1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Berikut ini akan disajikan rangkuman dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian ini yaitu “PROSES ALIH MEDIA NOVEL DILAN 1990 MENJADI SKENARIO KE FILM LAYAR LEBAR”. 2.1.1 Ekranisasi Novel Bidadari-bidadari Surga Karya Tere Liye dan Film “Bidadari-bidadari surga”: Kajian Humaniora Pada penelitian yang dilakukan oleh Devita Wulansari (2013) menjelaskan bahwa penelitian ini mendeskripsikan unsur-unsur struktural aspek-aspek humaniora dan perbedaan antara novel Bidadari-bidadari Surga karya Tere Liye dan film Bidadari-bidadari Surga yang disutradarai oleh Sony Gaokasak. Penelitian milik Devita menggunakan metode kualitatif. Perbandingan yang ada dari penelitian milik Devita dan peneliti adalah penelitian ini umumnya hampir sama dengan penelitian milik peneliti karena sama- sama meneliti tentang alih media dari novel ke film, hanya saja fokus penelitian skripsi ini adalah mengenai proses Ekranisasi alur, tokoh, dan latar. Sementara penelitian peneliti adalah mengenai proses alih media dari novel ke skenario film. Universitas Pasundan 2 2.1.2 Ekranisasi Novel ke Film Surat Kecil Untuk Tuhan Penelitian yang dilakukan oleh Pratiska Aderia, Hassanuddin WS, dan Zulfadli (2013) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan perbedaan yang terjadi akibat Ekranisasi antara novel Surat Kecil Untuk Tuhan karya Agnes Danovar dan Film Surat Kecil Untuk Tuhan yang disutradarai oleh Fajar Bustomi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Perbandingan yang ada dari penelitian ini dan penelitian peneliti adalah secara umum penelitian ini sama-sama membahas tentang Ekranisasi, namun pada penelitian ini hanya fokus pada perbedaan yang terjadi dalam proses Ekranisasi. sementara penelitian peneliti membahas tentang proses alih media dari novel ke skenario film. 2.1.3 Ekranisasi Novel ke Bentuk Film 99 Cahaya Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra Penelitian yang dilakukan oleh Devi Shyvianna Arry Yanti (2016) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan proses Ekranisasi novel 99 Cahaya di Langit Eropa ke bentuk film khususnya pada alur, tokoh, dan latar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Perbandingan yang ada dari penelitian ini dan penelitian peneliti adalah secara umum penelitian ini sama-sama membahas tentang Ekranisasi, namun pada penelitian ini proses Ekranisasi yang diteliti hanya berfokus pada alur, tokoh, dan latar. Sementara pada penelitian peneliti akan dibahas proses alih media novel ke film. Universitas Pasundan 3 2.1.4 Kajian Transformasi dari Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata ke Film Laskar Pelangi Karya Riri Riza Pada penelitian yang dilakukan oleh Bangkit Setia Mahani (2013) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan bentuk-bentuk transformasi alur dan penokohan dari novel Laskar Pelangi ke film Laskar Pelangi dengan metode Ekranisasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perbandingan yang ada dari penelitian ini dan penelitian peneliti adalah secara umum penelitian ini sama-sama membahas tentang Ekranisasi. Namun pada penelitian ini hanya berfokus pada transformasi yang terjadi pada alur dan penokohan novel dan film Laskar Pelangi. Sementara penelitian peneliti berfokus pada proses alih media atau Ekranisasi dari novel ke film. 2.1.5 Ekranisasi Cerita Novel Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Karya Agnes Davonar dengan Film Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Karya Sutradara Findo Purwono HW Pada penelitian yang dilakukan oleh Yeni Putri, Hasanudin WS, dan Zulfadhli (2014) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan perbedaan yang terjadi antara novel Ayah, Mengapa Aku Berbeda? karya Agnes Davonar dan film Ayah, Mengapa Aku Berbeda? karya sutradara Findo Purwono HW. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perbandingan yang ada dari penelitian ini dan penelitian peneliti adalah secara umum penelitian ini sama-sama membahas tentang Ekranisasi. Namun pada penelitian ini hanya berfokus pada perbedaan yang terjadi antara novel dan film Ayah, Universitas Pasundan 4 Mengapa Aku Berbeda? sementara penelitian peneliti berfokus pada proses alih media atau Ekranisasi dari novel ke film. 2.1.6 Ekranisasi Struktur Novel ke Film Habibie dan Ainun Karya Faozan Rizal Penelitian yang dilakukan oleh Sance A Lamusu Muslimin (2013) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan perbedaan yang terjadi antara novel dan film Habibie dan Ainun serta mengungkapkan bagaimana proses Ekranisasi pada novel dan film Habibie dan Ainun. Pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama membahas tentang alih media dari novel ke film. Namun terdapat perbedaan pada film yang diteliti pada penelitian ini film yang diteliti adalah Film Habibie dan Ainun, sementara film yang diteliti peneliti adalah Dilan 1990. 2.1.7 Kajian Ekranisasi Novel 5 CM karya Donny Dhirgantoro dan Film 5 CM Karya Sutradara Rizal Mantovani Penelitian yang dilakukan oleh Buni Yamin (2016) menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan proses Ekranisasi yang terjadi pada novel 5cm dengan film berjudul sama. Pada penelitian ini ditunjukkan pengurangan, penambahan dan perubahan yang terjadi akibat proses Ekranisasi novel ke film. Pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian peneliti yaitu sama- sama membahas tentang alih media dari novel ke film. Namun terdapat perbedaan pada Universitas Pasundan 5 film yang diteliti pada penelitian ini film yang diteliti adalah 5 cm sementara film dan novel yang diteliti oleh peneliti adalah Dilan 1990. 2.2 Film Sejarah perkembangan film di Indonesia dipaparkan oleh Joseph (2011:12-15) pada jurnalnya yang berjudul Pusat Apresiasi Film di Yogyakarta. Di Indonesia film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu, film disebut “Gambar Idoep”, pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Namun, pertunjukkan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap mahal. Sehingga, pada 1 Januari 1901 harga karcis dikurangi hingga 75 % untuk menarik minat penonton. Masih dari paparan Joseph (2011:12-15) bahwa film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada Tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film impor ini berubah judul ke Bahasa Melayu, dan film cerita impor ini cukup laku di Indonesia, dibuktikan dengan jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Film lokal pertama kali diproduksi pada Tahun 1926, dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi oleh NV Java Film Company, adalah sebuah film cerita yang masih bisu. Agak lambat memang, karena pada tahun tersebut dibelahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Kemudian, perusahaan yang sama memproduksi film kedua mereka dengan judul “Eulis Atjih”. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian Universitas Pasundan 6 muncul perusahaan-perusahaan film lainnya. Seperti, Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah. Masih dari pemaparan Dolfi Joseph (2011:12-15) untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Kemudian, film “Jam Malam” karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam festival film Asia II di Singapura. Film ini juga dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik social yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan. Dari pemaparan Dolfi Joseph (2011:12-15) pertengahan ’90-an, film-film nasional yang menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD, dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor. Namun, di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia, karena dengan adanya kamera digital, mulailah terbangun komunitas film independen, yakni film-film yang dibuat diluar aturan baku yang ada. Film-film tersebut mulai diproduksi dengan Spirit Militan. Meskipun banyak film yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik, sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik, sehingga film-film ini hanya bisa dilihat Universitas Pasundan 7 secara terbatas dan di ajang festival saja. Baru kemudian pada tanggal 19 Desember 2009 film Laskar Pelangi meraih penghargaan film terbaik se-Asia Pasifik di Festival Film Asia Pasifik yang diselenggarakan di Taiwan (Dolfi Joseph: 2011-12:15) 2.2.1 Pengertian Film Film memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, hal ini dikarenakan film direncanakan khusus untuk mempengaruhi jiwa, pemikiran, gaya hidup, tingkah laku, hingga perkataan, dengan cara memainkan emosi seseorang yang menontonnya. Terdapat beberapa definisi film menurut beberapa ahli, seperti menurut Wibowo (2006: 25) mengungkapkan bahwa: “Film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artisrik sebagai suatu alat para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Secara esensial dan substansial film memiliki power yang akan berimplikasi terhadap komunikan masyarakat.” Selain itu, pengertian film juga diungkapkan oleh Effendy (2000: 20) dalam bukunya, yaitu: film adalah gambaran teatrikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung bioskop khusus untuk siaran televisi. Definisi tentang film juga diungkapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 dijelaskan tentang perfilman, yakni: “Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas Sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan Universitas Pasundan 8 video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, dan proses lainnya, dengan/tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.” Berdasarkan pengertian tentang film yang telah disampaikan oleh beberapa ahli dan yang tercantum dalam Undang-undang, penulis memahami bahwa film adalah sebuah karya cipta melukis gerak dengan cahaya sebagai media pesan atau komunikasi untuk dipertunjukan kepada penonton dengan menggunakan alat khusus, yang disebut dengan kamera. 2.2.2 Jenis Film Pada dasarnya film dapat dikelompokkan menjadi dua pembagian dasar yaitu, film cerita dan film non cerita, menurut Sumarno (1996:10) film cerita (fiksi) adalah sebagai berikut: “Film Cerita adalah film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Selain itu, Film Cerita adalah sebuah bungkus atau kemasan yang memungkinkan pembuat film melahirkan realitas atau kemasan yang memungkinkan pembuat film melahirkan realitas rekaan yang merupakan suatu alternative dari realitas nyata bagi penikmatnya.“ Sementara itu, pengertian dari film non cerita yang diungkapkan oleh Sumarno (1996:11) film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya, yaitu merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan. Sehingga dapat dipahami oleh penulis bahwa film cerita adalah film yang dikemas berdasarkan cerita fiksi yang dibuat oleh penulis dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Sementara film non cerita adalah film yang dikemas berdasarkan kisah nyata sebagai subjeknya. Universitas Pasundan 9 2.2.3 Unsur-unsur Pembentuk Film Dalam proses pembuatan film tentu melibatkan unsur-unsur yang membentuk film, seperti yang diungkapkan oleh Pratista (2008:25) bahwa terdapat 2 unsur pembentuk film yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. 2.2.3.1 Unsur naratif Menurut Pratista (2008:25) Unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita film. Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap film cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Setiap cerita pasti memiliki unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, serta lainnya. Seluruh elemen tersebut membentuk unsur naratif secara keseluruhan. 2.2.3.2 Unsur sinematik Unsur sinematik menurut Pratista (2008:26) merupakan merupakan aspek- aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdapat 4 (empat) elemen pokok dalam insur sinematik yaitu: a. Mise-en-scene: setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make up, serta akting dan pergerakan pemain. b. Sinematografi: perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan objek yang diambil. c. Editing: transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. Universitas Pasundan 10 d. Suara: segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui inera pendengaran. Dari kedua unsur tersebut peneliti dapat mengargumentasikan bahwa keberhasilan dalam pembuatan sebuah film memang tergantung pada penerapan unsur pembentuk film. Meski begitu, unsur pembentuk film sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing sineas. Berikut adalah gambar dari unsur-unsur pembentuk Film. Universitas Pasundan
Description: