ebook img

PETUGAS PERTAPAAN PADA MASA BALI KUNO BERDASARKAN PRASASTI ABAD KE-9 PDF

12 Pages·2017·0.68 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview PETUGAS PERTAPAAN PADA MASA BALI KUNO BERDASARKAN PRASASTI ABAD KE-9

PETUGAS PERTAPAAN PADA MASA BALI KUNO BERDASARKAN PRASASTI ABAD KE-9 SAMPAI 12 MASEHI Hermitage Custodian in Ancient Bali Period from 9th to 12th Century Based on Inscription Ni Made Dewi Wahyuni Alumni Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Jl. Pulau Nias No. 13, Denpasar 80114 Email: [email protected] Naskah diterima: 04-08-2015; direvisi: 22-09-2015; disetujui: 22-03-2016 Abstract Inscription is one of written sources about religious life of people in the past. In the inscription from ancient Bali period between the 9th to 12th century AD, it was mentioned the term ‘hermitage’ which used to build self spirituality. This research aims to know what hermitage servants are and their roles based on ancient Bali inscription in 9th to 12th century. The data, both primary and secondary, were collected through literature study. The result is inscription data from 9 to 12th century and artifact evidences in the form of hermitage building. Based on that data it is know that hermitage servants at the time is called ‘samgat wilang patapan’ and ‘samgat tapa haji’, who was responsible to build hermitage, collect tax, maintain and care for the hermitage. Keywords: old bali, hermitage, servants, role. Abstrak Prasasti merupakan salah satu sumber tertulis mengenai kehidupan religius masyarakat masa lalu. Pada prasasti masa Bali Kuno abad ke-9 sampai 12 Masehi terdapat penyebutan pertapaan, yang dimanfaatkan untuk membina spiritualitas diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui petugas pertapaan dan perannya berdasarkan prasasti Bali Kuno abad ke-9 sampai 12 Masehi, yang data-datanya baik primer maupun sekunder, diperoleh melalui studi pustaka. Hasil penelitian ini berupa data-data prasasti abad ke-9 sampai 12 Masehi, dan bukti-bukti artefaktual berupa bangunan pertapaan pada masa tersebut. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa petugas pertapaan pada masa itu disebut sebagai samgat wilang patapan dan samgat tapa haji, yang bertugas membangun pertapaan, pemungut/pengumpul pajak, menjaga, dan merawat bangunan pertapaan. Kata kunci: bali kuno, pertapaan, petugas, peran. PENDAHULUAN kekuatan kosmos yang diberi nama sebagai Prasasti adalah suatu putusan resmi, pribadi-pribadi, baik yang dikenal sebagai nama tertulis di atas batu atau logam, dirumuskan dewa-dewa Hindu maupun kekuatan-kekuatan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, yang semesta lain yang tampaknya mengacu kepada memuat keterangan berupa anugerah dan hak kepercayaan setempat, baik makhluk halus yang dikaruniakan dengan beberapa upacara maupun arwah nenek moyang. Keterangan ini (Bakker 1972, 10). Prasasti sebagai salah satu sebagai saksi dan sekaligus diharapkan akan sumber sejarah yang di antaranya memuat juga memberi kutukan atau hukuman kepada siapa perkembangan religi di Bali. Dalam aspek saja yang melanggar ketentuan dalam prasasti religi, prasasti biasanya menyebutkan tentang tersebut (Setiawan 2008, 53). Masyarakat Petugas Pertapaan pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Prasasti Abad ke-9 sampai 12 Masehi 33 Ni Made Dewi wahyuni masa lalu dengan kepercayaan yang dianutnya cenderung berusaha untuk mengungkapkan dan menghadirkan berbagai simbol untuk memperkuat keyakinan atas kepercayaannya agar kekuatan semesta yang berasal dari dewa- dewa, makhluk halus, ataupun arwah nenek moyang yang dipercayai tersebut memiliki sthana. Hal ini dipercaya dapat memberikan keselamatan, ketenteraman, dan kesejahteraan bagi masyarakat pendukungnya. Konsepsi inilah yang menyebabkan timbulnya sifat sakral bagi sebagian besar bangunan peninggalan masa lalu. Bangunan peninggalan masa lalu di Bali Gambar 1. Ceruk di Goa Garbha. sebagian besar merupakan living monument. (Sumber: Dokumen Pribadi) Kepercayaan Hindu yang tumbuh dan berkembang di Bali semakin memperkokoh 16 prasasti dari abad ke-9 sampai 12 Masehi eksistensi bangunan peninggalan tersebut. di Bali yang menyebutkan tentang pertapaan. Bangunan peninggalan masa lalu yang Penyebutan pertapaan di Bali tidak selalu ditemukan di Bali diantaranya yakni candi sama dalam setiap prasasti tersebut. Pertapaan (prasada), pura, goa dan ceruk pertapaan. merupakan tempat untuk mengasingkan diri Bangunan candi misalnya Candi Gunung di tempat sepi untuk beberapa lama hingga Kawi, Candi Kerobokan, Candi Pegulingan, tercapainya tujuan yang diinginkan oleh para dan Candi Buddha Kalibukbuk. Goa atau petapa. Prasasti seringkali menyebutkan ceruk pertapaan misalnya ceruk pertapaan para pendeta yang bertugas pada suatu di Candi Gunung Kawi, serta goa dan ceruk daerah pertapaan, misalnya saja pendeta di pertapaan di Goa Gajah. Penelitian ini terkait Antakunjarapada, tempat yang dimaksud yakni pada petugas pertapaan yang disebutkan pada di Goa Gajah. Organisasi keagamaan di tingkat prasasti-prasasti di Bali, sebelumnya perlu pertapaan yang dimuat di dalam prasasti yang dijelaskan secara singkat mengenai pertapaan dikeluarkan oleh raja mengindikasikan adanya terlebih dahulu. Secara umum pertapaan kemungkinan pengaturan oleh pemerintah merupakan tempat untuk bertapa. Bangunan pusat. Bangunan pertapaan biasanya merupakan pertapaan tersebut cukup menarik untuk tempat tinggal para wiku yang ditugaskan oleh dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat raja atau yang mengundurkan diri dari keramaian memberikan gambaran mengenai sejarah dan tinggal menjadi petapa (Munandar et al. kehidupan masa lalu mengingat keberadaannya 2012, 76-77). Pelaksanaan kehidupan bertapa yang berdekatan dengan bangunan-bangunan pada tahapan kehidupan dibuktikan dengan arkeologis dan tidak jarang juga termuat dalam terbacanya bangunĕn partapānan, wangunan peninggalan prasasti yang ditemukan. Prasasti partapanān, patapān, patapānan dan katyagan pada masa Bali Kuno seringkali menyebutkan dalam beberapa prasasti. Sebagai contoh dalam selain pendeta istana yang tinggal di pusat prasasti bernomor 001 Sukawana A1 tahun 804 pemerintahan, ada pula pemuka agama yang Śaka (882 Masehi) menyebutkan “...bangunĕn tinggal jauh dari keramaian, yaitu di lingkungan partapānan satra di katahan buru,...”, menurut pertapaan-pertapaan (gambar 1). para ahli epigrafi pertapaan tersebut terletak Pertapaan sebagai bangunan suci yang di Bukit Kintamani. Selain dibuktikan dengan sangat berperan pada masa lalu dapat dilihat partapānan dan patapānan dalam prasasti, dari kutipan-kutipan di dalam prasasti. Terdapat juga ditemukannya tinggalan arkeologis berupa 34 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 1, April 2016 (33-44) ceruk-ceruk pertapaan yang banyak tersebar tebing-tebing sungai yang dilandasi adanya di sepanjang Sungai Pakerisan dan Petanu konsepsi tirtha. (2) Penelitian berupa skripsi (Setiawan 2008, 55-56). yang ditulis oleh Ni Wayan Sudiani tahun 1996 Penyebutan daerah pertapaan dalam yang berjudul “Tipe Ceruk pada Kompleks prasasti seringkali diikuti dengan penyebutan Candi Gunung Kawi Gianyar (Suatu Kajian petugas pada pertapaan tersebut. Berdasarkan Arsitektur)” membahas mengenai bentuk- latar belakang tersebut, permasalahan yang bentuk ceruk pertapaan yang terdapat di muncul dalam penelitian ini adalah bagaimana kompleks Candi Gunung Kawi Gianyar. (3) Ida penyebutan petugas di pertapaan dan apa Bagus Weda Mahendra (1984) dalam skripsinya tugasnya di pertapaan tersebut. Oleh karena yang berjudul “Kedudukan dan peranan tokoh itu, penelitian ini bertujuan untuk memecahkan agama pada Abad ke-9 sampai 11 di Bali”, kedua permasalahan yang telah dirumuskan membahas tentang kedudukan serta peranan sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga tokoh agama sejak zaman pemerintahan Raja bertujuan untuk menelusuri secara mendalam Sri Kesari Warmadewa hingga Raja Anak mengenai proses-proses budaya dan tata cara Wungsu. (4) Artikel yang ditulis oleh I Gusti kehidupan masyarakat yang terjadi pada masa Made Suarbhawa dalam Forum Arkeologi Seri lampau terutama yang dibahas di dalam prasasti Penerbitan No. II Oktober 2007 membahas dan juga untuk memahami dan merekonstruksi mengenai Patapan Langgaran yang terdapat kehidupan religi masyarakat Bali Kuno yang di dalam Prasasti Langgahan yang ditemukan dicerminkan melalui bangunan peninggalan di Kintamani, Bangli. Prasasti ini dikeluarkan berupa pertapaan. Penelitian ini diharapkan oleh raja Bali Kuno terakhir yakni Paduka Srĭ mampu mengungkapkan sejarah pertapaan Astāsura Ratnabhumibanten pada tahun 1259 yang ada di Bali, agar dapat menjadi acuan Śaka, menyebutkan tentang istilah Patapan berpikir serta bertingkah laku bagi masyarakat Langgaran yang menguraikan batas-batas masa kini serta memberikan informasi penting pertapaan yang ditulis secara lengkap dan terkait pertapaan berdasarkan prasasti pada rinci beserta hubungannya dengan daerah di masa Bali Kuno kepada pemerintah, instansi- sekitarnya. Perbedaan penelitian ini dengan instansi terkait, masyarakat Bali khususnya ketiga penelitian sejenis sebelumnya yakni dan masyarakat Indonesia pada umumnya. penelitian sebelumnya hanya membahas Selain itu diharapkan juga agar hasil penelitian mengenai bentuk-bentuk pertapaan di ini dapat merangsang tindakan pelestarian sepanjang Sungai Pakerisan beserta konsep terhadap objek pada penelitian ini khususnya dasar pembangunannya, bentuk pertapaan yang dan peninggalan arkeologi yang ada di Bali mengkhusus di Gunung Kawi, tokoh-tokoh pada umumnya. agama yang berperan pada abad ke-9 sampai 12 Berdasarkan tinjauan beberapa pustaka Masehi di Bali serta batas dan fungsi pertapaan yang erat kaitannya dengan penelitian ini di salah satu lokasi, sedangkan penelitian ini yaitu: (1) hasil penelitian berupa skripsi yang memiliki fokus pada petugas-petugas yang ditulis oleh A.A. Gede Bagus tahun 1986 yang bertugas di pertapaan berdasarkan informasi berjudul “Beberapa Pertapaan di Sepanjang yang didapatkan pada prasasti-prasasti yang Sungai Pakerisan di Kabupaten Gianyar” terbit pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. membahas mengenai bentuk pertapaan, yakni Penelitian ini merupakan pengembangan dari berbentuk goa, berbentuk serambi dengan skripsi Ni Made Dewi Wahyuni (2015) yang tiang, menyerupai bentuk rumah, dan berbentuk berjudul Pertapaan Pada Masa Bali Kuno Abad rumah, serta landasan konsepsi masyarakat ke-9 sampai 12 Masehi. Bali Kuno untuk membuat pertapaan pada Petugas Pertapaan pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Prasasti Abad ke-9 sampai 12 Masehi 35 Ni Made Dewi wahyuni METODE HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian yang akan dilakukan Birokrasi Pemerintahan tidak langsung pada lokasi prasasti tersebut Penggolongan tugas bagi seseorang berada, karena pada penelitian ini secara garis seringkali dikaitkan dengan jabatan yang telah besar mengunakan data hasil dari transliterasi disandangnya. Pembicaraan mengenai jabatan sebuah prasasti yang sudah dirangkum dan erat hubungannya dengan struktur pemerintahan diterbitkan oleh para peneliti sebelumnya. Studi dan birokrasi yang sedang berjalan. Pada zaman kepustakaan dilakukan untuk memperoleh serta Bali Kuno struktur pemerintahan terdiri atas mengumpulkan data primer dan data sekunder. jabatan-jabatan tingkat pusat, tingkat menengah Data Primer merupakan data utama yang dan tingkat bawah (Astra 1977, 145). Pada ditemukan di lapangan sesuai dengan objek masa Bali Kuno, petugas pertapaan termasuk penelitian yakni berupa bukti-bukti artefaktual ke dalam struktur birokrasi yang di dalamnya bangunan pertapaan termasuk hasil wawancara. telah memiliki hierarki, dengan nama seperti Data Sekunder merupakan data penunjang senāpati, samgat, dan dang ācāryya. Secara yang digunakan untuk mendukung pemecahan umum, jabatan samgat ini termasuk ke dalam permasalahan dalam penelitian. Data sekunder jabatan pemerintah pusat. Tingkatan dalam dalam penelitian ini berupa prasasti-prasasti struktur pemerintah pusat ini dapat diuraikan pada abad ke-9 sampai 12 Masehi di Bali yang sebagai berikut: memuat informasi tentang pertapaan dan telah Pada posisi pertama diduduki oleh dialih aksara ke dalam bentuk buku, jurnal, dan raja yang merupakan pemegang kekuasaan pustaka lainnya. tertinggi dalam suatu negara. Selain raja Teknik pengumpulan data dilakukan juga ada beberapa kerabat dekat raja seperti melalui pengamatan langsung di situs- sanak saudara beliau dan didukung oleh para situs bangunan pertapaan, wawancara, dan pendeta. Lapisan kedua diduduki oleh para studi kepustakaan. Pengamatan langsung di bangsawan yang terdiri atas orang-orang ahli lapangan disertai dengan kegiatan pencatatan, dalam pemerintahan, tata negara, hukum, dan penggambaran, dan pemotretan terhadap objek keprajuritan. Orang-orang tersebut bergelar yang berkaitan dengan fokus penelitian yaitu senāpati dan samgat. Pejabat-pejabat tersebut pertapaan. Wawancara dilaksanakan melalui bernaung dalam suatu lembaga yang disebut metode wawancara tanpa struktur dengan panglapuan, pasakmasan, palapknan, dan pertanyaan-pertanyaan yang dipusatkan pada samohanda. Kemudian, sejak Raja Udayana permasalahan penelitian (Koentjaraningrat berkuasa lembaga itu disebut “pakira-kiran 1983a, 162-194). Wawancara dilakukan i jro makabehan”. Pada zaman berikutnya terhadap beberapa ahli prasasti dan tokoh kedudukan para pendeta (dang acaryya) baik masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pendeta Siwa maupun Buddha, berada atau mengenai prasasti-prasasti terkait. Analisis data menduduki lapisan kedua ini disamping lapisan merupakan proses pelacakan dan pengaturan kekuasaan pertama. Sehingga lembaga tersebut secara sistematis hasil wawancara, dari pada zaman itu beranggotakan para senāpati, observasi, dan bahan-bahan lain sehingga samgat, dan dang ācāryya. Lapisan ketiga peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis diduduki oleh para pegawai kerajaan. Mereka dilakukan secara kualitatif, melalui penjelasan diberikan gaji oleh raja dan bertanggungjawab dalam bentuk kata-kata yang tersusun dalam kepada para pejabat yang menduduki jabatan teks yang diperluas disertai eksplanasi di pakira-kiran i jro makabehan atau langsung mengenai hubungan antara teks prasasti dengan kepada raja. Ruang lingkup kekuasaannya objek penelitian, kemudian diakhiri dengan hanya mencakup salah satu bidang tertentu penyimpulan. dalam kehidupan masyarakat. Pegawai tersebut 36 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 1, April 2016 (33-44) antara lain yaitu caksu, nayaka, pasukganti, Pada masa selanjutnya jabatan kelompok pamudi, banjar, panulisan, dan manuratang, samgat berkembang juga pada pemerintah juru gosali, mabwathaji, kabayan, hulu, tingkat daerah. Jabatan pemerintah tingkat adhikara, tuha, ser, dan pakaser. Lapisan daerah merupakan jabatan yang pejabatnya keempat diduduki oleh para rama atau kepala berwenang dalam urusan suatu persoalan yang desa. Ruang lingkup kekuasaanya hanya sebatas menyangkut wilayah lebih dari satu desa atau wilayah desanya atau wanua/banua. Lapisan dapat juga mengatur suatu pemerintahan tingkat ini difungsikan sebagai lapisan perantara, yakni desa. Sebagian besar dari pejabat-pejabat antara ketiga lapisan sebelumnya dengan rakyat yang disebutkan dalam prasasti Bali Kuno atau penduduk di desanya. Lapisan kelima abad ke-9 sampai 11 digolongkan ke dalam diduduki oleh para tukang, petani dan buruh kelompok ini. Pejabat-pejabat dalam kelompok tani, pada masa Bali Kuno disebut anak wanua ini bertanggungjawab langsung kepada taņda dan anak thani. Lapisan terbawah dan terakhir rakryan (senāpati) yang berkedudukan di pusat terdiri atas para budak yang disebut hulun. (Parwati 1990, 43-46). Para samgat menerima Kadangkala para hulun itu nilainya disamakan perintah raja yang disampaikan oleh senāpati. dengan benda mati dan dapat dipakai sebagai Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan para alat tukar atau alat beli, bahkan sebagai barang samgat sebagai kelompok penguasa dalam jaminan pengganti suatu benda (Astra 1997, bidang pemerintahan (the ruling class) berada 229-338). setingkat di bawah senāpati. Goris berpendapat Nama pejabat kerajaan banyak bahwa susunan jabatan-jabatan di bawah disebutkan dalam prasasti-prasasti pada masa senāpati pada masa Bali Kuno secara hierarkis Bali Kuno misalnya nayaka, samgat, senapāti, dari atas ke bawah terdiri atas (1) samgat, (2) dan lainnya. Mereka menduduki suatu jabatan ser, (3) nayaka, (4) caksu, (5) sahaya, (6) juru, dengan tugas tertentu pada suatu bidang atau (7) hulu, dan(8) tuha (Goris 1971, 24-25). wilayah tertentu pula. Pejabat-pejabat tersebut Golongan samgat ini pertama kali terbaca merupakan seperangkat fungsi pemerintahan dalam prasasti pada zaman Raja Tabanendra yang satu sama lain saling berhubungan secara (877 Śaka) disebutkan sebagai samgat juru struktural fungsional atas dasar-dasar tertentu mangjahit kajang. Setelah itu penggunaan demi tercapainya tujuan kerajaan. Salah satu jabatan samgat tidak lagi ditemukan, hingga jabatan pada masa Bali Kuno yang akan dibahas pada zaman Raja Udayana penyebutan samgat dalam penelitian ini adalah samgat. muncul kembali dengan golongan-golongan Samgat merupakan akronim dari kata tertentu. Penggolongan tertentu untuk sang pamgat yang berarti sang pemutus. Kata penyebutan samgat dilakukan berdasarkan pamgat berasal dari kata pgat yang perarti ranah keahliannya masing-masing. Contohnya putus (Astra 1977, 159). Kelompok samgat pada masa Raja Udayana disebutkan salah satu pada awalnya merupakan jabatan pemerintahan golongan yakni samgat mañuratang ajña yang di tingkat pusat. Jabatan tingkat pusat adalah berarti pejabat yang bertugas dalam bidang jabatan yang wewenang tugasnya meliputi tulis menulis di kerajaan atau dalam istilah seluruh wilayah kerajaan. Jabatan ini juga kekinian dikenal dengan nama kesekretariatan merupakan suatu badan penasihat pusat yang atau sekretaris. bertugas membantu raja dalam berbagai bidang pemerintahan. Jabatan tingkat pusat merupakan Petugas Pertapaan golongan pejabat yang berada di lapisan Berdasarkan 16 alih aksara teks prasasti kekuasaan kedua pada sistem pemerintahan ke-9 sampai 12 Masehi yang menyebutkan masa Bali Kuno (Parwati 1990, 30-42). tentang pertapaan (tabel 1), terdapat keterangan Petugas Pertapaan pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Prasasti Abad ke-9 sampai 12 Masehi 37 Ni Made Dewi wahyuni Tabel 1. Daftar prasasti yang dianalisis. Periode Nama Pertapaan yang Petugas Pertapaan No. No. Tahun Nama Prasasti (Nama Raja) disebutkan yang disebutkan 804 Śaka (882 partapanān satra di katahan 1 001 Sukawana A1 - - Masehi) buru 813 Śaka (901 2 003 Trunyan A1 - patapān songan - Masehi) Partapanān di hyang 3 005 Tanpa angka tahun Bangli, Pura Kehen - - karimama 839 Śaka (917 Partapanan dahulun bukit di 4 102 Babahan I Raja Ugrasena - Masehi) ptung 888 Śaka (966 5 - Serai AI Raja Ugrasena - - Masehi) 6 110 Tanpa angka tahun Gobleg, Pura Batur A Raja Ugrasena di partapanaᾔᾔa ditu - 897 Śaka (975 Raja Janasadu 7 209 Sembiran AII partapanan di dharmmakuta - Masehi) Warmadewa 915 Śaka (993 samgat tapa haji 8 302 Serai AII Raja Udayana - Masehi) giņangça 944 Śaka (1022 Samgat wilang 9 - Batuan Raja Marakata - Masehi) patapan 945 Śaka (1023 katyagan ing pakrisan 10 353b Tengkulak A Raja Marakata - Masehi) mangaran ringamarawati 995 Śaka (1073 Raja Anak 11 441 Sawan AII = Bila AII (terdapat kata patapān) - Masehi) Wungsu 12 - Tanpa angka tahun Manik Liu AII - (terdapat kata partapān) - 1040 Śaka (1118 13 - Tamblingan Pura Endek IV - (terdapat kata partapān) - Masehi) 14 642 Tanpa angka tahun Tengkulak E Raja Jayapangus (terdapat kata patapān) - 15 626 Tanpa angka tahun Daya Raja Jayapangus (terdapat kata partapānan) - 16 636C Tanpa angka tahun Bengkala Raja Jayapangus (terdapat kata patapān) - (Sumber: edit pribadi) pada dua prasasti yang menyebutkan tentang Samgat Tapa Haji jabatan petugas pada daerah pertapaan. Penyebutan petugas pertapaan dengan Hasil analisis bersifat sementara, karena sebutan samgat tapa haji ditemukan pada dapat berubah seiring dengan bertambahnya prasasti Serai AII yang dikeluarkan oleh Raja informasi dan cara pandang penulis pada Udayana dan berangka tahun 915Śaka (993 penelitian selanjutnya. Jabatan petugas pada Masehi). Adapun kutipan prasastinya sebagai daerah pertapaan berdasarkan analisis data berikut. prasasti adalah sebagai berikut. Va. 2. “lula tuha guņo, samgat tapa haji Data di atas menunjukkan bahwa giņangça, samgat mañuratang ājña katlu pertapaan memiliki kedudukan penting dalam mañjapara, dinākara surendra samgat kehidupan masyarakat Bali Kuno sehingga adhikāraņa kranta pamas, samgat seringkali keberadaan pertapaan dimuat dalam adhikā...” (Goris 1954a, 82-83). prasasti yang dikeluarkan oleh raja Bali Kuno Artinya, pada masa pemerintahannya. Berdasarkan tabel Va. 2. “(Ka)lula adalah Tuha Gano, samgat di atas hanya terdapat dua prasasti menyebutkan Tapahaji adalah Ginangsa, samgat juru petugas pertapaan. Prasasti lainnya yang tulis perintah raja jumlahnya tiga orang tercantum sebagai data di atas dianalisis untuk yaitu Manjapura, Dinakara, dan Surendra. mendapatkan informasi mengenai peran dan Samgat Adhikaranakranta adalah Pamas, tugas yang dilakukan oleh petugas pertapaan samgat Adhika...” (Ardika dan Beratha tersebut. 1996, 135). 38 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 1, April 2016 (33-44) Prasasti Serai AII menguraikan tentang nāyakanya, nguniweḥ yan krangan mu...” kewajiban-kewajiban yang dibayarkan oleh (Goris 1954a, 97) masyarakat di sekitar tempat perburuan raja yang Artinya, terlalu tinggi, kemudian masyarakat memohon IIb. 1) “Nayaka Saksi, dan Sawung Tanggur. kepada raja suami istri untuk menurunkan pajak Tidak dikenai pajak pembelian pada yang harus dibayarkan. Raja mengabulkan bulan Magha dihari kesembilan, pada permohonan masyarakat dan menganugrahkan kelima pertapaannya oleh Samgat tiap- prasasti agar dapat selalu dijaga dan ditaati. tiap pertapaan. Tetapi mereka memberi Salah satu saksi dalam penganugrahan prasasti 2) pajak pakuwuh 3 saga, puspusan tersebut adalah samgat tapa haji yang bernama 3 saga, pacaksu 3 saga setiap tahun, Ginangsa. Samgat tapa haji dapat diartikan tidak dikenakan pajak pabharu, pajak sebagai petugas yang bertanggungjawab atas pawaruga, tidak harus membawa atap tempat-tempat pertapaan raja. Daerah yang kepada Samgat Wilang Patapan. Jika dianugrahkan prasasti ini diperbolehkan untuk 3) ada yang memahat di pertapaan, adapun membangun pertapaan dan batas-batasnya pun jika penyanyi, pemain angklung, penabuh disesuaikan dengan daerah wilayah perburuan gamelan, peniup seruling, membayar raja. Samgat tapa haji dalam hal ini merupakan mas kepada pemimpinnya (Nayakan), pejabat kerajaan di tingkat pusat yang terutama suami istri...” (Ardika dan bertanggungjawab atas tempat pertapaan milik Beratha 1996, 64) raja. Samgat tapa haji dapat disebut sebagai Pada prasasti di atas disebutkan bahwa kepala dinas provinsi jika disetarakan dengan kewajiban-kewajiban yang dibayarkan oleh sistem pemerintahan pada masa kini, maka dari masyarakat sekitar pertapaan agar diserahkan itu dalam penganugrahan prasasti yang memuat kepada samgat wilang patapan. Berdasarkan hal tentang pembangunan pertapaan, pejabat ini tersebut, dapat diasumsikan bahwa pada masa dilibatkan sebagai saksi. pemerintahan Raja Marakata sudah terdapat beberapa bangunan pertapaan, kemudian Samgat Wilang Patapan ditugaskan seorang samgat pada setiap tempat Penyebutan petugas pertapaan dengan pertapaan tersebut, oleh karena itu untuk sebutan samgat wilang patapan ditemukan menyebutkan para samgat yang ditugaskan pada pada prasasti Batuan yang dikeluarkan oleh masing-masing tempat pertapaan digunakanlah Raja Marakata dan berangka tahun 944 Śaka istilah samgat wilang patapan. Berdasarkan (1022 Masehi). Adapun kutipan prasastinya analisis, kedudukan samgat wilang patapan sebagai berikut. dalam birokrasi pemerintahan kerajaan IIb. 1. “Nāyaka sakşi, mwang sawung Bali Kuno termasuk pada jabatan-jabatan tanggun, tan knana minta pamli, ring pemerintahan di tingkat daerah. Penggolongan magha mahānāwami, patapānya maka samgat yang tergabung dalam jabatan di limang patapan, tkap samgat wilang tingkat daerah adalah berdasarkan ranah patapan, tuhun maweha pa keahliannya masing-masing. Kemungkinan 2. kuwuh sā 3 puspusan sā 3 pacaksu sā samgat wilang patapan yang bertugas di tempat 3 angkĕn tahun juga ya, tan kna pabharu, pertapaan merupakan orang-orang suci yang pawaruga, tan pamwātakna tukuban i sekaligus memberikan pendidikan kerohanian samgat wilang patapan, yan ha di pertapaan sesuai dengan salah satu fungsi 3. na amahĕt ring patapan, kunang daerah pertapaan yakni sebagai asrama bagi yan hanāgaņḍing, aboñjing, amukul, para siswa yang mempelajari ilmu agama dan masuling, manngahana ya parmāsan i kerohanian pada masa Bali Kuno. Petugas Pertapaan pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Prasasti Abad ke-9 sampai 12 Masehi 39 Ni Made Dewi wahyuni Peran dan Tugas Petugas Pertapaan pada masa ini belum ditemukan. Selain Berdasarkan keterangan dari prasasti perintah kepada para pejabat untuk membangun dapat diuraikan mengenai peran dan tugas pertapaan pada bagian selanjutnya prasasti yang dilakukan oleh petugas pertapaan, seperti tersebut juga memuat tentang kewajiban dan membangun pertapaan, memungut pajak, dan aturan-aturan yang wajib dilaksanakan oleh menjaga dan merawat bangunan pertapaan. masyarakat yang dianugrahi prasasti. Data Berikut masing-masing penjelasan dan analisis mengenai tugas untuk melakukan pembangunan dari peran dan tugas tersebut. pertapaan juga disebutkan dalam prasasti Serai AI dan AII. Membangun Pertapaan Pembangunan bangunan suci menurut Tugas dari petugas pertapaan yang agama Hindu tidak sembarang dilakukan. dijumpai dalam prasasti adalah tugas untuk Terdapat konsepsi yang melandasi setiap membangun pertapaan. Seperti yang telah pembangunan bangunan suci, misalnya disinggung bahwa pembangunan tempat dibangun di daerah yang lebih tinggi atau di pertapaan dimuat dalam prasasti Sukawana AI daerah yang dekat dengan sumber air. Pada sekitar akhir abad ke-9 Masehi. Adapun kutipan masa lalu landasan pembuatan bangunan prasasti yang menyatakan pembangunan tempat suci bersumber pada kitab India Kuno yakni pertapaan sebagai berikut. Vatusastra (kitab tentang arsitektur) atau Ib. 2. “...cintamani mmal, tanyada husir yya Silpasastra (kitab pegangan Siplin). Bosch anak atar jalan katba kadahulu, tua hetu dalam Prajudi (1999, 35-37) berpendapat bahwa syuruhku senapāti danda kumpi marodaya percandian dan bangunan suci di Indonesia me bhikşu Śiwakangśita, Śiwanirmala, menggunakan kitab manasara silpasastra yang Śiwaprajna, bangunĕn partapanān satra berasal dari India Selatan karena memiliki di katahan buru, śimayangña hangga keidentikkan. Kitab ini berisikan patokan tingkad karuh, hangga puhpuhan kadya, pembuatan bangunan suci atau kuil, dan hangga rua kangin...”(Goris 1954a, 53) bangunan profan atau bentuk kota, desa, dan Artinya, benteng-benteng. Manasara mengungkapkan Ib. 2. “... Bukit Kintamani, tidak ada pembuatan bangunan suci sebaiknya didirikan pengungsi atau kelompok orang yang di dekat tirtha atau sumber air, baik di sungai, lalu lalang naik atau turun bukit, oleh terutama dekat pertemuan dua buah sungai, sebab itu perintahku kepada Senapati danau atau laut, bahkan apabila diperlukan danda Kumpi Marodaya dan Bhiksu harus dibuatkan kolam di halaman bangunan Siwakangsita, Siwanirmala, Siwaprajna suci atau diletakkan jambangan berisi air di agar membangun pertapaan di tempat dekat gerbang masuk. Selain itu tempat ideal peristirahatan di tempat perburuan untuk mendirikan bangunan suci adalah di dengan batas-batasnya, di sebelah barat daerah ksetra meliputi puncak bukit, di lereng Tingkad, di sebelah utara Puhpuhan, gunung, di hutan dan di lembah (Prajudi 1999, di sebelah timur jurang...” (Ardika dan 35-37). Beratha 1996, 42) Berdasarkan hal tersebut dan Pada prasasti Sukawana AI dijelaskan mengkaitkannya dengan penemuan bangunan bahwa raja melalui senapatinya memerintahkan suci khususnya bangunan pertapaan di Bali tiga orang bhiksu untuk membangun pertapaan yang cenderung ditemukan di daerah tebing- di tempat peristirahatan di sekitar daerah tebing sungai, kemungkinan landasan konsepsi perburuan raja. Adapun batas-batasnya telah yang digunakan untuk pembangunannya pada ditentukan secara pasti dalam prasasti tersebut. masa lalu juga berdasarkan kitab manasara Hanya saja untuk menentukan lokasi tersebut silpasastra. Selain itu faktor lain yang 40 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 1, April 2016 (33-44) melandasi pemikiran masyarakat Bali Kuna IIb. 1.“nāyaka sakşi, mwang sawung tanggun, untuk mendirikan bangunan pertapaan pada tan knana minta pamli, ring magha tebing sungai dan pada lereng gunung yakni mahānāwami, patapānya maka limang berdasarkan kepercayaan masyarakat Bali patapan, tkap samgat wilang patapan, bahwa tempat-tempat tersebut merupakan tuhun maweha pa tempat para dewa dan tenaga-tenaga gaib. 2. kuwuh sā 3 puspusan sā 3 pacaksu sā Tempat ini merupakan pertemuan antara 3 angkĕn tahun juga ya, tan kna pabharu, dunia manusia dengan dewa atau roh. pawaruga, tan pamwātakna tukuban i Pembuatan pertapaan di tempat ini dianggap samgat wilang patapan, yan ha tepat karena dianggap dapat menolak tenaga- 3.na amahĕt ring patapan, kunang tenaga berbahaya karena bertapa itu sendiri yan hanāgaņding, aboñjing, amukul, berhubungan dengan tenaga gaib (Kempers masuling, manngahana ya parmāsan i 1960, 5). Masyarakat Bali juga mempercayai nāyakanya, nguniweh yan krangan mu...” bahwa sering sekali gumpalan-gumpalan jurang (Goris 1954a, 97) yang luar biasa runtuh ke bawah akibat adanya Artinya, kejadian-kejadian aneh. Tempat runtuhan itu 1. “Nayaka Saksi, dan Sawung Tanggur. sangat tepat untuk memahatkan bangunan candi Tidak dikenai pajak pembelian pada maupun pertapaan (Kempers 1960, 39). bulan Magha pada hari kesembilan, pada kelima pertapaannya oleh Samgat Wilang Pemungut/Pengumpul Pajak Patapaan. Tetapi mereka memberi Pada zaman dulu pajak merupakan 2. pajak pakuwuh 3 saga, puspusan suatu pemberian yang bersifat sukarela, yang 3 saga, pacaksu 3 saga setiap tahun, diberikan oleh rakyat kepada rajanya. Pada tidak dikenakan pajak pabharu, pajak perkembangan selanjutnya pajak merupakan pawaruga, tidak harus membawa atap sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kepada Samgat Wilang Patapan. Jika rumah tangga kerajaan sehingga pajak pada 3. ada yang memahat di pertapaan, adapun masa kerajaan dimuat pada prasasti-prasasti jika penyanyi, pemain angklung, penabuh yang dikeluarkan raja. Besarnya pajak tidak lagi gamelan, peniup seruling, membayar bersifat sukarela melainkan menjadi pemberian mas kepada pemimpinnya (Nayakan), yang sifatnya dipaksakan dalam arti pemberian terutama suami istri...” (Ardika dan tersebut bersifat wajib, dan segala ketentuannya Beratha 1996, 64) ditetapkan oleh raja secara sepihak, besaran Prasasti tersebut memuat kewajiban- tersebut dimuat dalam prasasti sehingga pajak kewajiban masyarakat di sekitar pertapaan menjadi suatu kewajiban. untuk memberikan beberapa hal yang Identifikasi terhadap salah satu tugas telah ditentukan jumlahnya dalam prasasti. pejabat di daerah pertapaan sebagai pemungut/ Kewajiban-kewajiban tersebut diserahkan pengumpul pajak pada masa Bali Kuno kepada para samgat wilang patapan yang berdasarkan munculnya keterangan pada bertugas untuk mengumpulkan pajak-pajak Prasasti Batuan mengenai suatu pemberian yang diberikan oleh masyarakat untuk yang harus diberikan oleh masyarakat kepada disetorkan kepada raja. Berdasarkan hal ini pertapaan dan kewajiban-kewajiban yang harus ditemukan bahwa memungut/mengumpulkan dilakukan oleh masyarakat tersebut. Adapun pajak juga merupakan tugas dari pejabat yang kutipan prasasti Batuan 944 Śaka (1022 bertugas di pertapaan. Masehi) yang berkaitan dengan pemungutan/ pengumpulan pajak untuk pertapaan adalah Menjaga dan Merawat Bangunan Pertapaan sebagai berikut. Menjaga dan merawat bangunan Petugas Pertapaan pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Prasasti Abad ke-9 sampai 12 Masehi 41 Ni Made Dewi wahyuni pertapaan merupakan salah satu tugas dari Dharmmakuta, oleh karena mereka bisa pejabat yang bertugas di tempat pertapaan. melindungi pertapaan akhirnya raja Menjaga bangunan pertapaan tidak dilakukan memberikan hadiah. Hal itu ditetapkan...” sendiri oleh petugas pertapaan. Masyarakat (Ardika dan Beratha 1996, 120-121) di sekitar bangunan pertapaan juga wajib Berdasarkan data yang didapatkan pada melakukan perlindungan terhadap bangunan prasasti Sembiran AII disebutkan bahwa suci mereka (gambar 2). apabila ada perampok yang datang ke pertapaan Gambar 2. Ceruk di kompleks Candi Gunung Kawi. (Sumber: Dokumen Pribadi) Hal ini termuat dalam prasasti Sembiran di Dharmmakuta maka semua penduduk AII 897 Śaka (975 Masehi). Adapun kutipannya desa harus datang dengan membawa senjata adalah sebagai berikut: untuk melindungi daerah pertapaan tersebut. Va 5. “raptengĕnya, watu sakasamahangña Penjagaan terhadap bangunan pertapaan ulih to wanwa di julah yanada tarahan sudah menjadi kewajiban bagi penduduk desa, tumĕken twa partapanan di dharmmakuta, dan akan diberikan hadiah oleh raja atas jasa kapwa ta ya kasamagrin yang dilakukan. Dengan demikian peran serta 6. turun tangga saha sañjata, tulungĕn masyarakat di sekitar daerah pertapaan juga to patapan di dharmmakuta, apan sangat penting untuk menjaga, merawat, dan yaprasiddha, ryyuryyang sang ratu melindungi bangunan pertapaannya. dharmmadāyadya ditu, kilagiña..” (Goris Pertapaan memiliki peran penting dalam 1954a, 78) kehidupan masyarakat Bali Kuno karena dimuat Artinya, dalam prasasti yang merupakan suatu keputusan Va 5. ”efisien, batu disediakan oleh penduduk yang dikeluarkan oleh raja. Berdasarkan data desa di Julah. Jika ada perampok yang prasasti yang ditemukan selama ini, situs-situs datang di pertapaan di Dharmmakuta, pertapaan sudah mulai dibangun sejak abad ke-9 semua penduduk Masehi di Bali. Kehidupan religi masyarakat 6. harus datang dengan membawa Bali Kuno (khususnya Hindu) berhubungan senjata untuk membantu pertapaan di dengan kegiatan bertapa. Bagi seorang siswa 42 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 1, April 2016 (33-44)

Description:
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana .. gamelan, peniup seruling, membayar . disebut Dharma, untuk mencapai kebahagiaan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.