BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa dalam kehidupannya menghasilkan kebudayaan yang tercermin dalam perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kehidupan manusia dan masyarakat Jawa sebagai makhluk sosial juga selalu dihadapkan dengan segala bentuk permasalahan hidup, sehingga manusia selalu dituntut mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Salah satu permasalahan yang selalu dihadapi masyarakat adalah permasalahan kesehatan. “Kesehatan dan penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi umat manusia sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa” (Prasetya, 2009:13). Penyakit dalam suatu masyarakat pun menjadi suatu ancaman manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup dari kelompoknya, akibatnya berbagai pengetahuan timbul untuk merespon penyakit. Manusia sebagai makhluk yang berakal akan selalu mengembangkan pengetahuannya untuk menghadapi dan merespon permasalahan hidupnya termasuk permasalahan tentang kesehatan dan penyakit. Bentuk respon oleh manusia terhadap permasalahan penyakit dalam kehidupannya bermacam-macam, ada yang dipengaruhi oleh lingkungan, ideologi dan gagasan, serta nilai-nilai yang diyakini dalam suatu kelompok masyarakat. Kosmologi semacam inilah yang turut mempengaruhi etiologi dan respon penyakit dari suatu masyarakat1. Bentuk 1 Kosmologi Jawa menurut Endraswara, (dalam Triratnawati, 2011) adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta, dan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau 1 respon masyarakat terhadap permasalahannya tersebut secara antropologi dipengaruhi oleh kebudayaan, baik kebudayaan material maupun kebudayaan immaterial. Manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak tampak, yang ada di luar batas panca inderanya dan di luar batas akalnya. Frazer (dalam Koentjaraningrat, 1980:221; Syam, 2011:33) mengemukakan bahwa “manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya” yang disebut dengan teori batas akal. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal kemudian dipecahkan dengan magic atau ilmu gaib, hal ini terutama terjadi pada masyarakat pedesaaan (tradisional). Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Jawa penyakit terbagi ke dalam penyakit dalam dan luar, sehingga dalam meresponnya pun akan berbeda. Menurut Geertz (1989:131-133) semua orang Jawa berpendapat bahwa ada dua jenis penyakit yang pokok: satu jenis yang bisa ditemukan sebab-sebab fisiknya dan bisa disembuhkan dengan pengobatan dokter yang dididik secara medis Barat; yang kedua adalah penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab secara medis, tetapi si pasien masih saja sakit, ini merupakan jenis penyakit yang hanya mampu diobati oleh para dukun. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suseno (2001:181) bahwa “umumnya masyarakat desa Jawa mengenal dukun, begitu pula yang ada di Desa Tanggulangin Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Di sana ada semacam dukun berjenis kelamin laki-laki yang biasanya disebut dengan istilah dongke. kerangka berpikir masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh dunia mikrokosmos dan makrokosmos yang mempengaruhi gagasan, artefak, dan tindakan manusia Jawa. Khsusnya yang mempengaruhi pemanfaatan pengobatan tradisional kepada dongke. 2 Para dongke dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Dongke dikenal oleh masyarakat melalui informasi (Jawa: getok tular) dari beberapa pasien dongke. Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, masyarakat Jawa [Desa Tanggulangin] masih mempercayai kekuatan supranatural di luar kemamuan manusia. Masyarakat percaya bahwa dunia manusia juga mempunyai ketergantungan dengan dunia supranatural. Dunia Jawa dimaknai sebagai keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Akibatnya, dalam konteks kesehatan, khususnya etiologi penyakit masyarakat mengenal sakit supranatural. Sakit akibat gangguan supranatural ini biasanya direspon masyarakat ke dukun (Tanggulangin: dongke). Selain dongke digunakan sebagai praktisi penyembuh dalam medis tradisional, masyarakat juga menggunakan jasa dongke untuk mengetahui hari-hari baik dalam suatu ritus adat, misalnya ritus perkawinan, khitanan, maupun acara lain yang dinilai masyarakat mempunyai nilai sakral. Seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional serta banyaknya layanan kesehatan yang tersedia di Tuban. Ternyata tidak hanya masyarakat awam saja yang menggunakan jasa dongke sebagai praktisi penyembuh dan pemimpin ritual adat. Tokoh agama pun juga masih percaya dan menggunakan jasa dongke. Uniknya, dongke sebagai praktisi penyembuh menggunakan sistem numerologi/petungan sebagai basis perhitungan Jawa. Petungan yang digunakan oleh dongke untuk pengobatan berlandaskan pada hari dan weton menurut masyarakat Jawa. Petungan-petungan tersebut biasanya digunakan untuk mengetahui sumber atau agen penyakit dan menentukan bagaimana cara merespon penyakit berdasarkan jenis penyakit. Eksistensi dongke sangat bertentangan dengan dunia modern yang berlandaskan dengan rasionalitas 3 serta bertolak belakang dengan ikon masyarakat Tuban yang dikenal sebagai kota Wali2. Dari sisi lain, terdapat fenomena yang menarik tentang pengobatan medis tradisional dalam konteks kosmologi masyarakat terkait etiologi dan pengobatan sakit yang menggunakan basis petungan Jawa. Berbicara tentang pengobatan dongke, tidak hanya berbicara mengenai sistem medis pengobatan tradisional, tetapi juga terkait dengan sistem kepercayaan, tradisi, dan magis yang akan dianalisa dalam konteks kosmologi Jawa yang menganut model keseimbangan alam antara dunia mikrokosmos maupun makrokosmos. Alasan lain dilakukannya penelitian yang bertemakan etnomedisin, yaitu untuk menggali pengetahuan lokal yang berbasis pada komunitas. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ingin mensurvei secara skala nasional untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat (Tunggal, 2012). Wawasan sebagai pengetahuan lokal masyarakat Tanggulangin yang terekspresikan lewat pemanfaatan dongke menjadi salah satu kajian etnomedisin yang dimaksud pemerintah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah, yaitu mengapa animo masyarakat Desa Tanggulangin pergi berobat ke dongke masih tinggi, seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional? Mengingat pula pembangunan kesehatan yang sudah mulai membaik. 2 Masyarakat Kabupaten Tuban dikenal dengan masyarakat yang banyak wali-nya, sehingga masyarakatnya diinterpretasikan sebagai masyarakat yang religius. http://jokolelonokosti.wordpress.com/2009/10/25/wisata-tuban-nan-agamis/ di unduh 26/10/2011. 4 Hal ini dapat terlihat dengan fasilitas rumah kesehatan dengan adanya rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Tuban. Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka peneliti menguraikannya ke dalam beberapa pertanyaan penelitian yang berguna untuk menguraikan dan membantu menjawab rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana pengetahuan lokal masyarakat Desa Tanggulangin mengenai sehat, sakit, dan penyebab sakit? 2. Bagaimana masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit? Dan bagaimana pencegahan terhadap penyakit? 3. Pilihan rasional yang bagaimana yang mempengaruhi masyarakat pergi berobat ke dongke? Rumusan pertanyaan di atas disusun guna mengetahui pengetahuan lokal terkait pengobatan tradisional dalam konteks kosmologi Jawa. Kosmologi semacam inilah yang akan berusaha dibaca oleh peneliti dalam menganalisis tingginya fenomena masyarakat berobat ke pengobatan sistem medis tradisional (dongke). Selain itu, juga akan dikaitkan dengan perubahan dan pilihan rasional masyarakat dalam merespon sakit. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menjelaskan tingginya animo pengobatan ke dongke dalam konteks kosmologi Jawa sebagai pengetahuan lokal yang dikaitkan dengan perubahan-perubahan dan pilihan-pilihan rasional yang terjadi di Masyarakat Desa Tanggulangin. Adapun sub tujuan penelitian yang akan dilakukan, yaitu sebagai berikut: 5 1. Mengungkap pemahaman masyarakat mengenai konsep sehat-sakit dan penyebab sakit di Tanggulangin. 2. Menjelaskan cara masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit serta perilaku pencegahan penyakit. 3. Mendeskripsikan perubahan-perubahan sosial dan pilihan rasional masyarakat dalam melakukan pengobatan. Selain itu, tulisan ini merupakan kerangka yang berusaha menganalisis tindakan dalam konteks kosmologi berpikir masyarakat Tanggulangin. Penelitian ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan dan mengetahui fenomena yang ada pada masyarakat Tanggulangin, tetapi lebih jauh akan bergerak untuk mengisi khasanah keilmuah (teoritis) dalam bidang antropologi kesehatan. Apabila kajian etnomedisin biasanya mengungkap sisi pengobatan dari dalam (cara pengobatannya/teknis), maka tulisan ini berusaha mencari kerangka berpikir mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan dengan cara melihat etnomedisin tidak dari dalam, tetapi dari luar. 1.4 Tinjauan Pustaka Kepustakaan yang dibahas dalam tulisan ini merupakan literatur yang membahas etnomedisin, yang searah dengan apa yang akan dilakukan oleh peneliti. Kepustakaan sebagai data bukan berfungsi sebagai data duplikasi, tetapi sebagai bukti keorisinalitasan peneliti dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa hasil kajian entomedisin yang peneliti gunakan untuk menunjukkan keorisinalitasan tulisan, antara lain adalah karya Riyanto (1999) yang mengkaji konstruksi sosial budaya dukun pada masyarakat Banyuwangi. Riyanto memfokuskan kajiannya tentang bagaimana masyarakat 6 menginterpretasikan seorang dukun, bagaimana seorang dukun memberikan makna terhadap dirinya sendiri (self image), dan strategi apa yang harus dilakukan agar kehadirannya diakui oleh masyarakat. Penelitian Riyanto menghasilkan simpulan dengan melihat perbedaan dukun modern dan tradisional dari cara pengobatan seperti strategi pengiklanan yang merupakan bagian dari pengobatan, interpretasi, dukun yang membangun relasi sosial, pemaknaan dukun terhadap dirinya sendiri terkait perannya sebagai penyembuh. Hal ini hampir sama pengamatan Suwarna dan Febriane, bahwa fenomena dunia penyembuhan alternatif-supranatural di era konsumsi seperti saat ini sangat mementingkan citra. Dulu, penyembuh identik dengan orang tua yang disebut “Mbah”, namun seiring dengan perkembangan media komunikasi yang semakin maju, tidak sedikit dari para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional mulai membangun citra dirinya melalui radio dan televisi (TV). Hal ini terbukti dengan seringnya acara pada TV dan radio dengan siaran eksklusif pengobatan alternatif dengan praktisi yang mendapat julukan Jeng (Suwarna, Budi & Sarie Febria dalam Kompas.com, 2011). Sementara studi lain, yaitu Walcott (2004:52-54) memfokuskan penelitiannya pada adanya faktor dalam pemilihan pengobatan seperti faktor ekonomi, kepercayaan, dan kebudayaan yang saling berpengaruh. Berbagai jenis pengobatan alternatif, pengobatan yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan lebih mudah diterima. Hubungan diantara pengobatan alternatif dengan pengobatan modern tidak dianggap sebagai hubungan yang bersaing. Kajian etnomedisin yang paling banyak dikaji oleh peneliti di Indonesia adalah pengobatan tradisional yang pengobatannya memanfaatkan ramuan 7 tanaman yang banyak tumbuh di masyarakat Indonesia yang dijadikan sebagai jamu. Kajian-kajian tersebut masih belum memperhatikan kemampuan supranatural orang yang melakukan penyembuhan. Pengkajian semacam itu, dapat dilihat dalam beberapa artikel tentang pengobatan yang ditulis diberbagai media seperti (Anonim, 1980:57-59; Lum, 1984:111; Supardi, Jamal, & Badan, 2005- 192-198; Prastika, 2011:1-18; Kuntorini, 2005:25-36; Limananti dan Triratnawati, 2003:11-20). Selain itu juga dapat ditemukan dalam buku Jawa Serat Centhini (Sudardi, 2002:13; Kasniyah, 1997). Beberapa kajian etnomedisin yang mencoba menggali pengetahuan lokal masyarakat dan kondisi praktisi sistem medis tradisional salah satunya dilakukan oleh Iskandar (2007) yang mengkaji pengetahuan sando tentang etiologi dan metode penyembuhan di Desa Pakuli Provinsi Sulawesi Tengah. Iskandar belum menggali pengetahuan lokal dengan mendalam, tetapi mengklasifikasikan praktisi sistem medis tradisional. Menurutnya ada dua tipe sando, yaitu sando perahu dan sando pengenalan. Sando perahu lebih konservatif terhadap perubahan pola-pola pengobatan (Jawa: duku tiban). Sementara sando pengenalan lebih terbuka untuk memodifikasi dan mengembangkan metode pengobatannnya. Deskripsi lain yang dapat saya interpretasikan adalah sebutan untuk sando bisa dianalogikan dengan dukun sebagaimana sebutan praktisi kesehatan pada masyarakat Jawa. Hal ini terlihat pada pendeskripsian Iskandar bahwa sando juga bisa mengobati patah tulang (sando koto atau mpeonju) dan menangani persalinan, ini mirip dengan dukun sangkal putung dan dukun bayi pada masyarakat Jawa. Selain itu, struktur masyarakat yang diteliti oleh Iskandar juga kurang dijelaskan di dalamnya. Menurut saya, kaitan antara struktur sosial-budaya masyarakat akan 8 mempengaruhi pola pikir dan respon terhadap sistem sakit yang ada pada masyarakat (hubungan kausalitas), sehingga keberadaannya jangan diabaikan. Beberapa studi di atas, menurut peneliti masih belum mengungkap secara mendalam pengetahuan lokal terkait dengan konsep sehat-sakit, penyebab dan pencegahan sakit, cara masyarakat merespon dan mengidentifikasi sakit. Beberapa diantaranya belum ada yang menghasilkan etnografi yang mengkaitkan pengetahuan dan pilihan pengobatan dengan alam pikiran masyarakatnya (kosmologinya). Selain itu, penelitian tentang etnomedisin masih banyak yang membahas dari dalam (cara pengobatan/teknis), tidak melihat kosmologi berpikir mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan. Kekosongan yang demikianlah yang akan berusaha peneliti ungkap melalui tulisan ini. Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah upanya peneliti melihat perubahan pengetahuan lokal dan gejala penyakit yang menyerang pasien yang akan digali dengan konteks kekinian dan kelokalan. Selain itu, menurut Geertz elemen yang sangat terpenting dalam sebuah pengobatan tradisional adalah kondisi pemberi obat (condition of the performer) yang dikaitkan dengan etiologi penyakit masyarakat (Geertz, 1989:123-127). Hal inilah yang juga kurang diperhatikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dari penelitian-penelitian di atas, maka peneliti tertarik dan akan menganalisa lebih komprehensif kajian etnomedisin dengan pendekatan etnosains. Selain untuk melihat klasifikasi-klasifikasi, pendekatan ini juga untuk mengalisis pengetahuan lokal terkait pilihan rasional dalam pengobatan pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan. 9 Guna mendukung dan memberikan arah dalam penelitian, literatur tambahan dipakai untuk mempertegas dan menunjukkan keaslian penelitian yang akan dilakukan. Hal ini merupakan landasan berpijak peneliti ketika akan menguraikan hasil penelitian untuk dapat mendeskripsikan hubungan-hubungan yang terjadi dengan data yang diperoleh di lapangan, antara lain: 1.4.1 Sistem Medis Tradisional pada Masyarakat Jawa Sistem medis tradisional akhir-akhir ini lebih menarik perhatian dan mungkin lebih banyak yang memanfaatkannya dibanding masa-masa sebelumnya. Artinya bahwa akhir-akhir ini pengobatan tradisional ada kecenderungan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menderita suatu penyakit. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional di tahun 2010 dan 2011 didapatkan bahwa pengobatan penyakit dari masyarakat yang terserang sakit dengan pengobatan sendiri baik pengobatan modern maupun tradisional sebanyak 68,41 % (2010:38) dan 68,70 % (2010:11). Sementara dari pengobatan yang dilakukan dengan cara medis tradisional sebanyak 22,26% di tahun 2008; 24,24% di tahun 2009; dan 27,58% di tahun 2010 (2011:149). Prosentase ini menunjukkan bahwa angka pengobatan yang dilakukan secara mandiri dan pilihan pengobatan medis tradisonal mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pengobatan dengan menggunakan sistem medis tradisional seperti inilah yang justru menjadi pilihan masyarakat. Menurut ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bahri, sebelum adanya pengobatan modern, masyarakat dulu memanfaatkan jasa dukun yang kemudian dikembangkan menjadi pengobatan alternatif. Pada zaman modern pun banyak juga masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke dukun daripada ke dokter. (Bahri, 2012). 10
Description: