ebook img

169 BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN ABDUL KARIM SOROUSH TENTANG KRITIK WILAYAT AL PDF

55 Pages·2006·0.14 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview 169 BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN ABDUL KARIM SOROUSH TENTANG KRITIK WILAYAT AL

169 BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN ABDUL KARIM SOROUSH TENTANG KRITIK WILAYAT AL-FAQIH A. Kerangka Metodologis Pemikiran Abdul Karim Soroush Menurut Mahmoud Sadri, saat ini kontribusi terbesar yang telah diberikan oleh Soroush ada pada tiga ranah yakni, epistemologi dan sosiologi pengetahuan, filsafat, antropologi dan teori politik serta etika dan kritisisme sosial.1 Tiga ranah itu bisa dijelaskan dengan melihat basis epistemologi yang dikembangkannya melalui tiga tataran. Pertama, dalam buku The Theoritical Contraction and Expansion of Shari’a, Soroush membawa sejumlah ensiklopesi pengetahuan tentang yurisprudensi, sejarah ide-ide, hermeneutik, epistemologi, filsafat pengetahuan dan sosiologi pengetahuan untuk menjawab pertanyaan “sejauhmana kita harus mengambil peraturan yang disimpulkan oleh mufti (Islamic Jurisconsults) sebagai perintah Tuhan yang langsung dan literal?”. Jawaban Soroush untuk pertanyaan ini adalah untuk memisahkan agama dari pengetahuan keagamaan. Yang pertama (agama) atau tepatnya esensi agama dirasakan sebagai hal yang berada di luar jangkauan manusia, abadi dan bersifat ketuhanan. Sementara pengetahuan keagamaan itu otentik tetapi terbatas, dan terbuka kemungkinan untuk salah. Soroush mengkritik 1 Mahmoud Sadri, Sacral Defense of Secularism: The Political Theologies of Soroush, Shabestari and Kadivar, International Journal of Politics, Culture and Society, Vol 15, No 2, Winter 2001, hlm. 258. 170 praktek perlindungan terhadap formulasi pengetahuan yang bersifat kemanusiaan. Kedua, teori politik Soroush dimulai dengan filsafat antropologi yang memusatkan perhatian kepada sifat dasar manusia (human nature). Ketiga, filsafat politik Soroush merupakan upaya untuk membuka tradisi liberal yang memperjuangkan nilai-nilai dasar pemikiran, kemerdekaan, kebebasan dan demokrasi. Tantangan terberat dari semuanya itu bukanlah bagaimana mempertahankan nilai tersebut, tetapi mempertimbangkannya sebagai “primary values”, sebagai kebenaran independen bukan peribahasa politik buatan atau dogma agama.2 Perbandingan Antara Soroush, Shabestari dan Kadivar Primary Dialogue of Influences Primary Contribution Discipline Soroush Philosophy Islam-Critical Rationalism Varable nature of (British) religious knowledge Shabestari Theology Islam-hermeneutic Limited nature of (German) religious knowledge Kadivar Jurisprudence Islam-casuistry of Plural nature of application religious knowledge Dikutip dari Mahmoud Sadri (2001) 1. Teori Ekspansi dan Konstraksi: Membedakan Agama dan Pemahaman Keagamaan Soroush melihat bahwa problem terbesar umat Islam saat ini adalah ketika mereka tidak bisa membedakan agama (al-din) dan pemahaman keagamaan (ma`rifat al-din). Karakter mendasar dari agama dan pemahaman keagamaan menurut Soroush bisa dilihat dalam beberapa hal. Pertama, agama atau wahyu selalu bersikap silent. Kedua, 2 Mahmoud Sadri, Ibid, hlm. 259. 171 ilmu pengeetahuan agama bersifat relatif, karenanya sangat bergantung pada anggapan dasarnya (presuppositions). Ketiga, Ilmu pengetahuan terikat dengan waktu (age-bound) karena anggapan dasarnya itu. Keempat, Agama yang diwahyukan mungkin benar dan bebas dari kontradiksi, tetapi ilmu pengetahun agama tidak bisa seperti itu (bebas dari kontradiksi). Kelima, agama mungkin sempurna dan komprehensif, tetapi tidak demikian halnya dengan ilmu pengetahun agama. Keenam, Agama bersifat ilahi, tetapi interpretasi terhadapnya melibatkan manusia dan alam sekitarnya.3 Beberapa item diatas merupakan landasan pijak yang digunakan oleh Soroush sebelum ia mengembangkan teori ekspansi dan kontraksi. Teori tersebut menurut Soroush bertujuan untuk mendamaikan antara keabadian dan temporalitas, yang sakral dan profan, materi dan substansi, yang konstan dan varian, merubah tampilan luar (appearance) sambil menjaga spirit agama.4 Konstruksi berpikir Soroush ini juga sekaligus menjadi penengah antara Islam dan Modernitas.5 3 Abdul Karim Soroush, The Evolution and Devolution of Religious Knowledge, dalam Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, New York: Oxford University Press, 1998, hlm 245-246. 4 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, Oxford University Press, 2000, hlm. 30. 5 Pembahasan mengenai tradisi dan modenisme dipaparkan oleh Soroush ketika ia menyampaikan papernya di Universitas Bahesty. Lihat Abdul Karim Soroush, Tradition and Modernism, Papper on Seminary in Bahesty University, 2002. 172 Menurut Forough Jahanbakhsh, teori yang dikembangkan Soroush inilah membedakan antara dia dan para revivalis lainnya.6 Tanpa bermaksud merendahkan para pemikir terdahulunya, Soroush mengatakan bahwa teorinya ini memberikan kontribusi yang vital sebagai sebuah struktur epistemologi.7 Beberapa prinsip dari teori ekspansi dan kontraksi yang dirumuskan oleh Soroush ini bertumpu pada beberapa hal. Pertama, Prinsip Koherensi dan korespondensi. Maksud dan prinsip ini menyangkut pemahaman manusia terhadap agama. Manusia akan memahami agama sesuai dengan kapasitas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Jadi prinsip ini menekankan pentingnya penguasaan manusia akan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk memahami agama. Kedua, Prinsip Interpenetrasi. llmu pengetahuan yang kita terima dan dipelajari, kemudian akan masuk (melakukan penetrasi kedalam wilayah pemahaman kita tentang agama. Ketiga Prinsip Evolusi. llmu pengetahuan manusia dalam perjalananya akan berevolusi (meluas dan menyempit), serta akan selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.8 Hal yang paling penting dari teori ekspansi dan kontraksi ini adalah keterlibatan epistemologi, antropologi, dan kosmologi dalam membuka 6 Forough Jahanbakhsh, Abdolkarim Soroush: New Revival of Religious Sciences, ISIM Newsletter, 8/01, hlm 21. 7 Ibid. 8 Hossein Kamali, The Theory of Expansion and Contraction of Religion: A Sresearch Program for Islamic Revivalism (An Iranian Perspective), 1995, dalam http//www.drsoroush.com/English/On_drsoroush/E-CMO-19950200-1. html 173 pintu agama atau menariknya dalam varia nyata kehidupan manusia. Keterlibatan komponen tersebut merupakan prasyarat bagi seorang Muslim untuk memahami eksistensi doktrin agama-agama. Kata kunci untuk memahami teori ekspansi dan kontraksi ini adalah pemisahan yang jelas antara agama dan pemahaman keagamaan. Domain agama adalah domain untuk menemukan makna kebenaran. Ketika sebuah wilayah menjadi penemuan kebenaran, maka itu adalah domain pluralitas dan pluralitas ini diperlukan untuk menemukan kebenaran.9 Dalam setiap aura keagamaan, selalu kita temukan adanya logos, nabi dan kitab suci. Inkarnasi atau sejumlah penjelmaan langsung dai alam keilahian atau pesan dari firman-Nya yang kemudian terkomunikasikan melalui medium yang sangat manusiawi dan alami. Bahasa Arab dalam al-Qur’an atau Kristus bagi agama Kristen itu semua adalah penjelmaan yang otentik dari yang absolut, sehingga masing- masing medium tersebut harus diyakininya sebagai mutlak, walaupun pada tataran relatif. Keadaan inilah yang dalam bahasanya Sayyed Hossein Nasr sebagaimana dikutip oleh Komarudin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis sebagai “relatively-absolute”.10 9 Soroush kemudian mengatakan bahwa pluralitas yang ada dalam pemahaman pengalaman keagamaan dan pemahaman keagamaan tidak memiliki solusi dan kita harus menerimanya. Abdul Karim Soroush, Religious Pluralism: Kadivar, Soroush Debate, dalam http://www.drsoroush.com/English/By_DrSoroush/E-CMB-19980409-Religious_Pluralism- Kadivar-Soroush_Debate.html. 10 Komarudin Hidayat dan M.W. Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Gramedia, 2003, hlm.55-56. 174 Juga dalam setiap alam keagamaan, ditemukan hukum-hukum, simbol-simbol dan monumen yang disakralkan, doktrin-doktrin yang dikeramatkan oleh otoritas-otoritas tradisional, doa-doa yang menjadi ruh agama, semuanya adalah absolut dalam dunia keagamaan, tetapi tidak absolut dan tidak sakral dalam dirinya sendiri. Dari sini, maka akan terlihat signifikansi dan urgensi dari persoalan eksoterisme agama. Walaupun persoalan eksoterisme ini dilihat hanya sebagai bentuk atau bingkai sebagai jalan menuju ke Kebenaran Hakiki, tetapi karena jalan itu mendapatkan pengesahannya dari Yang Mutlak, maka dalam persoalan agama hal itu harus dipandang sebagai bagian dari doktrin agama yang bersifat mutlak, walaupun kemutlakannya masih dalam tataran relatif. Dengan demikian, maka masing-masing penganut agama tertentu harus mengakui bahwa agama yang dianutnya adalah benar secara mutlak, tanpa harus menafikan kemutlakan agama lain. Setiap pemeluk agama harus memutlakan kebenaran agama yang dianutnya dan disaat yang sama ia harus memberikan kemungkinan bagi orang lain yang menganut agama yang berbeda untuk memutlakan agama yang dianutnya. Pendek kata, bahwa dalam Islam terkandung identitas yang relatif dan kebenaran yang absolut. Islam sebagai identitas yang relatif adalah Islam yang terhenti pada dataran simbol keagamaan. Atau lebih tepatnya yang membedakannya dengan ajaran agama lain. Sementara Islam dalam 175 kerangka kebenaran yang absolut itu adalah Islam yang meliputi universalitas nilai, yang dalam bahasa ushul fiqih itu disebut maqashid al Syari’ah yang terkodifikasi dalam al ushul al khamsah. Nilai absolut dalam agama itulah yang menjadi dasar bahwa hakikatnya, agama itu satu, tetapi pada saat yang sama agama itu juga menjadi berkembang banyak. Dalam Islam and Modernities, Aziz Al- Azmeh seorang pemikir berkebangsaan Suriah mengatakan bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang satu, tetapi selalu tampil dengan wajah yang banyak. "Islam Liberal", "Islam Fundamental”," "Islam Wahabi," "Islam Syi’ah," "Islam Sunni," “Islam moderat”, “Islam Konservatif”, dan lain-lain, adalah bagian dari Islam yang beraneka ragam itu. Meskipun kita sedang berbicara tentang Islam yang satu (Islam) tetapi sesungguhnya kita tidak dapat memungkiri bahwa pada saat yang sama kita sebenarnya tengah berbicara tentang Islam yang banyak (Islams).11 Banyaknya ragam Islam itu merupakan bukti bahwa tidak ada yang bersepakat bahwa Islam yang dimaksud Tuhan adalah Islam ini atau Islam itu. Atau dalam bahasanya Soroush, Islam yang banyak itu adalah konsekuensi logis dari pemahaman yang berbeda terhadap Islam itu sendiri. Dari sini, tidak ada yang bisa mengatakan bahwa ada hierarki 11 Aziz Al-Azmeh, Islam and Modernities, London-New York: Verso, 1993, hlm. 18-19. Juga lihat dalam Tedi Kholiludin, Semangat Moderatisme Beragama, Suara Merdeka, 5 Agustus 2005. 176 kebenaran dalam agama.12 Artinya, apa yang selama ini dipraktekan oleh umat Islam atau umat beragama lainnya ketika menganggap Islamnya atau agamanya lebih unggul daripada yang lain, sejatinya adalah bentuk kepicikan dalam beragama. Selain karena ada praktek monopoli terhadap tafsir agama (baca: Islam), praktek ini justru menghalangi aspek paling fundamental dari ajaran agama, yaitu penerimaan terhadap heterogenitas pemikiran. Berbagai bentuk pemikiran yang dikembangkan dengan demikian harus mempertimbangkan aspek terdalam dari Islam sebagai agama penyeru kebenaran. Hal ini sekaligus untuk memisahkan Islam dari agama yang hanya berfungsi sebagai identitas saja.13 Islam identitas, kata Soroush adalah Islam yang dibangun sebagai identitas budaya dan untuk menangkis krisis identitas. Sementara Islam kedua, merujuk Islam sebagai pembaca kebenaran menuju kebahagian dunia dan akherat (wordly and otherworldly salvation). Nabi dalam Islam adalah penyampai pesan menuju kebaikan dan kebenaran. … The Prophet and othe divine messengers originally invited people to a series of truths pointing toward salvation.14 Dengan demikian dalam Islam yang abadi adalah Islam itu sendiri (idea moral dalam bahasanya Fazlur Rahman), sementara tafsir, hukum 12 Secara tidak langsung, ketika Soroush mengungkapkan hal ini ia sebenarnya tengah melakukan kritik terhadap tradisi Syi’ah yang melanggengkan model hierarki dalam sistem keagamaan. 13 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, hlm. 23-24. 14 Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam, Ibid. 177 Islam (fiqih), tasawuf, siyasah (ketatanegaraan) dan teologi serta disiplin ilmu keislaman lainnya berubah sepanjang perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian sebetulnya tidak perlu ada pensakralan dan menyimpan sebuah pemikiran dalam peti es untuk kemudian diadikan rujukan dalam setiap aktivitas keberagaman. Salah satu contoh bentuk pensakralan dalam tradisi keilmuan Islam adalah ketika fikih menjadi disiplin ilmu yang sedemikian ketat. Implikasinya, fikih menjadi sedemikian eksklusif. Fikih dianggap terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan zaman. Apalagi jika fikih dikaitkan dengan masalah hudud, hak asasi manusia, hukum publik, wanita dan status terhadap non muslim. Soroush melihat ada dua bentuk fiqh yakni fiqh-e Sunnati dan Fiqh-e Puya.15 Fiqh-e Sunnati lebih banyak mendapat perhatian karena dalam pandangan Soroush, fikih tersebut menggunakan pendekatan tradisional dan menganggap ketentuan pertautran baru dalam hokum Islam diatur oleh parameter metodologis yang sama dengan yang mengatur ketentuan pada masa lalu dan yang telah dikembangkan dan diuraikan selama berabad-abad.16 Sementara, Fiqh-e Puya adalah model fikih yang dapat berkembang dinamis. Meski banyak sarjana muslim kontemporer menganjurkan ijtihad, tetapi fikih dan kalam tetap saja tidak beranjak dari bangunan 15 John Cooper, Batas Kesakralan: Epistemologi ‘Abd Al-Karim Soroush, dalam John Cooper et.al (ed) Islam and Modernity: Muslim Intellectuals Respond, (terj) “Islam dan Modernitas: Respon Intelektual Muslim”, Bandung: Pustaka, 2004, hlm. 60. 16 John Cooper, Ibid. 178 berpikirnya yang kaku dan statis. Fikih dan kalam tidak dan belum berani mendekati apalagi memasuki pintu ijtihad yang selalu digembor- gemborkan untuk senantiasa dibuka. Walhasil, fikih yang memiliki implikasi terhadap cara pandang dan tatanan masyarakat tak kunjung berkembang dan mengikuti derasnya arus perubahan sosial. Satu hal yang menyebabkan masih statisnya fikih adalah karena coraknya yang formalistik. Wajar jika kemudian fikih dianggap tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi perkembangan tradisi keilmuan. Sebab lain barangkali karena fikih hingga saat ini agak menjaga jarak dengan “ilmu-ilmu sekuler” yang muncul sekitar abad ke 18-19 seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi dan filsafat. Dalam ranah inilah nuansa dikotomis begitu kental mewarnai dinamika pengembangan ilmu keislaman. Fikih, kalam dan tasawuf seakan berada dalam sudut tersendiri serta antropologi, sosiologi dan lainnya, berada di sudut yang lain. Keduanya tidak pernah menemukan titik konvergensi (kalimatun sawa). Karena keduanya beranggapan bahwa mereka datang dari dua kutub yang berbeda wahyu Tuhan dan produk peradaban manusia. Friksi inilah yang pada akhirnya membuat tradisi keilmuan islam menjadi beku dan tidak pernah menanggalkan warna formalistiknya. Dalam situasi ini, Soroush mengatakan bahwa etika bisa menjadi pemecah bagi kebuntuan fikih. Pada awalnya, Soroush memberikan mata kuliah tentang filsafat etika, namun pada perkembangannya ia lebih

Description:
othe divine messengers originally invited people to a series of truths pointing .. ranah, pertama penentangan terhadap otoritas untuk menafsirkan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.