Referensi bagi Hakim Peradilan Agama Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Diterbitkan oleh Komnas Perempuan Tim Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir; Ummu Azizah Mukarnawati Editor: Ninik Rahayu (Edisi Kedua) Ismail Hasani (Edisi Pertama) Tim Diskusi: (Edisi Kedua) Asma’ul Khusnaeny; Deliana Sayuti Ismudjoko; Ema Mukarramah; Josephine F. Ditta Wisnu; Kunthi Tridewiyanti; Ninik Rahayu; Tumbu Saraswati Tim Diskusi: (Edisi Pertama) Azriana; Deliana Sayuti Ismudjoko; Herlyna Hutagalung; Husein Muhammad; Husna Mulya; Ninik Rahayu; Tety Kuswandari Disain dan Tata Letak: Agus Wiyono Edisi Kedua: Tahun 2013 Edisi Pertama: Tahun 2008 Diterbitkan atas dukungan dana dari: UNFPA (Edisi Kedua) IALDF (Edisi Pertama) ISBN: 978-979-26-7531-3 Komnas Perempuan Jl. Latuharhary 4B Jakarta 10310 Telp. : (62-21) 3903963 Fax : (62-21) 3903922 Website : www.komnasperempuan.or.id Email : [email protected] ii Sekapur Sirih Dari berbagai proses baik dari hasil pemantauan, mendengar suara korban, konsultasi dengan berbagai stakeholders dari lembaga pengada layanan, parlemen, Aparat Penegak Hukum (APH) Penegak Hukum (PH) serta pemerintah di tingkat nasional maupun berbagai wilayah, Komnas Perempuan mendapat sejumlah temuan menarik yang berkembang setelah 4 tahun dipublikasikannya buku referensi ini, baik pola kasus, inisiatif dan intervensi yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan berbagai elemen tersebut yang penting untuk dicerna bagi para hakim dan PH lainnya. Beberapa catatan penting antara lain, jumlah gugat cerai dari perem- puan, membumbung nyaris merata di berbagai wilayah, antara tiga hingga tujuh kali lipat dibanding talak dari suami. Analisis terhadap fenomena ini bertaburan. Fenomena di Tasikmalaya, ada yang menghu- bungkan dengan program sertifikasi guru yang membuat mereka mendadak lebih “berada” yang memicu perselingkuhan. Apabila guru tersebut perempuan, kemapanan ekonomis mengkondisikan mereka untuk bisa berkeputusan atas lanjut tidaknya perkawinannya. Begitupula di Gunung Kidul ada yang menilai, fenomena migrasi, dimana para perempuan migran semakin berdaya, lebih memilih menyudahi relasi perkawinan yang tidak sesuai harapan. Sejumlah wilayah pertambangan, karena kekayaan yang diterima lebih cepat dari kesiapan mengkonsoli- dasi institusi keluarga, membuat suami kesulitan kendalikan komitmen. Juga dinamika politik lokal yang mengkondisikan orang bertabur mate- ri, kerentanan dengan kehadiran pihak ketiga maupun over power suami, membuat perempuan memilih bisa “bernafas” dari kepengapan perka- winan. Belum lagi canggihnya IT, sosial media, yang menyisakan kega- mangan dan menjadikan ruang privat semakin kabur, dan berakhir de- ngan tercabiknya perkawinan. Artinya banyak aspek yang membuat institusi perkawinan yang menjadi mimpi banyak pihak menjadi surga, rupanya justru sebaliknya, menjadi terjangan ribuan kasus ke Pengadilan Agama. iii Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Catatan Komnas Perempuan selama lima tahun, lebih dari 95 persen kasus KDRT adalah terhadap isteri. Data 10 tahun terakhir, 70 persen pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang dekat dalam relasi privat dan domestik. Artinya institusi domestik yang dulunya menjadi bunker privacy yang tak tertembus, rupanya membekam banyak kasus kekerasan. Tahun 2004 dengan lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah gong penting, di mana kekerasan atas nama apapun di balik pagar rumah, tidak bisa ditolerir dan negara harus hadir untuk menuntaskannya. Delapan tahun sudah UU PKDRT hadir, tetapi seberapa jauh penyiapan sistemnya sudah berjalan? Lembaga layanan untuk korban rata-rata hanya ada satu di setiap kabupaten, training untuk para hakim agar berkeadilan gender juga banyak digeser untuk training anti korupsi, narkoba di kalangan APH. Kalau toh ada soal perempuan, isu trafickinglah yang menjadi mercusuar program di berbagai wilayah, hingga potensial menggeser isu perempuan yang lain. Catatan penting lainnya untuk para hakim agama, paska otonomi daerah, hasil pantauan Komnas Perempuan, hingga Agustus 2012 terdapat 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Kebijakan ini berlomba warnai mindset publik di daerah maupun keputusan-keputusan publik lainnya. Sehingga instrumen HAM seperti The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Cedaw), bahkan konstitusi juga semakin redup dianut. Paralel dengan perkembangan tersebut, kita saksikan menggeliatnya religiousitas masyarakat Indonesia, tak terkecuali di kalangan para APH yang titik tertentu bisa mempengaruhi keputusan hukum dan penghukuman. Persoalan yang perlu dicermati, Komnas Perempuan tidak menyoal aspek keimanannya, tetapi khawatirkan meluruhkan imparsialitas para APH, tidak memijak konstitusi atau memutuskan perkara dengan bias pandangan yang tidak adil gender dengan mengatasnamakan agama. Seluruh dinamika di atas, mendorong Hakim Pengadilan Agama semakin tertantang untuk menyelesaikan persoalan yang semakin kompleks. Hakim harus faham konstitusi dan hak asasi, serta juga iv penting punya pemahaman keagamaan yang berkeadilan, khususnya terkait hak-hak perempuan. Contoh kasus yang menuntut perpektif dan tindak sensitif hakim, misalnya, banyak asumsi bahwa relasi seksual di luar perkawinan yang sah, adalah masuk dalam keranjang perzinahan. Solusinya, cenderung menikahkan antara keduanya. Ironisnya, kasus perkosaan sering dijawab dengan solusi yang sama, yaitu menikahkan korban dengan pelaku. Tantangan lain, putusan MK tentang hak keperdataan anak atas ayah biologisnya, juga menjadi PR tersendiri untuk pelaksanaannya. Belum lagi sederet isu hak waris perempuan yang masih setengah dibanding laki-laki. Padahal perempuan banyak yang sudah menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah utama. data dari Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), jumlah perempuan menjadi kepala keluarga di Indonesia semakin membubung. Artinya elan vital di balik pembagian waris karena peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama, kembali ditantang secara induktif. PR lainnya, Konvensi Penyandang disabilitas yang diratifikasi Indonesia juga menuntut perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mencerabut martabat perempuan disabilitas, karena alasan kondisi kecacatan isteri, bisa memperbolehkan suami menceraikan atau menikah lagi. Undang-undang ini juga masih melanggengkan ketidaksetaraan posisi peran suami dan istri dalam perkawinan, termasuk hakim peradilan agama belum sepenuhnya menggunakan dalil delik-delik rumusan dalam UU PKDRT, yang menjadi penyebab perempuan korban mengalami reviktimisasi selama proses persidangan dan bahkan berlanjut putusan yang tidak mempertimbangkan suara korban. Persoalan krusial lain bagi hakim, tantangan dari para transgender yang ingin menunjukkan keimanannya dengan menikah sah di pengadilan agama. Mereka menghadapi dilema, berrelasi seksual di luar perkawinan dituduh zina, tetapi meminta diinstitusikan oleh negara, juga bentuk tantangan lebih jauh yang perlu jawaban, karena ini nyata di depan mata. Tantangan persoalan di aras yang berbeda, yang melenting juga perkembangan instrumen HAM internasional yang melesat cepat, seperti mewakili peradaban dan keberadaban. Konvensi dan Kovenan v Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga tentang HAM adalah konsensus dan komitmen global di mana negara- negara Islam juga terlibat dalam merumuskan dan memutuskan. Indonesia termasuk negara yang lahab dan beradab untuk berkomitmen menjalankan norma-norma universal tersebut, seluruh Kovenan dan Konvensi sudah diratifikasi, kecuali konvensi untuk penghilangan paksa. Artinya, perlu harmonisasi perundang-undangan, pematangan perspektif bagi penyelenggaranya dan menyuburkan kesadaran warga bangsanya. APH adalah kunci sebagai penjembatan dan penerjemah untuk mengayomi manusia, khususnya perempuan. Hasil rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) 2012 maupun Concluding Comment Komite CEDAW untuk Indonesia, menegaskan pentingnya pelatihan untuk APH. Komnas Perempuan dengan buku ini, bentuk upaya kongkrit untuk mendekatkan para hakim agama pada pemahaman utuh atas persoalan perempuan dengan perspektif HAM dan gender, dengan detail isu-isu krusial yang sering menjadi kontroversi untuk mengkayakan hakim. Buku ini hadir untuk menyelip di antara rongga persoalan di atas, dan menyalib berkejaran dengan waktu agar perempuan-perempuan korban kekerasan yang diolah Komnas Perempuan hingga minimum 120 ribu setiap tahun tersebut, jelas nasibnya. Pemutakhiran data ini diharapkan dapat menjadi bahan Hakim dalam membuat terobosan hukum akibat diskriminasi gender yang selalu dialami perempuan dalam perkawinannya. Kalau toh tak berkesempatan mendapat layanan dukungan psikologis, hukum maupun dukungan keberdayaan lain, setidaknya perempuan korban punya tuas penyelamat melalui tangan para hakim akan konteks yang terus melaju, sementara dasar hukumnya jalan di tempat. Karya ini belum sempurna, diharap menjadi buku bertumbuh yang responsif dan konstekstual. Pengerjaan buku ini diolah oleh Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan dengan ketua ibu Kunthi Tridewiyanti, tim komisioner ibu Ninik Rahayu dan ibu Tumbu Saraswati, tim penulis yaitu: Bapak Faqihuddin Abdul Kodir, Ibu Ummu Azizah Mukarnawati, dan tim diskusi antara lain: Ibu Deliana Sayuti Ismudjoko, Bapak Husain Muhammad, Sdri. Tety Kuswandari, Sdr. Ismail Hasani, Sdri. Azriana, vi Sdri. Husna Mulya, Herlyna Hutagalung, Ema Mukarramah, Asma’ul Khusnaeny, Josephine F. Ditta Wisnu, dan rekan-rekan lain yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu yang telah berperan di dalam proses revisi buku referensi edisi kedua ini. Buku ini semoga menjadi jendela wacana dan pintu untuk menyelamatkan perempuan dengan bersiteguh pada keadilan. Jakarta, 22 November 2012 Yuniyanti Chuzaifah Ketua vii Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Sambutan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama Syukur alhamdulillah bahwa Komnas Perempuan akan menerbitkan lagi buku yang akan menjadi referensi bagi para Hakim Peradilan Agama. Komnas Perempuan bahkan telah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dengan melibatkan para Hakim Peradilan Agama. Hal-hal di atas amat bermanfaat untuk menghilangkan kesan bahwa Peradilan Agama sama sekali tidak berkompeten soal UU PKDRT karena merupakan ranah pidana. Kepada setiap Hakim Peradilan Agama diharapkan benar-benar memahami isi buku referensi ini dan berpartisipasi pada setiap pelatihan menyangkut KDRT. Para hakim harus mempertimbangkan pasal-pasal UU PKDRT yang menuntut perlindungan bagi kalangan perempuan dan tidak lagi memandang bahwa UU PKDRT sepenuhnya adalah ranah pidana. Segenap jajaran Peradilan Agama berbangga bahwa Komnas Perempuan telah melihat Peradilan Agama sebagai power yang dapat melakukan perlindungan dalam soal kekerasan dalam rumah tangga dan tidak lagi memandang Hakim Peradilan Agama sebagai Hakim Nikah, Talak, Rujuk (NTR) yang tidak sanggup berbuat apa-apa. Semoga partisipasi para Hakim Peradilan Agama dalam mendukung upaya Komnas Perempuan akan membawa arti yang besar bagi perlin- dungan dan pembebasan kaum perempuan dari segenap kekerasan dan diskriminasi. Jakarta, 13 November 2012 Ketua Muda MARI Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. viii
Description: