Cerpen-cerpen yang Dimuat di Koran Tempo (Minggu) dikumpulkan dan disusun oleh Ardy Kresna Crenata Daftar Isi Kejadian-kejadian pada Layar (Ardy Kresna Crenata, 13 April 2014) Keledai (Dedy Tri Riyadi, 6 April 2014) Mawar Hitam (Candra Malik, 30 Maret 2014) Maharet (Dinar Rahayu, 23 Maret 2014) Putin (Thelma Wibikusuma, 16 Maret 2014) Gangga Sri (Gus tf Sakai, 9 Maret 2014) Serimpi Sangopati (Karisma Fahmi Y., 2 Maret 2014) Enam Cerita (Agus Noor, 23 Februari 2014) Joseph dan Sam (Rilda A.Oe. Taneko, 16 Februari 2014) Neraka Kembar Rajab (Triyanto Triwikromo, 9 Februari 2014) Tok Mulkan dan Istrinya (Delvi Yandra, 2 Februari 2014) Gadis Berambut Panjang (Miguel Angel Asturias, 26 Januari 2014) Natasha (Putra Hidayatullah, 19 Januari 2014) Partikel-partikel Tuhan (Leopold A. Surya Indrawan, 12 Januari 2014) Katanya Saya Tak Akan Bosan (Ni Komang Ariani, 5 Januari 2014) Dongeng Penebusan (Mona Sylviana, 29 Desember 2013) Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama (A.S. Laksana, 22 Desember 2013) Batu (A. Muttaqien, 15 Desember 2013) Gerimis di Kuta (Wendoko, 8 Desember 2013) Senja (Wladyslaw Reymont, 1 Desember 2013) Wajah Cinta Pertama (Amalia Achmad, 24 November 2013) Seorang Lelaki dan Sebuah Cermin (Ardy Kresna Crenata, 17 November 2013) Selamat Ulang Tahun, Bulan yang Menggantung di Langit (Clara Ng, 10 November 2013) “Nyctophilia” (Bernard Batubara, 3 November 2013) Rembulan (Zaim Rofiqi, 27 Oktober 2013) Bersin (Raudal Tanjung Banua, 20 Oktober 2013) Lelaki Kartu Pos (Anggun Prameswari, 13 Oktober 2013) Sapi Betina (Juan Rulfo, 6 Oktober 2013) Jawaban Raisa (Hikmat Gumelar, 29 September 2013) Di Market Square (Rilda A. Oe. Taneko, 22 September 2013) Rashida Chairani (A.S. Laksana, 15 September 2013) Aswatama Pulang (Gunawan Maryanto, 8 September 2013) Kapal Perang (Yusi Avianto Pareanom, 1 September 2013) Muslihat Membunuh Panglima Langit (Triyanto Triwikromo, 25 Agustus 2013) Kisah Seorang Pandai (Bertolt Brecht, 18 Agustus 2013) Selembar Daun (A. Muttaqin, 4 Agustus 2013) Teman Kami (Dias Novita Wuri, 28 Juli 2013) Penembak Jitu (Liam O’Flaherty, 21 Juli 2013) Sangkar di Atas Leher (Adi Zamzam, 14 Juli 2013) Pintu (Yudhi Herwibowo, 7 Juli 2013) Orang-orang yang Setia (Ardy Kresna Crenata, 30 Juni 2013) Lapar (Jean Genet, 23 Juni 2013) Para Penjual Rumah Ustazah Nung (Ben Sohib, 16 Juni 2013) Hari yang Sempurna untuk Kangguru (Haruki Murakami, 9 Juni 2013) “To Be or Not To Be” (Mona Sylviana, 2 Juni 2013) Kejadian-kejadian pada Layar Cerpen Ardy Kresna Crenata —untuk Avianti Armand S EBUAH layar. Sebuah biru yang dominan. Di sudut kanan agak ke bawah, sesosok lelaki. Ada benda-benda serupa burung lamat beterbangan dari kanan tengah ke kiri atas, dari sebentuk rimbun pohon dengan daun-daun gemuk menuju semacam langit yang masih hampa. Hanya ada kepak yang gamak. Lelaki itu mendengkur. Seseorang di sampingnya, sesosok perempuan, serupa perempuan, mengatur desah napasnya untuk tak mengendap jadi mimpi buruk yang akan membangunkan lelaki itu. Tangan kanannya menjuntai, seperti hendak menyentuh tubuh lelaki itu. Tapi, tangan itu terhenti, seperti jeda yang dipaksa ada. “Kau harus pergi, dan mati. Lelaki itu tak boleh tahu.” Suara berat itu tak pernah memiliki asal. Wujudnya tak pernah ada. Jika dilacak, hanya akan tampak butir-butir terserak. Sesuatu serupa hujan, atau salju. Sesuatu yang hanya mengenal biru, seperti halnya setiap benda yang terhampar di layar itu. Burung-burung tadi telah pergi, meski tak mati. Di waktu yang terpatri mereka akan muncul lagi, membawa payah rasa lelah di kepak mereka untuk tumpah-rebah-ruah dalam istirah. Tapi ia, sesosok perempuan itu, harus mati. “Kau harus tiada agar ia lupa.” Perempuan itu mengangguk. “Kau akan lenyap seperti gelap.” Perempuan itu berdiri. “Sebab, di matanya Tuhan telah memiuhkan pagi. Dan ia tak akan lagi sosok yang kaukenali.” Perempuan itu tak mengucapkan apa-apa. Sebab, ia tak lagi punya kata. Sebelum ia tampak terbang sebelum angin seolah asin, ia menutup mata untuk menyaksikan perpisahan yang berbeda. Tepat di dekat wajah lelaki itu air matanya jatuh. Tubuh perempuan itu melayang dan mulai hilang seiring angin lamat berdesing. Lalu biru. Lalu sepi. S EBUAH layar. Sebuah biru yang dominan. Di sudut kanan agak ke bawah, lelaki itu. Tak ada semacam nyanyi yang mengganggunya. Tapi ia terbangun. Bangkit. Dirasakannya ada yang tak sama, seolah-olah detik sebelum ini tak pernah ada, seakan-akan semua kembali tercipta begitu saja. Ia menyentuh pelipis kirinya. Ada sesuatu. Beberapa jarinya mengatakan seperti itu. Seperti ada bekas luka yang lekas tiada, tapi tak sempurna. Sesuatu telah terjadi padanya. Bahkan, ia tak tahu siapa dirinya. “Tuhan telah memberimu nama.” Seberkas suara. Hanya seberkas. Getas dan tegas. Seperti di adegan pertama, suara berat itu tak memiliki asal. Jika dicari, hanya ada kicau burung mirip kemarau limbung. Angin berdesing, dan asing. Sesuatu serupa air mengalir mahir dari kiri tengah ke tengah bawah. Barangkali itu sungai. Warnanya biru, seperti benda-benda lainnya—yang bergerak atau pun tidak. Dalam alirnya, berbilah-bilh kata menyeruak darinya. Siapa aku? Apa itu nama? Tapi kembali hanya seberkas suara. Getas dan tegas. Sesuatu yang seketika membuatnya tahu bahwa ia belum tahu. “Kau adalah yang pertama dicipta. Kau adalah mula.” Tapi ia belumlah tahu apa itu mula. Sesuatu mengerjap- ngerjap di kiri atas. Seperti cahaya. Sesuatu yang bukan bintang— dan tentu bukan matahari. Sesuatu itu tak berwarna kuning. Tapi biru. Biru yang lebih rapuh. Muda yang tak bertenaga. Sesuatu itu bergerak agak cepat ke kanan bawah, ke arah lelaki itu. Lelaki itu berdiri. Tegap tapi gugup. Sebelum dari lidahnya kata terlontar, sesuatu itu membesar dan melebar, memanjang dan meninggi. Satu hitungan. Dua hitungan. Dan di hadapannya kini sebuah wujud. Ia seperti tengah bercermin. Tapi ia baru dicipta, dan ia belum tahu apa itu cermin, apa itu bayangan. Yang ia tahu: ia takut. “Tak perlu takut. Aku bukan maut. Aku hanya sesuatu yang diutus agar kau tak lagi terjerumus.” Lagi? Kata itu bergaung tak mau rampung di benaknya, berganti rupa hanya untuk kembali ada. Ia menduga, sebelum ini kejadian itu pernah ada. Langit itu, kepak burung itu, dirinya. Tapi ia ingat sebuah kalimat telah dibisikkan kepadanya: kau adalah mula. “Ikut aku. Tuhan telah menyiapkan nama-nama untuk kauingat, dan kata-kata untuk kauucap.” Untuk apa? “Agar kau perkasa menjadi raja atas dunia dan manusia.” Apa itu dunia? Apa itu manusia? “Dunia adalah tempat hidupmu. Manusia adalah keturunanmu.” Sesuatu itu berjalan ke arah tengah yang entah. Ia mengikutinya, dan seakan yakin bahwa sesuatu telah terlewat dalam detik jeda yang singkat. Ia berpikir. Ia (coba) mengingat. Tapi darinya telah dihapuskan ingatan, meski masih bisa ia menyusun sebuah pertanyaan: di mana surga? Sesuatu itu mendengar, menyelingar. Ia berhenti. Ia menoleh sedikit menatap lelaki itu dan berkata, “Surga belumlah ada, sebab dosa belum tercipta.” Benda-benda di layar melindap samar. Dua sosok itu berjalan menuju tengah yang entah. Burung-burung terbang hanya untuk hilang. Sebuah pohon. Sebuah sungai. Sebuah usai. Lalu semua biru menyatu, menjadi satu warna saja, menjadi satu bentuk saja: layar itu. S EBUAH layar berwarna hitam yang tak menghadirkan apa- apa selain kelam. Sebuah cahaya, memaksanya tampak. Dalam hitungan yang lamban, hitam itu menyerah perlahan. Biru mulai menguasainya. Benda-benda tertangkap retina. Di tengah entah, sesosok lelaki sedang berdiri membelakangi. Di kiri bawah, sebuah danau. Bunyi angin terdengar lain. Tak ada burung. Tak ada daun. Di tempat itu musim tak pernah gugur. Tapi sebongkah hati, telah hancur. Lelaki itu menengadah merasakan hujan. Seperti terdengar ia merejan—atau mengejang. Sebuah ranting patah jatuh ke tanah. Sesuatu serupa cahaya lindap dan jadi ada. “Tuhan menyayangimu dan Ia akan memberimu.” Lelaki itu menoleh ke kanan. Di kanan tengah di sebelah ranting yang patah, sesuatu yang ia tahu. Apa yang akan Tuhan berikan? “Sesosok yang lain, agar kau tak terasing.” Apakah ia sesuatu yang kutahu? “Belum. Tapi kau akan tahu, persis ketika Ia mencuri salah satu rusukmu.” Sesuatu itu lenyap. Lelaki itu kembali sendiri. Ada perubahan warna menjadi sangat muda dan pudar dan hambar. Masih biru, tapi nyaris putih memuih. Lalu sebuah bunyi, bukan suara. Sebuah bunyi yang tak mengenal warna. Seperti ada kabut, dan di baliknya benda-benda jadi siluet yang berpindah- pindah dengan cepat. Satu detik, tiga detik. Setengah menit, satu menit. Lalu bunyi itu pergi. Hening. Warna melindap gelap. Satu per satu, benda- benda tampak tertata di sana. Sesosok lelaki yang beberapa saat lalu terlihat tampak sedang tidur mendengkur di sebuah ruang yang memang lengang. Sebuah pohon di sebelah kirinya tak berbuah. Sesuatu di sebelah kanannya bukanlah rumah. Sebuah suara, berat menjerat, seolah titah bagi seberkas cahaya untuk lambat mendekat. Perlahan, muncul tangan. Perlahan, sebuah kejadian. Meski beberapa saat di layar itu terang gelap saling bergantian, angin selain lain juga berpilin, burung-burung terbang tiba-tiba untuk lesap saat itu juga, lelaki itu tampak tak berontak ketika tangan itu mematahkan dan mencuri sebuah rusuknya, tulang yang kelak hilang. Gerakan lambat. Kondisi serupa masih terjaga. Baru ketika tangan itu terhisap pusat cahaya, dan cahaya itu bergeser ke kanan hingga tak ada, gelap melengkap dan angin mati. Dari atas, turun terbata-bata, sebuah tubuh yang sama rapuh. Menjejak kakinya, sosok baru itu menoleh menatap lelaki itu. Ia seperti mengenali, tapi tak mungkin, sebab ia baru ada. Di samping kanan lelaki itu, ia berbaring. Seketika ia tak sadar dan itu wajar, sebab ia baru saja ada. Dan semua yang menyaksikan sungguh yakin, sosok baru itu belum tahu apa-apa tentang dirinya, tentang untuk apa ia dicipta. S EBUAH layar. Sebuah biru yang satu. Di kanan tengah, lelaki itu. Di sebelahnya, sosok baru itu. Beberapa saat sebelumnya seberkas cahaya diam berpijar di kiri atas. Seperti lampu. Sebuah suara memaksa mereka terjaga. Lalu seperti yang kini tampak, kedua sosok itu saling menatap, seperti tengah mencoba mencairkan sesuatu yang baru beku. Tanya lelaki itu, Kamu siapa? Jawab sosok di hadapannya, Aku tak tahu. Sesuatu yang bukan bintang mendadak datang dan tak hilang. Langit menggelap—meski warna tetap biru. Desau angin yang memang parau dipaksa usai. Suara sungai, membikin ramai layaknya ladang di musim tuai. Di sebelah kanan mereka, sebatang pohon bergoyang-goyang. Gempa? Bukan. Belum ada gempa di sebuah dunia yang masih muda. Dari arah tengah, dari sebuah titik yang entah, bermunculan satu-satu, burung-burung dengan sayap kaku, menuju dan hinggap di ranting-ranting pohon itu. Biru. Semua warna masih biru. Lalu setelah sekian detik yang pelik, di tengah entah itu tak lagi ada sebuah titik. Ranting-ranting pohon itu telah penuh. Terdengar darinya, sebuah gelisah yang rapuh. Apakah kita? Namun kali ini tak ada suara. Dia dan sosok baru itu tetap saling menatap mencoba mengenali satu sama lain. Tak ada angin. Mereka masih sebuah tubuh tanpa tempat berlabuh. Meki tak satu pun ada yang tertutupi, mereka tak merasa risih. Mereka masih
Description: