ebook img

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT ... PDF

133 Pages·2017·1.55 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT ...

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan buku pengantar sosiolinguistik ini, sebagai upaya membantu dan mempermudah mahasiswa dalam memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta, yang telah membantu dalam berbagai hal sehingga proses penyusunan buku ini dapat terwujud sesuai yang diharapkan. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan berbagai cara memandang dan memahami hakekat bahasa bagi seluruh dosen dan mahasiswa dalam rangka membangun keutuhan dan kedalaman pemahaman bahasa secara apa adanya, yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari dalam berbagai fungsinya yang berbeda. Dengan kata lain buku ini dapat menjadi referensi bagi dosen dan mahasiswa berkenaan dengan tugas-tugas kelinguistikannya dan hal-hal lain yang terkait dengan bahasa, masyarakat, dan analisisnya. Disamping itu buku ini juga dimaksudkan sebagai bekal dan pendorong bagi para mahasiswa agar mereka tidak ragu-ragu dalam analisis bahasa dan pemakaiannya terkait dengan “siapa berbicara kepada siapa dan kapan”. Kritik dan saran yang membangun penyempurnaan buku ini sangat diharapkan dari semua pihak. Semoga buku ini dapat memberi manfaat sesuai dengan yang diharapkan, Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Juli 2013 Penyusun Dr. Giyoto, M.Hum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teori linguistik berawal dan berakhir pada rumusan serta temuan yang semakin keluar dari penggunaan bahasa secara nyata dan konkrit. Apabila kita melihat beberapa pembahasan dan penelitian linguistik formal terdapat analisis-analisis yang memisahkan diri dari pemakaian bahasa secara konkrit dalam konteks sosial dan budaya, karena mendasarkan pada logika- logika relasi antarunsur internal bahasa itu sendiri, terlepas dari unsur di luar bahasa. Terdapat pola-pola yang diskrit yang hanya memfokuskan pada hubungan antarunsur dalam kalimat, paragraf ataupun kata dan frase, sehingga terdapat penilaian-penilaian terhadap tuturan yang salah atau ganjil (ill-formed) secara linguistik. Linguis formal melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai sesuatu yang dapat dilupakan dan tidak dapat dianalisis sehingga lebih banyak dihindari dengan berbagai alasan linguistik logis tertentu. Temuan-temuan studi linguistik formal dapat berupa abstraksi-abstraksi pemolaan atau pengkaidahan bahasa yang begitu tertutup dan formal, yang dianggap relatif tetap dan tunggal. Hasil pemolaan ini dinilai merupakan bentuk yang benar dan ideal. Apabila kita melihat pemakaian bahasa secara langsung dan nyata kita jarang menemukan pola-pola tuturan baku, tunggal, dan tetap (sebagai hasil abstraksi) yang dipakai dalam komunikasi nyata, walaupun memang ada. Keidealan dan kebenaran ini terkadang melupakan cara dan strategi penutur itu untuk menyampaikan makna. Terdapat makna-makna tertentu yang harus diungkapkan dengan bentuk tuturan tertentu yang mungkin dinilai tidak benar dan tidak ideal, tetapi sebetulnya dengan cara itulah makna sosial dan kultural penutur itu dibahasakan, sehingga akan mendapatkan respon yang benar dan bermakna dari lawan bicaranya. Abstraksi-abatraksi ini sering melupakan hakekat yang sebenarnya mengenai bahasa dan melupakan bentuk sumber asli dari bahasa itu sendiri, yakni bentuk-bentuk ujaran yang secara nyata dipakai dalam berinteraksi dan menyampaikan makna-makna sosial dan kultural. Penutur atau tuturan, dalam 1 interaksi, tidak dapat terlepas dari masuknya unsur-unsur sosial dan kultural yang berlaku. Hal ini dilakukan penutur untuk mendapatkan keberterimaan dan penghormatan secara personal sehingga interaksi berjalan dengan prinsip kerjasama yang cukup dan layak. Pemakaian bahasa secara nyata memiliki strategi yang relatif berbeda dengan bahasa-bahasa formal yang ada pada abstraksi-abstraksi formal kebahasaan. Sanggahan-sanggahan terhadap pemolaan dari abstraksi di atas muncul dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolinguistik, pragmatik, dan psikolinguistik atau lainnya seperti analisis wacana, dan etnolinguistik. Dalam kaitannya dengan variasi di atas, karena masuknya makna sosial dan kultural, diperlukan adanya pembahasan aspek sosiolinguitik dari sudut pandang latar belakang jenis kelamin yang memunculkan tuturan dan organisasi tuturan berdasarkan peran sosial dan budaya yang diemban oleh kedua jenis kelamin tersebut. Melihat variasi ujaran yang dipengaruhi oleh latar belakang penutur, sosiolinguis, bahkan linguis formal, mendapatkan kesulitan dalam mengukur keidealan penutur dan keidealan masyarakat bahasa, karena sebetulnya sosiolinguis merasa bahwa mereka mendapat kesulitan dalam menemukan, dan bahkan belum pernah ada, penutur ideal dalam masyarakat bahasa ideal yang begitu abstrak dan bervariasi standarnya. Pemolaan bahasa semestinya selalu berkembang sesuai dengan kelebatan hubungan antara bahasa, pemakaian, dan pemakainya; dan tidak ada pola yang tetap dan tunggal sebagaimana dikatakan bahwa ada satu-satu korespondensi antara bentuk dan makna (Bloomfield, 1935). Terdapat berbagai tuturan yang benar-benar sama tetapi memiliki makna yang berbeda karena dipakai oleh orang, konteks, tujuan, dan waktu yang berbeda. Kelenturan dan kepekaan pemakaian bahasa dapat diukur secara lebih akurat ketika melekat pada konteks dan situasi yang memunculkan. Situasi merupakan pemicu bentuk ujuran, pemilihan diksi, dan susunan ide yang kemudian disesuaikan dengan konteks budaya yang sedang dijunjung oleh komunitas bahasa tertentu. Pemakaian bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang penutur dan peran dalam situasi tuturan. Makna suatu tuturan itu dapat diterima secara 2 bermakna dan interaksi tuturan itu dapat berlangsung secara kooperatif apabila petutur dan petutur telah memahami latar belakang masing-masing dan situasi tuturan itu. Terdapat berbagai konflik yang muncul dalam berbahasa yang disebabkan oleh lepasnya pemahaman terhadap latar belakang penutur dan situasi tuturan, atau sering disebut dengan istilah “salah paham”. Konteks budaya dan situasi tuturan sangat menentukan pemilihan susunan dan pemilihan bentuk bahasa untuk menyampaikan makna peran sosial dan budaya. Hilangnya makna-makna tertentu, seperti kedekatan, ketidakformalan menyebabkan beberapa hasil abstraksi pengkaidahan pada linguitik murni tidak berterima atau ganjil bagi penutur jati pada konteks dan situasi tertentu, karena penutur dalam hal ini, harus menemukan dan memakai secara instan bentuk dan susunan tertentu berdasarkan makna-makna tersebut. Penutur memakai dan mengorganisasi tuturan secara instan dan terkadang keluar tanpa kesadaran penuh mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan bagaimana ide itu seharusnya disusun secara formal. Pengetahuan penutur dan petutur sangat menentukan jenis, susunan, pemilihan bentuk tuturan karena terikat oleh makna yang akan dicapai oleh keduanya. Pengetahuan ini juga mempengaruhi tingkat toleransi dan keakaraban penutur dan petutur, yang akhirnya turut mempengaruhi keakuratan dan kedalaman makna tuturan yang mereka hasilkan. Bahasa tidak dapat terlepaskan dari aspek interaksi social, karena bahasa adalah alat sosial dan isi dari makna-makna sosial itu sendiri, bukan sekedar ide tuturan dan pertukaran ide secara literal. Makna suatu interaksi ditentukan oleh berbagai variabel yang melekat pada tuturan baik dari aspek pemakai, tuturan, tujuan, maupun situasi tempat interaksi itu berlangsung. Terdapat berbagai jenis tuturan yang tergantung pada tuntutan keformalan situasi, tujuan, dan tata tutur berinteraksi. Keformalan ini menyangkut properti kode komunikasi/tuturan yang dipakai dan latar sosial (Baugh dan Sherzer,1984:212). Rubin (dalam Baugh dan Sherzer, 1984:212) menyampaikan bahwa keformalan diukur dengan tingkat keintiman dan keseriusan. Latar sosial yang formal menurut Ervin-Tripp (1972:235) melibatkan keseriusan, kesopanan, dan rasa hormat. Bentuk tuturan dalam situasi formal 3 memerlukan tuturan formal dengan struktur tertentu baik secara semantik, fonologis, sintaktik, maupun morfologis yang memenuhi tuntutan sosial dan kultural pemakainya. Ada kemungkinan bahwa bentuk tuturan dan makna latar sosial memiliki makna yang berbeda menurut siapa berbicara kepada siapa dan tentang apa, atau dengan kata lain, menurut status demografis partisipan yang terlibat. Sebagai contoh menurut berbagai penelitian yang telah ada; bentuk tuturan, kesopanan, rasa hormat, dan keseriusan dapat muncul secara berbeda menurut jenis kelamin partisipannya (Lackoff, 1973; Wardhaugh, 1993:313; Fasold, 1990:114). Pemakaian bahasa oleh penutur asli pada komunitas bahasa yang apa adanya dipengaruhi oleh genre dan seting penggunaan bahasa. Genre seminar memiliki strategi interaksi yang terpola dan tersusun sesuai dengan kesempatan dan kelebatan ide yang akan disampaikan. Sehingga penanya diharapkan memilih strategi yang efisien dan efektif sesuai dengan tuntutan kesantunan, ketegasan, kelugasan, dan berorientasi masalah. Peserta seminar merupakan komunitas bahasa dalam situasi tutur yang memiliki jarak sosial dengan penyaji seminar, keseriusan tinggi, rasa hormat dan kesopanan yang tinggi juga. Peserta dalam bertanya kepada penyaji tidak hanya berorientasi pada dirinya sendiri dan penyaji, tetapi juga kepada peserta lainnya. Bentuk latar sosial memberi tekanan dan pengaruh lebih ketat kepada peserta dalam bertanya, karena peserta merasakan adanya tuntutan gaya dan laras dalam bertanya, penampilan, kesadaran tentang apa yang akan dikatakan, kedalaman makna, dan kekhususan personal penanya. Penelitian ini merupakan usaha dalam mencari bentuk dan strutktur tuturan kalimat tanya, susunan ide dalam menyampaikan pertanyaan, pemilihan kata oleh peserta, yang tidak dapat dirumuskan secara abstraksi dan terlepas dari pemakaian kalimat tanya yang sesungguhnya. Walaupun di sisi lain, dalam linguistik murni, kalimat tanya telah terumuskan secara relatif tetap dan homogen. Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993) percaya bahwa perbedaan pemakaian bahasa oleh perempuan dan laki-laki merupakan gejala masalah budaya dan intinya bukan masalah bahasa itu sendiri, yakni lebih merefleksikan 4 bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan memiliki kepentingan dan peran yang berbeda, mempertahankan peran itu, melaksanakan jenis percakapan yang berbeda, dan merespon terhadap yang lain secara berbeda. Dikatakan bahwa semakin berbeda peran sosial yang diisi oleh kedua jenis kelamin, semakin besar perbedaan berbahasanya. Pada masyarakat yang tidak begitu terstratifikasi dengan tajam, peran sosial antarjenis kelamin tidak dibedakan dengan jelas. Masyarakat bahasa Surakarta sangat erat dengan stratifikasi peran sosial berdasarkan jenis kelamin dan dikenal sebagai pusat budaya adi luhung dan tua dengan berbagai peninggalan kratonnya, sehingga mengakuinya sebagai the spirit of Java. Refleksi situasi perbedaan peran sosial, sebagai peninggalan kraton, ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dan, kemungkinannya, arah perubahannya dapat diprediksi. Di atas disampaikan bahwa perbedaan peran sosial berdasarkan jenis kelamin akan memunculkan perbedaan pemakaian tuturan dan sikap menerima bentuk tuturan tersebut. Perbedaan ini akan memunculkan konflik sikap dan makna karena perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan budaya, khususnya berdasarkan jenis kelamin sebagaimana dikatakan oleh Maltz dan Borker (dalam Wardhaugh, 1993:320). Untuk menghindari konflik dan kesalahpahaman ini diusulkan persamaan cara pandang dan persepsi percakapan yang sama atau dengan pemahaman perbedaan peran-peran sosial yang diemban oleh kedua jenis kelamin. Saya mencurigai bahwa ada beberapa konflik sikap yang disebabkan oleh persepsi peran dan cara pandang yang berbeda ini pada kedua jenis kelamin di Surakarta. Secara historis kota ini smemiliki budaya kesantunan yang kental di Jawa Tengah. Inilah pentingnya studi ini untuk mengungkap dan melihat perbedaan pola peran dan makna peran dari kedua jenis kelamin itu, sehingga terhindar dari konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan persepsi tentang bagaimana cara bertanya dan menjawab pertanyaan yang berterima secara sosial. Dari perbedaan berbagai fakta di atas dapat disimpulkan bahwa konteks situasi dan budaya sangat mempengaruhi pola-pola bagaimana semestinya perempuan dan laki-laki berinteraksi dan berperilaku. Cara laki-laki dan 5 perempuan berinteraksi dan berinterpretasi terpolakan secara kultural dan pola itu diwujudkan pada bentuk pemarkah linguitik tertentu yang membedakannya (Fasold, 1990:114). Sebetulnya perbedaan tuturan dan cara pandang antara kedua jenis kelamin itu merupakan hubungan pengaruh timbal balik (interplay). Peran perempuan dibentuk oleh peran dan respon laki-laki, sebaliknya peran laki-laki dibentuk dan direspon oleh perempuan. Perlakuan laki-laki mempengaruhi keberadaan perempuan dan cara berbicara menyampaikan pesannya atau sebaliknya. Penelitian ini memfokuskan pada tuturan yang dipakai untuk bertanya jawab karena bahasa memiliki salah satu fungsi pokoknya untuk bertukar pikiran, nilai, keakuan dengan menyampaikan pertanyaan dan jawaban. Pikiran manusia berkembang dengan bertanya dan menjawab berbagai hal yang mengganggu ketenangan hidupnya sehari-hari, baik bertanya dan menjawab dengan diri sendiri atau orang lain. Pertanyaan dan jawaban, walaupun dengan pokok proposisi yang sama, muncul dengan berbagai bentuk dan susunan tuturan yang berbeda, yang salah satunya dipengaruhi oleh latar belakang jenis kelamin penutur. B. Kajian Teori Sosiolinguistik Berikut ini merupakan beberapa definisi mengenai studi sosiolinguistik: a. Halliday (1970): linguistic institutional, sosiolinguistik berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. b. Pride dan Holmes (1972): studi bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat yaitu language in culture bukan language and culture. c. Firshman (1972): memberi nama, yang pada beberapa aspek mirip bahkan sama, yakni dengan nama sosiologi bahasa, yang berarti bahwa sosiologi bahasa adalah keseluruan topic yang berkaitan dengan organisasi sosial dari perilaku bahasa, bukan saja pemakaian tetapi juga sikap terhadap bahasa dan penggunanya. d. D.Hymes (1973): sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data kebahasaan dan menganalisisnya ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangut kehidupan sosial atau sebaliknya mengacu pada data kemasyarakatan dan 6 menganalisisnya ke dalam linguistic. Dia melihat bahwa bahasa untuk masyarakat dan masyarakat untuk bahasa e. Trudgill (1974): sosiolinguistik adalah bagian dari lingustik yang berhubungan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala budaya, sehingga budaya masuk dalam bahasa. f. Criper dan Windowson (1975): studi sosiolinguistik adalah studi bahasa dalam pemakaiaanya. Tujuannya adalah untuk menunjukkan hubungan konvensi bahasa dengan aspek-aspek lain dari budaya. g. Hudson(1980): studi sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. h. Nababan(1984): seperti Halliday: studi sosiolinguistik adalah studi bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Sosiolinguistik timbul berdasarkan asumsi bahwa bahasa bukanlah monolitik dan homogen, tetapi bahasa bersifat heterogen dan bervariasi. Keheterogenan dan kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar bahasa yang sifatnya sosial, sebagaimana dikatakan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial (Saussure, 1973; Halliday, 1978) dan bukanlah fenomena fisik (Bloomfield, 1935) atau Kognitif dan mental (Chomsky, 1963). Variasi-variasi ini berpola secara konvensional. Oleh karena itu tugas utama sosiolinguistik adalah membuat model atau pola hubungan antara bahasa dan faktor-faktor sosial (tatanan sosial). Struktur sosial menentukan perilaku bahasa dan keduanya tidak dapat dipisahkan (Fishman, 1971:114). Cakupan ilmu ini memfokuskan pada penggunaan konkrit dari bahasa dalam konteks sosial, yakni studi bahasa tidak dapat dipisah dari bagaimana dan di mana bahasa itu dipakai (Fishman, 1971). Sedangkan linguistik merupakan ilmu yang melihat bahasa semata-mata, sebagai beberapa definisi sistem logika bukan sosial dan budaya. Secara sosiolinguistik bahasa dilihat sebagai: (1) sistem yang tertutup, yang berarti bahwa bahasa terdiri dari hubungan antarunsur yang saling mempengaruhi, (2) sistem yang hidup, yakni bahasa merupakan sesuatu yang bergantung dan ditentukan keberadaannya oleh lingkungan di luar bahasa dan merupakan sistem yang berevolusi, (3) sistem yang terbuka, yakni bahwa ada hubungan saling mempengaruhi antarelemen dan ada pengaruh dari 7 konteks penggunaannya. Untuk menganalisis bahasa, sebagai konsekuensinya diperlukan adanya data-data sosial. Sebaliknya juga dalam menganalisis suatu tatanan status sosial suatu masyarakat (seseorang) bisa diketahui atau dimulai dari bahasanya dengan melihat variasi-variasi penggunaan bahasanya. Variasi bahasa dan tatanan sosial berjalan paralel atau beriring pada arah yang sama pada urutan yang sama. Dikatakan juga bahwa sosiolinguistik muncul karena gagasan bahwa fenomena sosial dan linguistik berada pada tingkat yang sama (Penalosa, 1981:61) sehingga data yang sama dapat digunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun kategori-kategori sosialnya. Suatu bentuk bahasa dipilih sebetulnya semata-mata sebagai suatu realisasi dari nilai sosial dan segala kategori-kategorinya. Bahasa merupakan alat interaksi budaya, tidak sekadar pertukaran informasi. Pertukaran informasi hanyalah sebagai bagian fungsi bahasa (Bolinger, 1975:24). Walfram (1971:96) juga mengatakan bahwa ada hubungan kausal langsung antara perbedaan variasi bahasa dan perbedaan sosial. Bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling menentukan dalam arti bahwa variasi bahasa tertentu menunjukkan status sosial tertentu dan status sosial sebaliknya juga menentukan jenis variasi bahasa. Mengetahui dan mempelajari bahasa dalam sosiolinguistik, harus dilihat dalam konteks yang sesungguhnya di mana bahasa dipakai serta situasi penggunaannya, dan harus dilihat secara empiris dan aktual karena bahasa bukanlah konsep-konsep abstraksi yang ideal tanpa melihat variabel yang mempengaruhi dalam penggunaannya. Sosiolinguistik menggunakan konsep ranah dalam mengklasifikasikan keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan oleh hubungan antara variasi bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1964). Kaidah keteraturan inilah yang perlu ditemukan oleh sosiolinguistik sebagai kaidah bahasa yang sebenarnya dan bersifat empiris. Kaidah ini secara konvensional diakui dan ditaati untuk dipergunakan oleh setiap penutur. Tugas sosiolinguistik pada dasarnya adalah untuk (1) menganalisis bahasa di luar kalimat dan menekankan pada studi penggunaan bahasa oleh kelompok sosial (Bell, 1976:25) sehingga analisisnya melibatkan data-data sosial untuk 8

Description:
sosiolinguistik mikro. Sosiolinguistik makro melihat atau menemukan distribusi atau sebaran dari variasi bahasa dalam profesional, mantera, upacara-upacara (2) deliberatif/formal: monologue, (3) konsultatif: dialogue yang
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.