentuan anti Narkoba saja tidak cukup untuk menanggulangi maraknya kejahatan ini, karena tidak terlalu optimal kalau hanya memenjarakan pelaku, sementara perdagangan dan peredarannya tetap berjalan, bahkan terbukti meski bandar dipenjara, peredaran masih bisa dikendalikan. Tentu hal ini mesti dikaji 6 lagi, bahwa seorang pelaku kejahatan narkotika bukan hanya dikenakan UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tetapi disandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang TPPU. Selain dipidana dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 juga TPPU nya UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian. Seorang filsafat hukum Immanuel Kant berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sedangkan hukuman merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. hukuman ini merupakan suatu pembalasan yang etis. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan antara lain: x Hambatan penegakan hukum pidana perampasan aset perlu terus ditingkatkan mengingat Narkotika merupakan extra ordinary crime. Penegakan hukum dilaksanakan dengan upaya refresive yakni penyidik menerapkan UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010 disandingkan dengan UU Nomor 35 tahun 2009. Antara tindak pidana asal dan TPPU disusun dalam satu berkas dalam bentuk atau susunan dakwaan kumulatif. Sedangkan upaya preventif adalah melakukan sosialisasi pada penyidik tentang peraturan perundang-undangan TPPU, Narkotika dan kewenangan penyidik sehingga memiliki pemahaman yang sama untuk menyentuh aset kekayaan pelaku. x Faktor penghambat perampasan aset TPPU Narkotika sebelum proses pelelangan (P- 21) disebabkan faktor perundang-undangannya dan aparatur penegak hukum. Belum adanya ketegasan tentang TPPU merupakan hasil dari suatu tindak pidana asal, dikemudian hari dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan. Sedangkan kendala 7 dari penyidik yaitu masih rendahnya skill menangani perkara TPPU Narkotika, belum ada keinginan penyidik menyentuh aset serta lambannya koordinasi penyidik kepada PPATK yang membutuhkan waktu lebih dari 120 hari. Hal ini menghambat proses penyidikan yang seharusnya berjalan cepat. x Upaya menanggulangi sulitnya perampasan aset TPPU aliran Narkotika sebelum proses pelelangan (P-21) melalui RUU Perampasan Aset. Konsep Perampasan Aset dengan NCB (Non Conviction Based Asset Forfeiture) dalam yuridiksi common law sudah sejak lama dikenal. Konsep ini didasari atas pemikiran bahwa apabila ‡VHVXDWX·(cid:3)PHODQJJDU(cid:3)KXNXP(cid:15)(cid:3)PDND(cid:3)‡VHVXDWX·(cid:3)LWX(cid:3)GDSDW(cid:3)GLDGLOL(cid:3)GDQ(cid:3)GLVLWD(cid:3)XQWXN(cid:3)QHJDUD(cid:3) tanpa mengadili orangnya terlebih dahulu. Prosedur demikian, disebut dengan istilah in rem atau civil asset forfeiture, konsep yuridis in rem secara harafiah berarti ‡PHODZDQ(cid:3)VHVXDWX·(cid:17) 8 Daftar Pustaka Adi Koesno, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, Maret 2015 Amrullah Arief M, Tindak Pidana Pencucian Uang MONEY LAUNDERING, Bayumedia Publishing, Cetakan Kedua, Malang Jawa Timur, Oktober 2004 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009. Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, Jakarta, Juli 2013. Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parhyangan, Bandung, 2000 Arief Nawawi Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, 2008 Arief Nawawi Barda dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1988 Arief Nawawi Barda, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cetakan ke I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988. Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2005 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Feliks Thadeus Liwupung, (NVLVWHQVL(cid:3)GDQ(cid:3)(IHNWLYLWDV(cid:3))XQJVL(cid:3)’X¶D 0R¶DQJ(cid:3)(cid:11)/HPEDJD(cid:3) Peradilan Adat) dalam Penyelesaian Sengketa Adat Bersama Hakim Perdamaian Desa di Sikkan Flores NTT. Garnasih Genti, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahannya di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-3, Jakarta, 2016. Garnasih Yenti, Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia (Money Laundering), Jakarta, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2006 9 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Translate by Anders Wedberg, New York: GLNXWLS(cid:3)ROHK(cid:3)-LPO\(cid:3)$VKLGLTTLH(cid:3)DQG(cid:3)0(cid:3)$OL(cid:3)6DID¶DW(cid:15)(cid:3)7HRUL(cid:3)+DQV(cid:3).HOVHQ(cid:3) Tentang Hukum, Cetakan Kedua, Konstitusi Press, jakarta, 2012. Henry Campbell Black, %ODFN·V(cid:3)/DZ(cid:3)’LFWLRQDU\, Amerika Serikat: West Publishing Co, 1978. HS Salim, Nurbani Septiana Erlies, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-2, Jakarta, Oktober 2013. Kansil Christine S.T dan Kansil C.S.T, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Marpaung Leden, Asas – Teori – Praktik, Hukum Pidana, Cetakan kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Marpaung Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Bagian Pertama, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, PT Alumni, Cetakan ke-2, Bandung, 2012. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995. Natangsa Surbakti, Sifat Melawan Hukum Materiil dan Implikasinya Terhadap HAM Kolektif Atas Pembangunan di Indonesia, dalam Muladi (Editor), Hak Asasi Manusia Hakikat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Cetakan Pertama, refika Aditama, Bandung, 2005. Pangaribuan Luhut MP, Hukum Pidana Khusus, Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, Pustaka Kemang, Cetakan pertama, Jakarta, 2016. Paraja Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan kedua, CV Pustaka Setia Bandung Bandung, Februari 2014 Rahardjo Satjipto, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Press, Yogyakarta, 2008. Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1989. Ridwan HR, Hukum Admintrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008. Robert B Seidman, Law Order and Power, Adition Publishing Company Wesley Reading masschuset, 1972. 10
Description: