GENERALISASI DAN REPRESENTASI DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI ( BAHAN AJAR ) PURWADI SOERIADIREDJA PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 0 KATA PENGANTAR Naskah ini merupakan salah satu bahan ajar dalam mata kuliah Antropologi Psikologi dan Metode Penelitian Antropologi pada Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UNUD. Adapun tujuan dari penulisan naskah ini untuk menambah bahan kepustakaan, penyebaran informasi dan bahan studi bagi pengembangan ilmu antropologi. Pada edisi revisi ini ada sedikit perbaikan dan penambahan data. Penulis sadari bahwa naskah ini belum merupakan karya tulis yang sempurna, untuk itu segala kritik dan saran dari berbagai pihak tetap penulis harapkan dengan terbuka. Bagi semua pihak yang memberi bantuan dan dukungannya, penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga Na Mawulu Tau — Na Majii Tau dan para Marapu menganugerahkan hari-hari mereka dengan nyanyian, malam-malam mereka dengan mimpi indah, dan melindungi mereka selalu. Denpasar, Januari 2016. Purwadi Soeriadiredja 1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………….. 1 DAFTAR ISI ……………………………………………………………… 2 PEMBUKA ..........................…………………………………………….. 3 Kedudukan Generalisasi dalam Ilmu Antropologi ................................ 4 Positivisme ..............................................................................………. 9 Evolusionisme dan Difusionisme ....................................................... 10 Kajian Holistik ..................................................................................... 15 Kajian Komparatif ............................................................................... 17 Kajian Lingkungan .............................................................................. 24 Strukturalisme Levi-Strauss …......................................................….. 27 Penolakan Gagasan Generalisasi ...................................................... 34 Interpretivisme ..................................................................................... 35 Representasi dalam Ilmu Antropologi ................................................. 38 Krisis Representasi ............................................................................. 41 PENUTUP ........................................................................................... 46 Refleksi ............................................................................................... 48 KEPUSTAKAAN BERANOTASI ......................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….... 76 2 GENERALISASI DAN REPRESENTASI DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI Purwadi Soeriadiredja ________________________________________________________________ Pembuka William A.Haviland dalam bukunya Anthropology (1985:7) mengemukakan bahwa antropologi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Oleh karena itu, para ahli antropologi budaya memusatkan perhatiannya pada kebudayaan manusia, atau cara hidupnya di dalam masyarakat. Dalam rangka mencoba merumuskan atau menjelaskan fenomena yang diamati, para ahli antropologi mengadakan penelitian di lapangan. Demikian pula seperti dikemukakan Keesing (1989:5), bahwa antropologi mempunyai cara-cara dalam mengeksplorasi dan menafsirkan suatu perwujudan sebagai sesuatu yang unik, membuat generalisasi dan berteori sedemikian rupa sehingga menempatkan dirinya dalam kelompok ilmu sosial. Metode-metode yang digunakan disesuaikan dengan kondisi persoalan yang dikaji, terutama bersifat menafsirkan atau membuat generalisasi dan berteori. Untuk memperoleh data yang diperlukan, para ahli antropologi melakukan pengkajian dan penelitian melalui kerja lapangan. Tradisi kerja lapangan dan khasanah konseptual yang diperoleh dari keterlibatan dalam tata cara kehidupan setempat merupakan sumber kekuatan antropologi selama ini, sehinga hasilnya dapat direpresentasikan sebagai karya etnografi yang mempesona banyak kalangan. Tetapi apakah akan selalu demikian halnya? Keesing (1989:8) melontarkan kritik bahwa hal itu juga merupakan kelemahan antropologi. Tradisi kerja lapangan dengan tujuan mengkaji, menggeneralisasikan, dan mendokumentasikan suatu budaya itu melahirkan stereotip yang menyesatkan tentang budaya-budaya tribal, 3 melukiskannya sebagai suatu percobaan unik dan terpadu dalam kemampuan manusia, sesuatu yang telah ada di sana selama berabad-abad. Pandangan stereotip ini sebagian besar diciptakan oleh para pakar antropologi yang telah merepresentasikan „suatu budaya“ tersebut, melebih-lebihkan stabilitas, keragaman dan keunikan. Keesing menambahkan bahwa kenaifan antropologi terhadap sistem sejarah dan regional telah membawa kepada pola berpikir yang mengabaikan keragaman dan dinamika internal, organisasi regional serta proses sejarah. Para pakar antropologi cenderung menguraikan fenomena setempat dengan perantaraan fenomena dari tempat lain, kemudian melukiskannya dengan mudah bahwa segala sesuatu cocok pada tempatnya dan mengemukakan hal-hal yang bersifat global dan umum sebagai suatu kekhususan setempat. Antropologi telah merupakan suatu disiplin ilmu yang baik untuk bisa melihat pepohonan setempat, tetapi sering tidak mampu melihat hutan yang terhampar di depannya. Berdasarkan pendapat dan kritik tersebut di atas, pada naskah ini akan dicoba untuk mengulas gagasan tentang generalisasi dan representasi dalam penelitian antropologi melalui pendalaman dan kajian berbagai hasil karya tulisan etnografi yang terkait dengan topik bahasan. Disadari bahwa dalam penjelajahan terhadap sejumlah karya etnografi tentunya tidak mudah, karena begitu beragamnya karya-karya itu dengan masing-masing paradigma yang mempunyai kekhasannya sendiri. Oleh karena itu, dalam mengulas masalah generalisasi akan dilakukan penjelajahan ke sejumlah karya etnografi yang dikategorikan berdasarkan paradigma ilmiah tertentu, bersamaan dengan itu dalam membahas masalah representasi akan dikaitkan berdasarkan dari siapa merepresentasikan siapa. Kedudukan Generalisasi dalam ilmu Antropologi Generalisasi Kemampuan „menggeneralisasi“ merupakan salah satu kemampuan manusia yang khas. Menurut Hassan & Koentjaraningrat (1977:11), dalam 4 keadaan normal setiap individu pada suatu saat dalam perkembangannya akan mencapai kesanggupan untuk menemukan kesamaan-kesamaan umum melalui perangsangan pengamatan yang disebut stimulus generalization, atau biasa disingkat generalization saja. Penggeneralisasian ini penting artinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, karena dengan kemampuan inilah terbuka kemungkinan untuk membentuk konsepsi-konsepsi yang mengatasi generalisasi itu sendiri dan sebagai landasan dasar dari suatu kerja ilmiah. Dalam hal ini Harris (1994:66) menyamakan penggeneralisasian sebagai ilmu pengetahuan itu sendiri, karena menurutnya ilmu pengetahuan merupakan definisi bentuk penggeneralisasian dari pengetahuan. Makin baik suatu generalisasi, makin „mungkin“ untuk dapat digunakan pada suatu kasus khusus, dan makin bergunalah generalisasi itu. Kaplan&Manners (1999:15-16) secara sederhana mendefinisikan generalisasi sebagai proposisi yang menjadikan dua atau lebih kelas fenomen saling berhubungan. Dalam generalisasi terkandung suatu sikap logis yang penting, yaitu bahwa pernyataan yang dikemukakannya bersifat melampaui hal yang diamati atau direkam, melampaui suatu hubungan yang teramati dalam sebuah sampel yang terdiri atas kasus-kasus untuk mengacu pada seluruh anggota kelas yang bersangkutan. Misalnya, pernyataan „semua masyarakat manusia memperlihatkan adanya tabu incest“ adalah pernyataan deskriptif, bukan generalisasi. Tapi pernyataan „semua manusia memiliki tabu incest“ adalah generalisasi. Perbedaan yang penting antara dua pernyataan itu ialah bahwa pernyataan kedua mengacu pada semua masyarakat manusia, pada masa lampau, kini dan akan datang, baik tercatat atau tidak. Hal tersebut berdasarkan pengamatan pada masyarakat yang terbatas, kemudian kita menggeneralisasikannya (secara pukul-rata) menjadi semua masyarakat manusia. Dapat dikatakan bahwa seorang peneliti dalam meneliti suatu fenomena mempunyai sedikitnya beberapa aturan prosedural, termasuk konsep- konsep atau definisi, untuk menggeneralisasikan fenomena-fenomena itu. Lebih lanjut Kaplan&Manners (1999:16-17) mengemukakan bahwa suatu teori sekalipun merupakan generalisasi pula, tapi generalisasi yang bercorak khusus dan berbeda dalam beberapa hal penting. Perbedaan dua macam generalisasi tersebut antara lain : 5 Generalisasi empirik ; 1. memberikan label pada regularitas alami, 2. menembus hingga melampaui pengamatan, tapi jangkauan penjelasannya terbatas, 3. menunjuk pada hubungan-hubungan yang berlaku dalam kondisi-kondisi tertentu tanpa peduli ruang dan waktu. Generalisasi teoritik ; 1. memberikan alasan berlangsungnya regularitas, 2. menuntun ke arah fakta baru dan membuka jalur-jalur baru dalam penelitian, 3. mengacu pada hubungan-hubungan yang sangat abstrak yang dapat dipandang sebagai induk generalisasi empirik di mana pernyataan deskriptif merupakan kasus khusus. Demikian pula bagi Pelto&Pelto (1984:2-31), bahwa menghubungkan generalisasi atau proposisi menjadi rangkaian proposisi yang lebih luas dan kompleks yang memungkinkan membuat prediksi dan menjelaskan fenomena dalam suatu lingkungan telah menjadi salah satu tujuan disiplin ilmu pengetahuan. Rangkaian proposisi itulah yang disebut sebagai teori. Dengan alasan itu pulalah, lanjut Pelto&Pelto, antropologi bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan karena telah mengakumulasikan pengetahuan yang sistematik dan dapat dipercaya (reliable) tentang aspek dari alam ini, yang dilakukan dengan mengamati dunia empiris dan diinterpretasikan sebagai konsep-konsep yang saling terkait yang dapat dirujuk pada pengamatan empiris. Antropologi merangkum lapangan yang luas, termasuk meneliti dan menggeneralisasi semua tingkah laku dan proses adaptasi manusia serta hasil budaya mereka. Menurut Corbetta (2003) generalisasi berhubungan erat dengan pendekatan penelitian kuantitatif yang untuk beberapa dekade sangat mendominasi penelitian sosial sejalan dengan dominasi paradigma positivisme di dunia ilmu pengetahuan. Menurut tradisi pemikiran positivis, realitas berada di luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami. Data diperoleh 6 berdasarkan rancangan yang telah jadi (misalnya kuestioner), terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan perolehan data tersebut di lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, yaitu proses dimana generalisasi diperoleh dari observasi empiris, melalui identifikasi suatu keteraturan dari kenyataan sosial yang diteliti. Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korepondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya realitas dapat dikontrol dengan variabel lain. Tujuan dari penelitian kuantitatif itu sendiri adalah untuk membuat generalisasi, yaitu sintesis yang dapat diterapkan pada tingkat konseptual, abstraksi yang lebih tinggi pada bidang yang lebih luas. Hubungan personal antara „peneliti“ dengan „yang diteliti“ tidak dianggap penting. Pengamatan dilakukan pada posisi terpisah dengan subyek yang diteliti, sehingga secara „ilmiah“ si pengamat dianggap netral dan tidak mempengaruhi data yang dikumpulkan. Karenanya tidak mengherankan apabila banyak para ahli antropologi pada masa itu dapat mengembangkan „pekerjaan besar“ dari jarak jauh dari karya etnografi ahli lainnya. Salah satu diantaranya G.P.Murdock dengan karyanya yang terpenting Africa, Its Peoples and Their Culture History (1959), berisi rangkaian deskripsi singkat dengan data yang dikumpulkan dari sistem kartu etnografi dari Yale University dan ratusan buku etnografi di perpustakaan. Murdock inilah yang bertugas mengembangkan dan memelihara sistem kartu etnografi dan memulai suatu program ilmiah bernama Cross-cultural Survey. Sistem pengelolaan kartu etnografi ini sejak tahun 1949 diberi nama resmi Human Relations Area Files (HRAF), yang mempunyai tugas tambahan yaitu merangsang penelitian-penelitian komparatif cross-cultural, menyempurnakan teori dan metodologi, menerbitkan karya-karya etnografi dan buku-buku lainnya. Guna melakukan analisis komparatif, maka semua kebudayaan yang terdapat dalam sistem kartu HRAF diklasifikasikan ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan konsep daerah kebudayaan (culture area). Apakah ada pembahasan isu generalisasi dalam penelitian kualitatif ? Corbetta (2003) menjelaskan bahwa secara umum, penelitian kualitatif kurang tertarik pada generalisasi, dan lebih menekankan pada kondisi khusus dari situasi sosial di mana penelitian dilakukan. Tujuan penelitian kualitatif untuk menghasilkan temuan-temuan. Kegiatan akhir penelitian kualitatif bukan hanya mengumpulkan data, tetapi menganalisis dan menginterpretasi data yang 7 dihimpun kemudian merepresentasi temuan-temuan tersebut. Dalam penelitian kualitatif, faktor manusialah (si peneliti) yang terpenting karena dia menjadi “alat” dari penelitian itu sendiri. Di lain pihak, dalam membicarakan isu generalisasi dalam penelitian kualitatif, Alwasilah (2002) mengemukakan bahwa konsep generalisasi terkait dengan external validity sebagai kebalikan internal validity. Validitas internal (Internal validity) merujuk pada persoalan apakah temuan penelitian itu bersesuaian dengan realitas yang ada. Ihwal hubungan antara realitas, data, dan pelaporan oleh peneliti perlu dicermati sebagai berikut : (1) data tidak dapat bicara, jadi perlu penerjemah yaitu si peneliti; (2) kita tidak dapat mengukur suatu obyek atau kejadian kecuali kita mengubahnya; (3) angka-angka, persamaan, dan kata-kata bukanlah realitas sebenarnya, melainkan simbol dari kenyataan itu sendiri. Berdasarkan hal-hal tersebut, validitas dalam penelitian kualitatif bukan dijelaskan dengan realitas itu sendiri, tetapi dengan mengevaluasi dan menginterpretasi pengalaman peneliti sendiri. Validitas eksternal (external validity) merujuk pada ide sejauh mana temuan-temuan penelitian dapat diterapkan pada situasi-situasi lain, yaitu digeneralisasi. Untuk dapat digeneralisasi sebuah temuan harus memenuhi kriteria validitas internal terlebih dahulu. Ide generalisasi jelas dipinjam dari paradigma kuantitatif, karena itu generalisasi atau validitas eksternal dalam penelitian kualitatif digantikan oleh konsep applicability. Generalisasi macam ini adalah pernyataan kebenaran yang bebas waktu dan konteks seperti dikemukakan Kaplan (1964,dalam Alwasilah,2002:188) berikut; „The generalization must be truly universal, unrestricted as to time and space. It must formulate what is always and everywhere the case, provided only that the appropriate conditions are satisfied.” Untuk meningkatkan kadar keterpakaian konklusi penelitian kualitatif, peneliti dapat melakukan tiga hal seperti yang disarankan Merriem (1988), yaitu : (1) menyajikan deskripsi tebal yang mantap dan rinci; (2) membangun model yang jelas spesifikasi dan kekhasannya; (3) melakukan studi silang tempat atau silang kasus. 8 Positivisme dalam Antropologi Seperti yang telah dikemukakan, bahwa isu generalisasi berhubungan erat dengan paradigma positivisme. Positivisme sebagai salah satu aliran pemikiran yang berkembang di dunia Barat pada abad ke-19, tumbuh berdasarkan pemikiran filsafat positif dalam ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak abad ke-18 lewat karya-karya filosofis dari Hume dan Berkeley, yang kemudian menjadi filsafat ilmu pengetahuan yang sangat dominan. Karena itu dapat dikatakan bahwa abad-abad tersebut merupakan “abad positivisme”. Suatu abad yang ditandai oleh peranan yang sangat menentukan dari pikiran-pikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetahuan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, perhatian pada filsafat lebih ditekankan kepada segi-segi praktis bagi tingkah laku manusia, dan tidak lagi memandang penting tentang dunia yang abstrak (Siswomihardjo,1996:1). Masyarakat dan kebudayaan dipandang sebagai kesatuan-kesatuan yang bagian-bagian serta unsur-unsurnya terjaring satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang bulat, dan dapat dianalisa dengan metode analisa induktif ketat seperti dalam ilmu pasti dan alam (Koentjaraningrat,1981:18). Salah seorang tokoh penting yang dianggap pendiri dan menerapkan aliran pemikiran positivisme ini ialah Auguste Comte, dengan karya utamanya berjudul Course de Philosophie Positive (1830, 1842). Karya yang mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah, yaitu suatu metode yang dapat diterapkan untuk menemukan hukum-hukum alam yang mengatur gejala- gejala sosial. Menurut Comte penemuan hukum-hukum alam itu akan membuka batas-batas yang pasti dan melekat (inherent) dalam kenyataan sosial, dan apabila melampaui batas-batas itu, maka usaha pembaharuan akan merusak dan menghasilkan yang sebaliknya. Kata positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris, yaitu semua yang kita tahu akhirnya berasal dari pengalaman indrawi atau data empiris (Johnson,1986:26,82). Oleh Comte secara eksplisit menekankan bahwa istilah positif sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, dan sebagai lawan dari sesuatu yang negatif (Siswomihardjo,1996:2). Comte berpendirian bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, dan memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut penggunaan metode- 9
Description: